Hukum Sali: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
Baris 52:
Sehubungan dengan hak waris atas tanah, Hukum Sali menetapkan bahwa:
{{quote|Akan tetapi mengenai tanah Sali, tak sebidang tanah pun boleh diwariskan kepada
atau menurut naskah lain:
{{quote|sehubungan dengan ''terra Salica'', tak sebidang tanah pun diwariskan kepada
Menurut tafsir orang Franka Sali, aturan ini hanya melarang kaum perempuan untuk mewarisi pusaka "Tanah Sali" peninggalan leluhur, dan sama sekali tidak menghalangi kaum perempuan untuk mewarisi harta benda lain (misalnya [[harta benda pribadi]] si pewaris). Bahkan pada masa pemerintahan Raja [[Kilperik I]] (''ca.'' 570), aturan ini diamandemen agar anak perempuan boleh mewarisi tanah, jika tidak ada lagi anak laki-laki yang masih hidup sepeninggal si pewaris (amandemen ini, tergantung pada penerapan dan tafsirnya, dijadikan sebagai dasar dari hukum waris Semi-Sali, atau hukum waris [[primogenitur]], maupun kedua-duanya).
Baris 64:
Dalam penerapannya oleh monarki-monarki turun-temurun di daratan Eropa semenjak abad ke-15, sebagai dasar bagi suksesi agnatis, Hukum Sali dianggap meniadakan seluruh kaum perempuan dari garis suksesi dan melarang pewarisan hak suksesi melalui perempuan mana pun. Sekurang-kurangnya ada dua tatanan suksesi turun-temurun yang merupakan penerapan langsung dan paripurna dari Hukum Sali, yakni tata suksesi [[senoritas agnatis]] dan tata suksesi [[primogenitur agnatis]].
Tata suksesi yang disebut sebagai tata suksesi versi ''Semi-Sali'' menetapkan agar seluruh keturunan laki-laki dalam suatu keluarga diperhitungkan terlebih dahulu, termasuk keturunan laki-laki dari cabang-cabang garis nasab laki-laki keluarga itu yang tidak mewarisi harta atau gelar pusaka; namun jika semua garis nasab laki-laki tersebut sudah punah, maka kerabat perempuan terdekat (misalnya anak perempuan) dari ahli waris laki-laki terakhir adalah orang yang berhak menjadi ahli waris berikutnya. Ahli waris perempuan ini kelak akan digantikan oleh keturunan laki-lakinya mengikuti ketentuan tata urutan dalam Hukum Sali. Dengan kata lain, kerabat perempuan terdekat dari ahli waris laki-laki terakhir "dianggap sama seperti seorang laki-laki" demi kepentingan pewarisan harta atau gelar pusaka. Tatanan semacam ini menimbulkan praktik penelusuran kerabat terdekat dari cabang-cabang garis nasab yang belum punah dalam suatu keluarga (sekurang-kurangnya pada tahap pertama) dan tidak lagi memperhitungkan kerabat-kerabat jauh (misalnya [[Sanksi Pragmatis 1713]] di Austria). Kerabat perempuan terdekat dapat saja adalah anak perempuan dari salah satu cabang nasab laki-laki yang relatif junior di antara cabang-cabang garis nasab laki-laki dalam sebuah keluarga, namun kerabat perempuan ini berhak menjadi ahli waris selaku anggota keluarga menurut garis nasab laki-laki, karena garis nasab laki-laki yang bersangkutan masih berkesinambungan; semua garis nasab perempuan yang masih ada dalam keluarga itu, meskipun jauh lebih senior, tidak lebih berhak menjadi ahli waris daripada si kerabat perempuan terdekat dari ahli waris laki-laki terakhir.
Semenjak Abad Pertengahan, muncul
== Penerapan hukum alih kepemimpinan dan hukum waris ==
|