Ranavalona III: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 48:
Sebagai penguasa Madagaskar, Ranavalona III menjadi pion dalam persaingan antara [[Britania Raya]] dan [[Prancis]] yang telah berlangsung semenjak awal abad ke-19. Ketegangan antara [[Prancis]] dengan [[Madagaskar]] semakin memanas khususnya dalam rentang waktu tiga tahun sebelum Ranavalona naik takhta, dan serangan-serangan semakin menguat beberapa bulan sebelum Ranavalona dimahkotai. Pada Februari 1883, pesisir barat laut Madagaskar dibombardir, dan lalu [[Mahajanga]] diduduki oleh pasukan Prancis pada bulan Mei, sementara [[Toamasina]] dibombardir dan direbut pada bulan Juni. Serangan di sepanjang pesisir utara masih berlangsung pada saat Ranavalona III dinobatkan sebagai ratu pada musim panas 1883. Tak lama setelah Prancis memulai penyerangan, Perdana Menteri Rainilaiarivony memutuskan untuk meminta bantuan kepada Letnan Kolonel Willoughby, seorang warga Britania yang telah memperoleh pengalaman dalam [[Perang Inggris-Zulu]] (tanpa harus menjadi anggota angkatan bersenjata Britania Raya), dalam mengatur urusan militer negara dan melatih tentara ratu untuk mempertahankan pulau tersebut dari serangan Prancis yang tampaknya sudah tak terelakkan lagi.{{sfn|Titcomb|1896|pp=530–542}}
Pada masa ini, Madagaskar terus mencoba berunding dengan Prancis, tetapi upaya ini gagal karena kedua belah pihak menolak berkompromi dalam hal-hal tertentu. Setelah dua tahun mengalami kebuntuan, sejumlah pasukan Prancis menyampaikan sebuah ultimatum kepada Madagaskar pada Desember 1885, yang menuntut beberapa hal
Sebelum diratifikasi, ratu dan perdana menteri sudah meminta klarifikasi tentang pasal di dalam perjanjian utama yang menyatakan bahwa "hubungan luar negeri" akan dikendalikan oleh seorang ''residen'' dari Prancis, dan juga pasal yang terkait dengan "pendirian" di [[Teluk Diego Suarez]]. Dua perunding utama Prancis, yaitu Menteri Patrimonio dan Laksamana Miot, memberikan penjelasan yang dilampirkan dalam perjanjian yang membuat para penguasa Madagaskar bersedia meratifikasi perjanjian tersebut karena dirasa sudah cukup untuk menjamin kedaulatan Madagaskar. Namun, perjanjian resminya diterbitkan di Paris tanpa adanya lampiran atau penyebutan keberadaan lampiran. Ketika lampiran tersebut kemudian diterbitkan di London, Prancis menganggap lampiran tersebut tidak sah. Prancis lalu menyatakan pendirian sebuah protektorat di Madagaskar meskipun pemerintah Madagaskar menolak hal tersebut.{{sfn|Titcomb|1896|pp=530–542}}
|