### Nyai Ageng Kawangsih ing Kawangsen
### Nyai Ageng Sitabaya ing Gambiro
## Ki Ageng Karatongan. Bagi mereka yang sering melakukan ziarah ke makam – makam para wali dan para ulama, pasti sudah tidak asing jika mendengar Desa Paremono, desa yang sudah ada pada abad 15 berbarengan dengan kisah babat alas Mentaok. '''Di jelaskan pada tahun 60an sampai 70an (Alm) KH Ahmad Abdul Haq Dalhar ''( Mbah Mad'' ) selaku Pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, Watucongol, Gunung Pring ,Muntilan, Magelang sering berziarah ke Makan Kyai Ageng Karotangan / Kyai Ageng Pagergunung 1 / Bagus Bancer , di Desa Paremono.''' '''Bahkan menurut salah seorang putra ''(alm)'' KH Ahmad Abdul Haq Dalhar ''(Mbah Mad),'' KH Agus Aly Qayshar, menceritakan, bahwa salah satu kelebihan Mbah Mad yang dimiliki sejak kecil adalah mengetahui makam para wali yang sebelumnya tidak diketahui oleh masyarakat sekitar. Yang pada awalnya, makam seseorang itu dianggap biasa oleh masyarakat, justru Mbah Mad memberi tahu kalau itu makam seorang wali. Kelebihan ini merupakan warisan dari abahnya, Mbah Kyai Dalhar.''' Desa yang secara administratif berada di kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah ini, banyak sekali menyimpan kisah – kisah sejarah masa Mataram Islam. Bukan hanya itu, sisa – sisa peninggalan peradaban masa Mataram Hindu atau masa klasik pun berserakan di desa ini. '''Sepak terjang Bagus Bancer''' Nama kecil dari Kyai Ageng Karotangan adalah Bagus Bancer, beliau adalah putra dari Kyai Ageng Henis (Kyai Ageng Laweyan) atau adik dari Bagus Kacung (Kyai Ageng Pemanahan). Pada masa kesultanan Pajang, Kyai Ageng Henis mendapat tanah perdikan di daerah Laweyan oleh Jaka Tingkir dan beliau juga mendapatkan jabatan adipati. Di laweyan itulah beliau sering menyebarkan agama islam, Setelah dewasa Bagus Kacung, Ki Penjawi dan Ki Juru Mertani masuk jadi tamtama di Kesultanan Pajang dan belajar ilmu pemerintahan. Berbeda dengan sang adik, Bagus Bancer pada masa kecil beliau justru mendalami agama islam kepada Sunan Kalijogo,kemudian setelah dewasa beliau pun menyiarkan agama Islam dan menolak jabatan di Kesultanan Pajang. Pada waktu pemberontakan Arya Penangsang, Jaka Tingkir mengadakan sayembara siapa yang bisa mengalahkan Arya Penangsang akan mendapatkan hadiah berupa tanah perdikan yaitu Pati dan Alas Mentaok, maka atas nasehat dari Kyai Ageng Henis, kemudian Bagus Kacung, Ki Penjawi , Ki Juru Mertani mengikuti sayembara untuk mengalahkan Arya Penangsang yang sangat sakti mandraguna dengan pusakanya Keris Setan Kober. Singkat cerita maka mereka bertiga yang di bantu oleh pasukan Pajang pada tahun 1549 bisa mengalahkan Arya Penangsang, sebenarnya yang membunuh adalah Danang Sutowijaya dengan pusaka Tombak Kyai Plered . Atas jasanya itu Ki Penjawi mendapatkan hadiah tanah perdikan di Pati, tapi Bagus Kacung belum mendapatkan hadiah dari Jaka Tingkir. Ini di karenakan ada bisikan dari Sunan Giri bahwa tanah bumi mentaok yang akan di hadiahkan ke Bagus Kacung kelak akan menjadi Kerajaan besar, maka dengan pemikiran matang Jaka Tingkir mengulur – ulur waktu. Karena merasa janji Jaka Tingkir belum di penuhi maka Bagus Kacung menemui dan meminta bantuan Sunan Kalijaga untuk membujuk Jaka Tingkir agar segera merealisasikan janjinya memberi hadiah berupa Alas Bumi Mentaok, kemudian atas bujukan Sunan Kalijaga itulah Bagus Kacung diberikan sebuah wilayah dibagian barat daya Kasultanan Pajang yang bernama '''“Bhumi Mentaok” (''bekas kerajaan Mataram Hindu'')''' yang terbentang antara daerah Yogyakarta sampai dataran Kedhu oleh Sultan Hadiwijaya (''Jaka Tingkir'' ) pada tahun 1556. Dikisahkan, Ki Ageng Karang Lo ( sahabat kyai Ageng Pemanahan) yang tinggal di Kampung Taji, timur Prambanan, suatu hari kedatangan rombongan tamu yang singgah di rumahnya. Tamu tersebut adalah Kyai Ageng Pemanahan beserta keluarganya termasuk sang adik yaitu Bagus Bancer, Ki Juru Mertani dan Danang Sutowijaya yang sedang dalam perjalanan menuju Mentaok, yaitu tempat yang dihadiahkan Sultan Pajang kepada dirinya. Konon, nama Mataram sendiri diambil dari kata ‘mentaok arum’ yang berarti mentaok yang harum. Kata ‘mentaok arum’ ini mengalami peluruhan menjadi ‘mentarum’. Untuk memudahkan pengucapan, lama kelamaan kata ‘mentarum’ berubah menjadi Mataram. Alasan lain ialah dulunya mentaok adalah bekas kerajaan mataram hindu biar nantinya mentaok bisa jadi kerajaan besar maka desa tersebut dinamakan desa mataram biar bisa mengikuti kebesaran kerajaan mataram hindu. Kemudian setelah 2 tahun Kyai Ageng Pemanahan ''( Bagus Kacung'' ) yang terkenal sakti ini akhirnya berhasil membuka hutan Mentaok pada tahun 1558, yang dulunya terkenal angker dan banyak dihuni binatang buas. Setelah beberapa waktu alas Mentaok menjadi desa yang berkembang, kemudian Bagus Kacung menginginkan dalam proses Babat Alas Bumi Mentaok ini di perluas, oleh karena itu maka dengan pemikiran yang matang Kyai Ageng Pemanahan ''(Bagus Kacung'') akhirnya memanggil sang adik kandungnya, Bagus Bancer yang bergelar Kyai Ageng Karotangan untuk meminta bantuan membabat alas (''hutan'') di daerah barat Gunung Merapi. Daerah barat Gunung Merapi ini mencakup wilayah dataran Kedhu dan sekitarnya yang mana daerah ini juga terkenal tak kalah angker dibanding Alas Mentaok di daerah Yogyakarta. (''Pada zaman dahulu, hutan Mentaok merupakan wilayah bekas [[Kerajaan Mataram Kuno]] yang menguasai wilayah [[Jawa Tengah]] bagian selatan pada abad 8 hingga abad 10. Setelah Kerajaan Mataram Hindu memindahkan pusat kerajaannya ke daerah [[Jawa Timur]] akhirnya wilayah pusat kerajaan yang lama menjadi hutan dan disebut Alas Mentaok <sup>.</sup>'' ''Setelah beberapa abad kemudian Alas Mentaok menjadi wilayah [[Kesultanan Pajang]]. Pada tahun 1556, saat Kesultanan Pajang dipimpin oleh [[Sultan Hadiwijaya]]'' ''atau [[Jaka Tingkir]], wilayah Alas Mentaok, yang juga disebut Bumi Mataram pada kala itu, diberikan kepada [[Ki Ageng Pemanahan]] sebagai hadiah atas keberhasilannya menumpas pemberontakan [[Arya Penangsang]] Kemudian setelah itu Alas Mentaok yang saat itu berupa hutan lebat dibuka menjadi sebuah desa oleh Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani Desa di Alas Mentaok tersebut selanjutnya dinamai Mataram dan berstatus sebagai tanah perdikan atau swatantra atau daerah bebas pajak'' ''Seiring berjalannya waktu, wilayah Alas Mentaok semakin berkembang dan menjadi pusat pemerintahan [[Kesultanan Mataram]]. Kini, bekas wilayah Alas Mentaok telah menjadi bagian dari Kota Yogyakarta di mana juga terdapat Keraton [[Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat]])'' Sebagai seorang adik kandung Kyai Ageng Pemanahan, maka tidak heran jika Bagus Bancer juga mempunyai ilmu kanuragan yang tinggi. Dikisahkan, ketika Bagus Bancer / Kyai Ageng Karotangan membuka alas di kawasan Kedhu, beliau hanya menggunakan tangan kosong dan punya senjata yang namanya '''Kudi ( ''seperti sabit tapi berbentuk mirip huruf “S”).''''' Konon, beliau membabat pepohonan dan rumputan yang ada di daerah Kedhu ini sampai wilayah yang apa sekarang disebut sebagai '''Wates, Magelang'''. '''Nama Wates ''(dalam bahasa Indonesia berarti Batas)''''' sendiri sebenarnya adalah suatu batas dimana Bagus Bancer berhenti membuka hutan. Karena kesaktianya membuka hutan hanya dengan tangan kosong inilah, beliau juga memiliki julukan sebagai '''Kyai Ageng Karotangan ''(Karo = menggunakan; tangan = tangan).''''' Setelah beberapa lama babat alas di daerah Kedhu hanya menggunakan tangan, beliau merasakan kedua tangannya sampai terasa pegel-pegel dan kemudian Kyai Ageng Karotangan bersama para pengikutnya istirahat sebentar di suatu daerah di kedhu. Sambil istirahat beliau memijat (meg-meg) kedua tangannya, setelah di pijat akhirnya rasa pegalnya hilang, dan kelak kemudian hari untuk mengenang kejadian itu maka oleh beliau sebagai pertanda tempat itu dinamakan '''Magelang (di meg-meg pegel e ilang )''' Karena jasanya babat alas di sebelah barat Gunung Merapi (daerah kedhu) sampai sekarang banyak orang yang meyakini bahwa Kyai Ageng Karotangan sebagai Pok (cikal bakal) nya daerah Kedhu , Sedangkan kakaknya , Kyai Ageng Pemanahan babat alas di alas mentaok sebelah timur Gunung Merapi sekarang jadi Pok (cikal bakal) nya Yogyakarta. Syahdan, Setelah selesai babat alas sampai di daerah wates , Magelang, Kyai Ageng Karotangan kemudian balik ke arah timur untuk kembali ke Mataram, betapa kagetnya beliau ketika di suatu wilayah di dataran Kedhu dan di dekatnya ada mata airnya , (''mata air ini sampai sekarang masih ada , orang sering menyebutnya combrang dan cebol )'' beliau melihat hamparan Pari / Padi ''( Persawahan ini sekarang sering di sebut sawah jomblang di selatan dusun Paremono).'' Di wilayah tersebut beliau bertemu dengan seorang Kisanak (''yang kelak kemudian hari banyak orang menyebutnya Mbah Kyai Jomblang'' ) dan kemudian bertanya – tanya mengenai wilayah tersebut. Karena didaerah tersebut sudah terdapat banyak sekali padi, kemudian beliau berujar '''Wis Ono Pari = Sudah ada padi .''' Dikarenakan daerah sebut sangat subur, di dataran yang diapit beberapa gunung ( ''gunung merapi , gunung merbabu,pegunungan menoreh, gunung sumbing, gunung andong dan telomoyo''), ada mata airnya (''disekitaran daerah combrang dan ngudal)'' dan sudah banyak padinya. Suatu pemandangan yang sangat indah maka kemudian Kyai Ageng Karotangan dan para pengikutnya memutuskan tidak kembali ke desa Mataram di Mentaok , tetapi malah memutuskan untuk tinggal di daerah tersebut ''('''Yang kelak daerah tersebut terkenal dengan nama desa Paremono)''''' Kyai Ageng Karotangan setelah menetap di Pariono beliau menyebarkan agama islam, dari perkawinannya dengan Nyai Hugeng Karotangan beliau menurunkan Pronontoko II ( Sindurejo I), Sindureja I menurunkan Raden Sukro dan RM Gerit ( dari ibu Kleting kuning ) dan menurunkan pronontoko III ( jaksa) dari ibu ayu /niken rubiyah. Dan Pronontoko II adalah Keturunan beliau yang kelak kemudian hari jadi Patih Ndalem di Mataram yang ibukotanya di Kartosuro dengan gelar '''Patih Sindurejo 1.''' Waktu demi waktu terus berjalan Kyai Ageng Karotangan di samping tinggal di Pariono juga beliau teringat akan pesan dari Sunan Kalijaga dan Dewan Walisanga yang berada di Kesultanan Demak untuk berdakwah Agama Islam , Pesan dan Perintah tersebut selalu beliau ingat dan di lakukan dengan sering menyebarkan dakwah islam dengan media bercocok tanam/ menanam padi/ bertani di sekitar Kedhu. Dan sampai pada akhirnya Kyai Ageng Karotangan meninggal dunia dan di semayamkan di Pagergunung atau Pariono ( ''sekarang orang menyebutnya lebih familier dengan sebutan Ger Gunung),'' yang letaknya antara Sumping Wetan (''Simping Wetan)'' dan Sumping Kulon ''(Simping Kulon''). Karena di semayamkan di Pagergunung maka beliau juga sering di juluki '''Kyai Ageng Pagergunung.''' Istilah nama '''ono pari''' diperkirakan muncul pertama antara 1558 sampai 1595. Lama kelamaan, dari nama '''ono pari''' berubah menjadi '''Pariono''', kemudian berubah lagi menjadi '''Parimono'''. Pada masa - masa tahun 1970-an, nama Parimono akhirnya berubah lagi untuk terakhir kalinya menjadi '''Paremono.''' Begitulah konon nama desa Paremono berasal. Perubahan nama tersebut tidak lepas dari pengucapan masyarakat dalam menyebutan saja. Berdasarkan Pernyataan Juru Kunci Makam Kyai Ageng Henis yang berada di Laweyan, Solo, Kyai Ageng Karotangan adalah putra dari Kiai Ageng Henis/ Anis yang jika diruntut silsilahnya kebelakang akan sampai pada Trah Bondan Kejawan. Trah ini merupakan keturunan dari putra Prabu Brawijaya V dan Raden Roro Nawangsih pada era Majapahit. Kyai Ageng Karotangan sendiri mempunyai keturunan yang bergelar Patih Sindurejo I. Dan di ceritakan juga masa kecil Patih Sindurejo sudah di gembleng ilmu agama islam, kemudian berjalannya waktu usia nya menginjak dewasa, beliau sudah belajar ilmu pemerintahan, keprajuritan dan tata susila. Bahkan menurut babad tanah jawa di ceritakan kalau Patih Sindurejo I ini merupakan patih pada zaman Amangkurat Amral ''(Mangkurat II''). Beliau beristrikan BRA Klenting Kuning yang merupakan Putri Raja Amangkurat Agung dengan selir yang bernama RA. Mayang Sari. Sebagai hadiah karena berhasil memetik bunga Wijayakusuma di Cilacap/ Nusa Kambangan, dengan cara menggiring bebek jambul berwarna putih semua, anehnya ke-11 bebek jambul tadilah yang menunjukan bunga WijayaKusuma kepada Patih Sindureja I sampai Cilacap/NusaKambangan ,keturunan dari Kyai Ageng Karotangan ini mendapat gelar Patih Sindurejo I. '''Tidak di pungkiri memang Kyai Ageng Karotangan adalah seorang tokoh yang sangat berperan besar dalam Babad Tanah Jawa, memang beliau tidak masuk dalam pemerintahan di kala itu, tapi peran beliau dalam sepak terjang perkembangan di daerah Kedhu dan menyebarkan Dakwah Islam sangatlah besar, hal ini bisa kita lihat adanya bukti-bukti di komplek Pesarean Agung Paremono, bahkan dengan seringnya mbah Mad watucongol berziarah ke makam Kyai Ageng Karotangan pada tahun 50an sampai 70an, yang di perkuat oleh pernyataan dari putra Mbah Mad (KH Agus Aly Qayshar) kalau ayahandanya pengetahui makam para wali yang belia ziarahi. Juga tidak lah di kesampingkan pitutur orang tua secara turun temurun tentang kisah sepak terjang Kyai Ageng Karotangan yang sampai sekarang masih terjaga.''' '''Di samping itu dalam Penuturan Langgam Asmaradana, pupuh XXIX, bait 10-13 di sebutkan bahwa Kyai Ageng Karotangan adalah salah satu dari Wali nukhba / wali penerus dari wali Songo ,di jelaskanya sebagai berikut :''' Kang nututi ambek wali/Anenggih Sunan Tembayat/ Sunan Giri Parepen/Jeng Sunan Kuduskelawan/Sultan Syah ‘Alim Akbar/ Pangeran Wijil Kadilangu/Kalawan Kewangga//Ki Gede Kenanga Pengging/malihe Pangeran Konang/lawan Pangeran Cirebon/ lan Pangeran Karanggayam/Myang Ki Ageng Sesela/tuwin sang Pangeran panggung /Pangeran ing Surapringga//lan Kiai Juru Mertani/ing Giring Ki Ageng Pamanahan/ Buyut Ngerana Sabran (g) Kulon/ Ki Gede wanasaba /Panembahan Palembang/Ki Buyut ing Banyubiru/lawan Ki Ageng Majastra//Malihi Ki Ageng Gribig/'''Ki Ageng Karotangan'''/Ki Ageng ing Toyajene/ lan Ki Ageng Tuja Reka/pamungkas wali raja/nenggih Kanjeng Sultan Agung Hanyokrokusumo/kasebut wali nukhba. '''Terjemahan:''' Adapun berikutnya yang bergelar wali adalah Sunan Tembayat dilanjutkan Sunan Giri Parepen, Sunan Kudus seterusnya Sultan Syah ‘Alim Akbar, Pangeran Wijil Kadilangu, serta Pangeran Kewangga. Ki Ageng Kenanga Pengging yang kemudian bergelar Pangeran Konang. Selanjutnya Pangeran Cirebon dan Pangeran Karanggayam, Ki Ageng Sesela (sela), Pangeran Panggung, Pangeran Surapringga. selanjutnya Ki Juru Mertani di Giring , Ki Ageng Pamanahan, Buyut Ngerang, Pangeran Sabrang Kulon dan Kyai Gede Wanasaba Panembahan Palembang, Ki Buyut Banyubiru, Ki Ageng Majastra yang akhirnya bergelar Ki Agengi Gribig'''. Ki Ageng Karotangan''' , Ki Ageng ing Toyajene (Ki Ageng bayu kuning ) serta Ki Ageng Tuja Reka. Yang terakhir adalah “wali raja”, yakni (Kanjeng) Sultan Agung HanyokroKusuma. '''Mereka semua disebut wali nubuwa /nukhba Atau memiliki “nubuah” kewalian.''' Di dalam serat walisana juga si sebutkan bahwa dalam rangka menanamkan para kader dan menyebarkan para mubaligh ahli dakwah, '''Sunan Ampel''' mendorong Sayyid Es bin Maulana Ishaq ke Demak atas izin Prabu Majapahit sehingga Sayyid ini bergelar Sutamaharaja. Sedangkan Sayyid Ya’kub bin Maulana Ishaq atau Syaikh wali Lanang ditetapkan di Blambangan, Syaikh Waliyul Islam ke Pasuruhan kemudian ke Semarang. Kemudian Maulana Ishaq diutus ke Madura, antara lain ke Balega, lalu Sumenep, dan karena merasa tidak berhasil lalu kembali ke Malaka. Maulana Magribi di utus ke Banten, Maulana Gharibi ke Jawa Barat, Sayyid Jen (Zayn) dan Sunan Gunung Jati ke Cirebon, Syaikh Jumhur ‘Alim ke Pajarakan, Syaikh Subabangip ke Ponorogo dan saentaro pesisir Jawa Timur bagian selatan. Raden Fatah ke Bintara (Demak), Syaikh Sabil ke Ngudung Muria, sedangkan Sayyid Ali Mukid ke Majagung. '''Murid-murid yang menjadi kader Walisanga dan disebut sebagai Wali nawbah atau wali pengganti''' adalah Sunan Tembayat di daerah Klaten, Sunan Gin Parepen, Pangeran Wijil di Kadilangu, Pangeran Kewangga, Ki Gede Kenanga di Pengging, Pangeran Konang, Pangeran Cirebon, Pangeran Karanggayam, Ki Ageng Sela, Pangeran Panggung, Pangeran Surapringga. Di Giring Gunungkidul ada Ki Juru Martani, Ki Ageng Pamanahan di Kota Gede Yogyakarta, Ki Buyut Pangeran Sabrang Kulon, Ki Gede Wanasaba, Panembahan Palembang, Ki Ageng Majastra, Ki Ageng Garibig di Jatinom Klaten, Ki Buyut Banyubiru, '''Ki Ageng Karotangan''', Ki Ageng Toyajene, Ki Ageng Tayreka, dan Kanjeng Sultan Agung di Mataram.
----
|