Perang Diponegoro: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 52:
 
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan [[hujan|penghujan]]; para senopati menyadari sekali untuk bekerja sama dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit [[malaria]], [[disentri]], dan sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak", melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan [[provokator]] mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang di bawah komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
[[File:Aankomst van Dipo Negoro te Magelang.jpg|jmpl|Pencarian Diponegoro di Magelang.]]
 
Pada tahun [[1827]], Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun [[1829]], [[Kyai Madja|Kyai Mojo]], pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran [[Mangkubumi]] dan panglima utamanya [[Sentot Prawirodirdjo|Alibasah Sentot Prawirodirjo]] menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal [[28 Maret]] [[1830]], Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke [[Manado]], kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal [[8 Januari]] [[1855]].