Hamparan Perak, Deli Serdang: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Naval Scene (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
k Bot: Penggantian teks otomatis (-  + )
Baris 20:
Hamparan Perak adalah salah satu daerah yang tidak dapat disebut maju apalagi masyhur pada era modern ini. Salah satu bukti sahihnya, nama Hamparan Perak tidak begitu familiar di situs Wikipedia. Kalaupun ada, maka kita hanya mendapatkan satu halaman dengan narasi pendek berisikan populasi etnis yang mendiami daerah ini, tak lebih. Yang lebih parahnya, banyak penduduk di kota Medan yang masih belum mengenal Hamparan Perak dan menganggapnya sebuah daerah antah berantah. Fakta ini sungguh ironis mengingat situs yang bernama Hamparan Perak sebenarnya sudah eksis sejak abad 12 dalam bentuk Kerajaan yang bernama Haru/Aru. Meski mengenai lokasi pasti istananya masih menjadi polemik di kalangan ahli sejarah. Akan tetapi cerita tentang sebuah kerajaan bernama Haru bukanlah cerita fiksi yang sejajar dengan dongeng maupun legenda.
 
Seorang pakar sejarah bernama  '''Winstedt'''  beranggapan Kerajaan Haru memang pernah wujud dan berada di daerah yang sekarang disebut Tanah Deli. Sementara  '''Groeneveldt'''  menegaskan lokasi kerajaan Aru berada kira-kira di muara sungai Barumun (Padang Lawas) dan ahli sejarah lainnya,  '''Gilles'''  menyatakan di dekat Belawan. Sumber-sumber lain memperkirakan lokasi kerajaan Haru berada di muara Sungai Wampu (Teluk Aru, Langkat, yang akan dimekarkan menjadi Kabupaten Teluk Aru pada 2011) dan ada pula yang bersikeras di Sungai Panai.
 
Mari kita singkirkan kontroversi tersebut. Yang jelas kita patut menduga wilayah Hamparan Perak masa kini, dahulunya berada dalam pengaruh kekuasaan Kerajaan tersebut. Hal ini bukan tanpa alasan. Ditemukannya beberapa peninggalan arkeologi di daerah  '''Kota Rantang'''<ref>{{Cite journal|date=2016-01-24|title=Kota Rantang, Hamparan Perak, Deli Serdang|url=https://wiki-indonesia.club/w/index.php?title=Kota_Rantang,_Hamparan_Perak,_Deli_Serdang&oldid=10574571|journal=Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas|language=id}}</ref>, Kecamatan Hamparan Perak, dan  '''Kota Cina, Paya Pasir'''<ref>{{Cite journal|date=2016-02-03|title=Paya Pasir, Medan Marelan, Medan|url=https://wiki-indonesia.club/w/index.php?title=Paya_Pasir,_Medan_Marelan,_Medan&oldid=10765315|journal=Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas|language=id}}</ref>  (Labuhan Deli) beberapa waktu yang lalu dapat dijadikan acuan. Beberapa hasil temuan seperti keramik, potongan kayu bekas kapal, batu bata dan nisan disinyalir berasal dari abad ke 12 hingga 16. Koordinator kegiatan penggalian situs di Kota Rantang, Nani H Wibisono dalam salah satu media Jakarta terbitan 24 April 2008 mengatakan, aneka keramik yang ditemukan paling banyak berasal dari Dinasti Yuan abad ke-13-14. Selain itu ada keramik dari Dinasti Ming abad ke-15, keramik Vietnam abad ke-14-16, keramik Thailand abad ke-14-16, keramik Burma abad ke-14-16, dan keramik Khmer abad ke-12- 14. Adapun batu nisan yang ditemukan di lokasi bergaya Islam bertuliskan syahadat tanpa ada angka tahun. Semua ini menunjukkan adanya kawasan perniagaan internasional di daerah tersebut yang mengindikasikan adanya sebuah kerajaan yang kemungkinan besar adalah Kerajaan Haru.
 
Dalam Ying Yai Sheng Lan (1416) karya Ma Huan disebutkan bahwa di Kerajaan Aru terdapat sebuah muara sungai yang dikenal dengan “fresh water estuary” yang diasumsikan A.H. Gilles sebagai sungai Deli.
Baris 34:
Islam masuk ke kerajaan Haru kira-kira di abad 13. Para ahli sejarah berpendapat penduduk Haru lebih dulu memeluk Islam daripada Pasai. Disinyalir penduduk asli Haru berasal dari suku Karo, hal ini terlihat dari nama-nama pembesar Haru dalam Sulalatus Salatin yang mengandung nama dan marga Karo.
 
Buku  ''Sejarah Dinasti Ming''  menyebutkan bahwa pada abad ke 15 “Su-lu-tang Husin” alias Sultan Husin, penguasa Haru, mengirimkan upeti ke Cina tahun 1411. Setahun kemudian Haru dikunjungi oleh armada Laksamana Cheng Ho. Pada 1431 Laksamana Cheng Ho yang muslim ini kembali mengirimkan hadiah pada raja Haru, namun saat itu Haru tidak lagi membayar upeti pada Cina. Pada masa ini Haru telah berkembang menjadi saingan Kesultanan Malaka.
 
Pada 1511 Portugal menguasai Malaka. Haru menjalin hubungan baik dengan Portugal dan memanfaatkan Portugal dalam menyerang Pasai pada 1526. Ribuan penduduk Pasai tewas dalam invasi tersebut.
Baris 42:
Pada 1526 Haru muncul menjadi yang terkuat di Selat Malaka menyusul pengusiran Sultan Mahmud Syah dari Bintan oleh Portugal. Namun ambisi Haru untuk memperkokoh hegemoninya terganjal oleh Aceh yang sedang di puncak kejayaannya. Catatan Portugal menyebutkan ada dua serangan dari pasukan Aceh pada tahun 1539 dimana raja Haru terbunuh. Istri Raja Haru meminta bantuan Portugal dan Johor (penerus kesultanan Malaka dan Bintan). Pada 1540 Armada Johor menghancurkan armada Aceh di Haru.
 
Aceh kembali menaklukkan Haru pada 1564. Sekali lagi berkat bantuan Johor, Haru berhasil mendapatkan kemerdekaannya (seperti tercatat dalam Hikayat Aceh dan sumber-sumber Eropa). Namun pada abad akhir ke-16, Haru hanya menjadi pion dalam perebutan pengaruh antara Aceh dan Johor.  Kemerdekaan Haru benar-benar berakhir pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda dari Aceh yang naik takhta pada 1607. Dalam suratnya bertanggal tahun 1613 Sultan Iskandar Muda menyatakan kemenangannya atas Haru. Pada masa inilah nama Haru/Aru bertransformasi menjadi Deli.
 
'''Asal Usul nama Hamparan Perak dan hubungannya dengan Deli.  '''
 
Kita tidak mendapatkan data memadai tentang Hamparan Perak dari sumber-sumber Cina ataupun Eropa. Dalam hal ini, satu-satunya dokumen yang dapat kita andalkan adalah Naskah Tua Riwayat Hamparan Perak. Buku yang menceritakan silsilah datuk-datuk Hamparan Perak ini terbuat dari kulit alim (kulit kayu) dan ditulis dalam bahasa dan aksara Karo. Menurut sumber Sepuluh Dua Kuta, teks naskah ini disalin ke dalam bahasa Melayu (tulisan arab melayu) pada tahun 1274 H (kira-kira tahun 1857 M). Kemudian disalin lagi dan diteruskan riwayatnya ke dalam bahasa Melayu beraksara Latin pada 29 Desember 1916. Naskah aslinya musnah akibat revolusi sosial pada 04 Maret 1946, namun Panitia Hari Jadi Kota Medan memiliki salinannya dalam bahasa Melayu. Patut dibanggakan, naskah tua ini menjadi salah satu alat bukti pendukung dalam menemukan Hari Jadi Kota Medan yang disepakati Tim Panitia Hari Jadi Kota Medan jatuh pada tanggal 01 Juli 1590 menggeser hari jadi Gementee Medan pada 01 April 1909. 
 
Menurut teks tua tersebut, Datuk-datuk Hamparan Perak merupakan keturunan langsung dari Sisinga Manga Raja yang bertahta di Bakkara. Ceritanya dapat diuraikan sbb :
Baris 56:
Di Tanah Karo, tepatnya di Gunung Sibayak, Si Raja Hita kehilangan neneknya secara misterius. Dengan masygul dia kembali ke Bakkara, menikah dan membuat perkampungan di Pakan. Di sini ke 3 anaknya lahir. Masing-masing diberi nama Patimpus, Pakan dan Balige.
 
Patimpus mewarisi konsep ayahnya Si Raja Hita untuk mendirikan kampung di daerah lain.  Adiknya Pakan menjadi raja di Pekan, dan Balige menjadi raja pula di Balige, namun Patimpus lebih memilih memikul tanggung jawab yang dibebankan ayahnya, Si Raja Hita untuk mengembara. Terlebih-lebih lagi untuk menemukan dan membesarkan nama kakek buyutnya Jalipa yang ternyata ada di Kaban.
 
Ditiap tempat yang ditemukannya Patimpus menikah dan mempunyai anak. Di setiap tempat pula dia membuat perkampungan dan merajakan anak-anaknya di kampung-kampung seperti Benara, Kuluhu, Solahan, Paropo, Batu, Liang Tanah, Tongging, Aji Jahe, Batu Karang, Purbaji dan Durian Kerajaan. Patimpus juga secara gemilang berjasa mendamaikan Kaban dan Teran yang ditimpa huru hara. Dia juga membesarkan nama Jalipa di Kaban, dan kemudian menjadi pemimpin tertinggi di dataran Karo.
Baris 92:
Banu Hasyim mati muda sementara Sultan Ahmad masih kecil. Karenanya kerajaan dijabat sementara oleh Datuk Bandar Sapai hingga Sultan Ahmad dewasa. Dalam masa itu pula, ibu Sultan Ahmad menikah dengan Datuk Tengah dari Klumpang. Beliau menetap di sana dan berkubur di sana juga.
 
Setelah cukup umurnya Sultan Ahmad diangkat oleh Sultan Amaluddin Mangendar (Sultan Deli) untuk memimpin XII Kota dengan gelar Panglima Setia Raja Wazir XII Kota.   Nyatalah bahwa XII Kuta sudah menjadi salah satu urung dalam Kesultanan Deli.
 
Karena Pangkalan Buluh tenggelam Datuk memindahkan istananya ke Sei Lama. Namun tak berapa lama tempat itu pun tenggelam pula. Pindahlah Datuk Setia Raja membuat kampung di tempat lain. Konon pada saat membuka perkampungan tsb, Datuk Setia Raja menemukan selembar perak yang terhampar di situ. Itulah sebabnya kenapa tempat ini disebut sebagai Hamparan Perak.
Baris 127:
Seperti yang telah kita bahas di atas, Kerajaan Karo Islam yang dipimpin Datuk-datuk Hamparan Perak akhirnya menaklukkan diri ke dalam sebuah kesultanan baru, yang dikemudian hari dinamakan Kesultanan Deli. Hal ini terjadi semata-mata karena ikatan perkawinan.
 
Ceritanya begini, seorang bangsawan dari Delhi, India yang bernama Amir Muhammad Badaruddin Khan menikahi Putri Chandra Dewi, putri Sultan  Samudra Pasai. Dari pernikahan ini lahirlah Muhammad Dalik, yang kemudian karena kepahlawanannya berhasil menjadi laksamana dalam  Kesultanan Aceh.
 
Muhammad Dalik, yang kemudian juga dikenal sebagai [[Gocah Pahlawan]] dan bergelar Laksamana Khuja Bintan (ada pula yang menyebutnya Laksamana Kuda Bintan atau Cut Bintan), dipercaya Sultan Aceh untuk menjadi wakil di bekas wilayah Kerajaan Haru yang berpusat di daerah sungai Lalang-Percut. Untuk memperkuat posisinya di daerah tersebut, Gocah Pahlawan menikahi adik Raja Urung Sunggal (Datuk Itam Surbakti) yang bernama Puteri Nang Baluan Beru Surbakti, sekitar tahun 1632.
Baris 149:
Setelah Gocah Pahlawan meninggal dunia, pada tahun 1653, putranya Tuanku Panglima [[Perunggit]] mengambil alih kekuasaan dan pada tahun 1669 mengumumkan memisahkan kerajaannya dari Aceh. Istananya berada di Labuhan, kira-kira 20 km dari Medan.
 
Pada tahun  1720, putra mahkota Tuanku Umar diusir, sehingga  menyebabkan pecahnya Deli dan dibentuknya  Kesultanan Serdang. Setelah itu, Kesultanan Deli direbut  Kesultanan Siak Sri Indrapura  dan Aceh.
 
Pada tahun  1858, Tanah Deli menjadi milik  Belanda  setelah Sultan Siak,  Sharif Ismail, menyerahkan tanah kekuasaannya tersebut kepada mereka. Namun pada tahun  1861, Kesultanan Deli secara resmi diakui merdeka dari Siak maupun Aceh.
 
Kesultanan Deli menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif terutama dengan Belanda untuk mengurangi pengaruh kerajaan Aceh dan Siak. Masa kejayaan politik luar negeri Kerajaan Deli berada di tangan Sultan Mahmud Perkasa Alam.
Baris 157:
Pada tanggal 6 Juli 1863, seorang pemuda Belanda, Jacobus Nienhuys dan beberapa wakil perusahaan dagang JF van Leeuwen en Mainz & Co tiba di Deli. Nienhuys tiba bersama Van der Valk dan Elliot. Ketiganya dipercaya oleh perusahaan yang sama. Tapi begitu melihat kondisi Deli yang masih hutan belantara, Van der Valk dan Elliot memilih pulang ke Jawa. Di Jawa, mereka biasa menyewa lahan rakyat yang sudah digarap dan siap tanam.
 
Nienhuys bertahan di Deli dan berkenalan dengan Sultan Mahmud Perkasa Alam. Akhirnya Nienhuys diberikan hak pakai lahan selama 20 tahun tanpa perjanjian sewa. Lokasinya berada di Tanjung Sepassai seluas 4.000 bahu. Satu bahu sama dengan 8.000 meter bujur sangkar. Dari sinilah sejarah perkebunan  Deli dimulai. Tidak butuh waktu yang lama, Tanah Deli menjadi primadona. Pengusaha, penanam modal maupun buruh kasar dari seluruh dunia berbondong-bondong datang ke Deli.
 
Karena kemajuan yang demikian hebat, istana Sultan pun dipindahkan dari Kampung Bahari (Labuhan) ke Medan, menyusul selesainya pembangunan Istana Maimoon pada 18 Mei 1891. Kewibawaan Sultan sama sekali tidak jatuh. Tanah yang digarap pengusaha Belanda dan yang kemudian dijadikan sebagai gementee Medan, merupakan tanah hibah dari Sultan Deli, berdasarkan akta Hibah tertanggal 30 Nopember 1918.  Tanah yang dimaksud terdiri dari 4 kampung, yakni Kampung Kesawan, Kampung Sungai Rengas, Kampung Petisah Hulu dan Kampung Petisah Hilir. Sultan tidak merasa rugi dengan keputusannya tersebut.
 
Sejak saat itu Belanda mengembangkan Kotapraja Medan sebagai pusat politik maupun ekonominya. Medan pun menjadi salah satu kota terkemuka di Asia pada masa itu. Pada saat yang sama Hamparan Perak masih berwajah yang sama ketika dipimpin oleh Raja-raja Wazir XII Kuta. Tidak ada geliat kemajuan yang berarti.