Tafsir Al-Qur'an: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 10:
== Sejarah Tafsir Al-Qur'an ==
Sejarah ini diawali dengan masa [[Rasulullah]] SAW masih hidup seringkali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu mereka dapat langsung menanyakan pada [[Rasulullah]] SAW. Secara garis besar ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan [[Al-Qur'an]] :
# [[Al-Qur'an]] itu sendiri karena terkadang satu hal yang dijelaskan secara [[global]] di satu tempat dijelaskan secara lebih terperinci di ayat lain.
# [[Rasulullah]] SAW semasa masih hidup para [[sahabat]] dapat bertanya langsung pada Beliau SAW tentang makna suatu ayat yang tidak mereka pahami atau mereka berselisih paham tentangnya.
# [[Ijtihad]] dan Pemahaman mereka sendiri karena mereka adalah orang-orang [[Arab]] asli yang sangat memahami makna perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya. Tafsir yang berasal dari para sahabat ini dinilai mempunyai nilai tersendiri menurut jumhur ulama karena disandarkan pada Rasulullah SAW terutama pada masalah [[azbabun nuzul]]. Sedangkan pada hal yang dapat dimasuki
Para [[sahabat]] yang terkenal banyak menafsirkan [[Al-Qur'an]] antara lain empat [[khalifah]] , [[Ibn Mas’ud]], [[Ibn Abbas]], [[Ubai bin Ka’b]], [[Zaid bin Tsabit]], [[Abu Musa al-Asy’ari]], [[Abdullah bin Zubair]]. Pada masa ini belum terdapat satupun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan [[hadits]].
Sesudah generasi sahabat, datanglah generasi [[tabi’in]] yang belajar [[Islam]] melalui para sahabat di wilayah masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran [[Al-Qur'an]] yang masing-masing melahirkan [[madrasah]] atau [[madzhab]] tersendiri yaitu [[Mekkah]] dengan madrasah [[Ibn Abbas]] dengan murid-murid antara lain [[Mujahid ibn Jabir]], [[Atha ibn Abi Ribah]], [[Ikrimah Maula Ibn Abbas]], [[Thaus ibn Kisan al-Yamani]] dan [[Said ibn Jabir]]. [[Madinah]] dengan madrasah [[Ubay ibn Ka’ab]] dengan murid-murid [[Muhammad ibn Ka’ab al-Qurazhi]], [[Abu al-Aliyah ar-Riyahi]] dan [[Zaid ibn Aslam]] dan [[Irak]] dengan madrasah [[Ibn Mas’ud]] dengan murid-murid [[al-Hasan al-Bashri]], [[Masruq ibn al-Ajda]], [[Qatadah ibn-Di’amah]], [[Atah ibn Abi Muslim al-Khurasani]] dan [[Marah al-Hamdani]].
Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari [[hadits]] namun masing-masing [[madrasah]] meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa [[kodifikasi]] hadits, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun belum [[sistematis]] sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti [[Ibn Majah]], [[Ibn Jarir at-Thabari]], [[Abu Bakr ibn al-Munzir an-Naisaburi]] dan lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa [[Dinasti]] [[Abbasiyah]] menuntut pengembangan [[metodologi]] tafsir dengan memasukan unsur [[ijtihad]] yang lebih besar. Mekipun begitu mereka tetap berpegangan pada [[Tafsir bi al-Matsur]] dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai [[tafsir bi al-ray]] yang memperluas [[ijtihad]] dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan ajaran [[tasawuf]] melahirkan pula sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai tafsir [[isyarah]].
== Bentuk Tafsir Al-Qur'an ==
|