Rumusan-rumusan Pancasila: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
k ←Suntingan 36.73.206.190 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Mimihitam
Tag: Pengembalian
Baris 4:
Namun di balik itu terdapat sejarah panjang perumusan sila-sila Pancasila dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia. Sejarah ini begitu sensitif dan salah-salah bisa mengancam keutuhan Negara Indonesia. Hal ini dikarenakan begitu banyak polemik serta kontroversi yang akut dan berkepanjangan baik mengenai siapa pengusul pertama sampai dengan pencetus istilah Pancasila. Artikel ini sedapat mungkin menghindari polemik dan kontroversi tersebut. Oleh karena itu artikel ini lebih bersifat suatu "perbandingan" (bukan "pertandingan") antara rumusan satu dengan yang lain yang terdapat dalam dokumen-dokumen yang berbeda. Penempatan rumusan yang lebih awal tidak mengurangi kedudukan rumusan yang lebih akhir.
 
Dari kronik sejarah setidaknya ada beberapa rumusan Pancasila yang telah atau pernah muncul. Rumusan Pancasila yang satu dengan rumusan yang lain ada yang berbeda namun ada pula yang sama. Secara berturut turut akan dikemukakan rumusan dari Muh Yamin, Sukarno, [[Piagam Jakarta]], Hasil [[BPUPKI]], Hasil [[PPKI]], Konstitusi [[RIS]], UUD Sementara, UUD 1945 ([[Dekrit Presiden]] [[5 Juli]] [[1959]]), Versi Berbeda, dan Versi populer yang berkembang di masyarakat.
 
== Rumusan I: IrMoh. SoekarnoYamin, Mr. ==
Pada sesi pertama persidangan [[BPUPKI]] yang dilaksanakan pada [[29 Mei]] – [[1 Juni]] [[1945]] beberapa anggota BPUPKI diminta untuk menyampaikan usulan mengenai bahan-bahan konstitusi dan rancangan “blue print” Negara Republik Indonesia yang akan didirikan. Pada tanggal [[29 Mei]] [[1945]] Mr. [[Mohammad Yamin]] menyampaikan usul dasar negara dihadapan sidang pleno BPUPKI baik dalam pidato maupun secara tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI.
 
=== Rumusan Pidato ===
Baik dalam kerangka uraian pidato maupun dalam presentasi lisan Muh Yamin mengemukakan lima calon dasar negara yaitu<ref>Saafroedin Bahar (ed). (1992) ''Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus 1945''. Edisi kedua. Jakarta: SetNeg RIselanjutnya disebut Risalah 2</ref>:
# Peri Kebangsaan
# Peri Kemanusiaan
# Peri ke-Tuhanan
# Peri Kerakyatan
# Kesejahteraan Rakyat
 
=== Rumusan Tertulis ===
Selain usulan lisan Muh Yamin tercatat menyampaikan usulan tertulis mengenai rancangan dasar negara. Usulan tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI oleh Muh Yamin berbeda dengan rumusan kata-kata dan sistematikanya dengan yang dipresentasikan secara lisan, yaitu<ref>Risalah 2</ref>:
# Ketuhanan Yang Maha Esa
# Kebangsaan Persatuan Indonesia
# Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
# Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
# Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
 
== Rumusan II: Dr.Soepomo ==
Pada tanggal 31 Mei 1945, Soepomo pun menyampaikan rumusan dasar negaranya, yaitu:
# Persatuan
# Kekeluargaan
# Keseimbangan lahir dan batin
# Musyawarah
# Keadilan rakyat
 
== Rumusan III: Ir. Soekarno ==
Selain Muh Yamin dan Soepomo, beberapa anggota BPUPKI juga menyampaikan usul dasar negara, di antaranya adalah Ir [[Sukarno]]<ref>Sidang Sesi I BPUPKI tidak hanya membahas mengenai calon dasar negara namun juga membahas hal yang lain. Tercatat dua anggota Moh. Hatta, Drs. dan [[Supomo]], Mr. mendapat kesempatan berpidato yang agak panjang. [[Hatta]] berpidato mengenai perekonomian Indonesia sedangkan Supomo yang kelak menjadi arsitek UUD berbicara mengenai corak Negara Integralistik</ref>. Usul ini disampaikan pada 1 Juni 1945 yang kemudian dikenal sebagai hari lahir Pancasila.Namun masyarakat bangsa indonesia ada yang tidak setuju mengenai pancasila yaitu Ketuhanan, dengan menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.Lalu diganti bunyinya menjadi Ketuhanan Yg Maha Esa. Usul Sukarno sebenarnya tidak hanya satu melainkan tiga buah usulan calon dasar negara yaitu lima prinsip, tiga prinsip, dan satu prinsip. Sukarno pula-lah yang mengemukakan dan menggunakan istilah “Pancasila” (secara harfiah berarti lima dasar) pada rumusannya ini atas saran seorang ahli bahasa (Muhammad Yamin) yang duduk di sebelah Sukarno. Oleh karena itu rumusan Sukarno di atas disebut dengan Pancasila, Trisila, dan Ekasila<ref>Risalah 2</ref>.
 
Baris 24 ⟶ 51:
# Gotong-Royong
 
== Rumusan IV: Piagam Jakarta ==
Usulan-usulan ''blue print'' Negara Indonesia telah dikemukakan anggota-anggota BPUPKI pada sesi pertama yang berakhir tanggal [[1 Juni]] [[1945]]. Selama reses antara [[2 Juni]] – [[9 Juli]] [[1945]], 9 orang anggota BPUPKI ditunjuk sebagai panitia kecil yang bertugas untuk menampung dan menyelaraskan usul-usul anggota BPUPKI yang telah masuk. Pada [[22 Juni]] [[1945]] panitia kecil tersebut mengadakan pertemuan dengan 38 anggota BPUPKI dalam rapat informal. Rapat tersebut memutuskan membentuk suatu panitia kecil berbeda (kemudian dikenal dengan sebutan "Panitia Sembilan") yang bertugas untuk menyelaraskan mengenai hubungan Negara dan Agama.
 
Baris 58 ⟶ 85:
# Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
 
== Rumusan V: BPUPKI ==
Pada sesi kedua persidangan [[BPUPKI]] yang berlangsung pada 10-17 Juli 1945, dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” (baca Piagam Jakarta) dibahas kembali secara resmi dalam rapat pleno tanggal 10 dan 14 Juli 1945. Dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” tersebut dipecah dan diperluas menjadi dua buah dokumen berbeda yaitu Declaration of Independence (berasal dari paragraf 1-3 yang diperluas menjadi 12 paragraf) dan Pembukaan (berasal dari paragraf 4 tanpa perluasan sedikitpun). Rumusan yang diterima oleh rapat pleno BPUPKI tanggal 14 Juli 1945 hanya sedikit berbeda dengan rumusan Piagam Jakarta yaitu dengan menghilangkan kata “serta” dalam sub anak kalimat terakhir. Rumusan rancangan dasar negara hasil sidang BPUPKI, yang merupakan rumusan resmi pertama, jarang dikenal oleh masyarakat luas<ref>Risalah 2</ref>.
 
Baris 71 ⟶ 98:
# Dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
 
== Rumusan VI: PPKI ==
Menyerahnya Kekaisaran Jepang yang mendadak dan diikuti dengan [[Proklamasi]] Kemerdekaan Indonesia yang diumumkan sendiri oleh Bangsa Indonesia (lebih awal dari kesepakatan semula dengan Tentara Angkatan Darat XVI [[Jepang]]) menimbulkan situasi darurat yang harus segera diselesaikan. Sore hari tanggal 17 Agustus 1945, wakil-wakil dari Indonesia daerah Kaigun (Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan), di antaranya [[A. A. Maramis]], Mr., menemui Sukarno menyatakan keberatan dengan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat [[Islam]] bagi pemeluk-pemeluknya” untuk ikut disahkan menjadi bagian dasar negara. Untuk menjaga integrasi bangsa yang baru diproklamasikan, Sukarno segera menghubungi [[Hatta]] dan berdua menemui wakil-wakil golongan Islam. Semula, wakil golongan Islam, di antaranya [[Teuku Moh Hasan]], Mr. [[Kasman Singodimedjo]], dan [[Ki Bagus Hadikusumo]], keberatan dengan usul penghapusan itu. Setelah diadakan konsultasi mendalam akhirnya mereka menyetujui penggantian rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” demi keutuhan Indonesia.
 
Baris 99 ⟶ 126:
# dan keadilan sosial
 
== Rumusan VIII: UUD Sementara ==
Segera setelah RIS berdiri, negara itu mulai menempuh jalan kehancuran. Hanya dalam hitungan bulan negara bagian RIS membubarkan diri dan bergabung dengan negara bagian RI Yogyakarta. Pada Mei 1950 hanya ada tiga negara bagian yang tetap eksis yaitu RI Yogyakarta, NIT<ref>Negara Indonesia Timur, wilayahnya meliputi Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya, Kepulauan Nusa Tenggara, dan seluruh kepulauan Maluku</ref>, dan NST<ref>Negara Sumatera Timur, wilayahnya meliputi bagian timur provinsi Sumut (sekarang)</ref>. Setelah melalui beberapa pertemuan yang intensif RI Yogyakarta dan RIS, sebagai kuasa dari NIT dan NST, menyetujui pembentukan negara kesatuan dan mengadakan perubahan Konstitusi RIS menjadi UUD Sementara. Perubahan tersebut dilakukan dengan menerbitkan UU RIS No 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara (LN RIS Tahun 1950 No 56, TLN RIS No 37) yang disahkan tanggal 15 Agustus 1950. Rumusan dasar negara kesatuan ini terdapat dalam paragraf keempat dari Mukaddimah (pembukaan) UUD Sementara Tahun 1950.
 
Baris 112 ⟶ 139:
# dan keadilan sosial
 
== Rumusan IX: UUD 1945 ==
Kegagalan [[Konstituante]] untuk menyusun sebuah UUD yang akan menggantikan UUD Sementara yang disahkan 15 Agustus 1950 menimbulkan bahaya bagi keutuhan negara. Untuk itulah pada 5 Juli 1959 Presiden Indonesia saat itu, Sukarno, mengambil langkah mengeluarkan Dekrit Kepala Negara yang salah satu isinya menetapkan berlakunya kembali UUD yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 menjadi UUD Negara Indonesia menggantikan UUD Sementara. Dengan pemberlakuan kembali UUD 1945 maka rumusan Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD kembali menjadi rumusan resmi yang digunakan.
 
Baris 139 ⟶ 166:
# Keadilan sosial.
 
== Rumusan XI: Versi Populer<ref>Tap MPR No II/MPR/1978</ref> ==
Rumusan terakhir yang akan dikemukakan adalah rumusan yang beredar dan diterima secara luas oleh masyarakat. Rumusan Pancasila versi populer inilah yang dikenal secara umum dan diajarkan secara luas di dunia pendidikan sebagai rumusan dasar negara. Rumusan ini pada dasarnya sama dengan rumusan dalam UUD 1945, hanya saja menghilangkan kata “dan” serta frasa “serta dengan mewujudkan suatu” pada sub anak kalimat terakhir.