Genosida Timor Timur: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
fix unwanted replacements |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 19:
{{genosida}}
'''Genosida Timor Leste''' mengacu pada aktivitas teror berkedok "kampanye
==Serbuan awal==
Baris 39:
World Vision Indonesia mengunjungi Timor Leste bulan Oktober 1978 dan mengklaim bahwa 70.000 penduduk Timor Leste terancam kelaparan.<ref>CAVR, ch. 7.3, p. 72.</ref> Utusan [[International Committee of the Red Cross]] melaporkan pada tahun 1979 bahwa 80 persen penghuni kamp kekurangan gizi. Suasana saat itu digambarkan "separah [[Biafra]]".<ref>Quoted in Taylor (1991), p. 97.</ref> ICRC mengingatkan bahwa "puluhan ribu orang" terancam kelaparan.<ref>Taylor (1991), p. 203.</ref> Indonesia mengumumkan bahwa Palang Merah Indonesia (PMI) sedang berusaha memulihkan krisis ini, tetapi lembaga Action for World Development menuduh bahwa PMI menjual bantuan yang disumbangkan.<ref name="kohen5456"/>
==Operasi
===Operasi Keamanan: 1981–82===
Pada tahun 1981, militer Indonesia melancarkan Operasi Keamanan yang juga dijuluki "operasi pagar betis". Dalam operasi ini, TNI merekrut 50.000 sampai 80.000 pemuda Timor Leste untuk berbaris ke pegunungan dan menjadi tameng hidup untuk mencegah serangan balasan FRETILIN. Tujuan TNI adalah menyapu bersih pemberontak di daerah tengah Timor Leste. Banyak pemuda dalam operasi ini yang meninggal kelaparan, kelelahan, atau ditembak oleh TNI karena membiarkan pemberontak kabur. Ketika "pagar betis" ini mengepung desa, TNI membantai warga sipil dalam jumlah yang tidak diketahui. Sedikitnya 400 warga desa dibantai di [[Lacluta]] oleh Batalyon 744 Angkatan Darat Indonesia pada September 1981. Seorang saksi mata yang bersaksi di hadapan Senat Australia mengatakan bahwa tentara dengan sengaja membunuh anak-anak kecil dengan cara menghantamkan kepala mereka ke batu.<ref name="Taylor 1985 p. 23">Taylor, pp. 101–102; Nevins, p. 30; Budiardjo and Liong, pp. 127–128; Amnesty (1985), p. 23; Dunn, p. 299.</ref> Operasi ini gagal meredam pemberontakan. Penolakan masyarakat terhadap pendudukan Indonesia semakin kuat.<ref>Budiardjo and Liong, pp. 41–43; Dunn (1996), p. 301.</ref> Ketika tentara FRETILIN di pegunungan melanjutkan serangan sporadisnya, pasukan Indonesia melancarkan serangkaian operasi untuk meredamnya selama sepuluh tahun berikutnya. Sementara itu, di berbagai kota dan desa, gerakan pemberontakan damai (pasif) mulai terbentuk.<ref>Dunn (1996), pp. 303–304.</ref>
|