Kebijakan Satu Peta Nasional: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Penggantian teks otomatis (-Pranala Luar +Pranala luar)
k Bot: Penggantian teks otomatis (-  + )
Baris 4:
 
=== 2010 ===
Kebijakan Satu Peta, muncul pertama kali sejak Presiden RI  [[Susilo Bambang Yudhoyono]], pada  Rapat Kabinet   23 Desember 2010.  ketika [[Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan]] (UKP4) menunjukkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono peta tutupan hutan dari [[Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia|Kementerian Lingkungan Hidup]] dan [[Departemen Kehutanan Republik Indonesia|Departemen Kehutanan]] yang berbeda dimana hal tersebut yang mendorong Presiden SBY memerintahkan penyusunan satu peta<ref>[http://agengwsp.blogspot.co.id/2015/12/tentang-one-map-policy-omp-indonesia.html "Tentang One Map Policy OMP Indonesia"]</ref> "Saya ingin hanya satu peta saja sebagai satu-satunya referensi nasional!". Selain itu karena Informasi Geospasial Tematik (IGT) yang dibangun tidak merujuk pada satu sumber rujukan Peta Dasar (Peta Rupabumi). Bisa dipastikan selama Informasi Geospasial Tematik tidak merujuk pada Peta Dasar yang dibangun oleh instansi yang berkompeten dan berkewenangan dalam hal ini [[Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional]] (Bakosurtanal) maka Informasi Geospasial Tematik yang dibangun tersebut akan menimbulkan kesimpangsiuran.  Adanya perbedaan tersebut akan mempengaruhi penentuan keputusan berbagai kebijakan strategis nasional. Kebijakan One Map Policy hadir sebagai aturan yang mengharuskan adanya penyatuan informasi geospasial. Sehingga tumpang - tindih seperti yang telah terjadi tersebut, tidak terulang dan kebijakan yang diambil pemerintah dapat tepat sasaran.<ref>[http://netgeodet.blogspot.co.id/2014/01/latar-belakang-kebijakan-one-map-policy.html "Latar Belakang kebijakan One Map Policy"]</ref>
 
Selain daripada itu di dalam kenyataan penyelenggaraan informasi geospasial terdapat beberapa kenyataan bahwa (1)  banyak  peta yang dibuat oleh berbagai K/L  dengan spesifikasi sesuai kebutuhan masing-masing, (2) kebutuhan yang berbeda menyebabkan perbedaan spesifikasi informasi peta tematik yang dapat menimbulkan kesimpangsiuran informasi, dan (3) masih diperlukan mekanisme untuk menyatukan keberagaman menuju kesatuan informasi geospasial dasar dan tematik nasional.
 
=== 2011 ===
Baris 14:
 
==== Undang-Undang Informasi Geospasial ====
''One Map Policy''  adalah amanat [http://www.bakosurtanal.go.id/assets/download/UU_IG/UU%20NO%204%20THN%202011%20TENTANG%20INFORMASI%20GEOSPASIAL.pdf Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (IG)]. Informasi Geospasial diselenggarakan berdasarkan asas kepastian hukum, keterpaduan, keterbukaan, kemutakhiran, keakuratan, kemanfaatan, dan demokratis. Undang-Undang ini bertujuan untuk mewujudkan penyelenggaraan Informasi Geospasial yang berdaya guna dan berhasil guna melalui kerja sama, koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan mendorong penggunaan Informasi Geospasial dalam penyelenggaraan pemerintahan dan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. BIG sebagai penyelenggara Informasi Geospasial Dasar yaitu Jaring Kontrol Geodesi dan Peta Dasar yang menjadi acuan untuk menjamin keterpaduan informasi nasional. BIG mengintegrasikan berbagai peta yang dimiliki sejumlah instansi pemerintah ke dalam satu peta dasar (''One Map'').<ref>[http://agengwsp.blogspot.co.id/2015/12/tentang-one-map-policy-omp-indonesia.html]</ref>
 
Konsep One Map Policy adalah untuk menyatukan seluruh informasi peta yang diproduksi oleh berbagai sektor ke dalam satu peta secara integratif , dengan demikian tidak terdapat perbedaan dan tumpang tindih informasi dalam peta yang mana ditetapkan oleh satu lembaga dalam hal ini BIG untuk ditetapkan sebagai one reference, one standard, one database, dan one geoportal.<ref>[http://agengwsp.blogspot.co.id/2015/12/tentang-one-map-policy-omp-indonesia.html]</ref>
 
Kepala BIG mengatakan bahwa  ''"One Map Policy"''  diyakini akan dapat mendukung kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien termasuk di dalamnya pengawasan dan pengelolaan lingkungan. Deforestasi yang tidak terkendali salah satunya adalah karena tidak tersedianya peta atau informasi geospasial yang terintegrasi pada setiap kementerian dan lembaga, sehingga terjadi tumpang tindih dalam pemberian ijin usaha. Permasalahan ini sangat terkait dengan pemetaan tataruang daerah. Keterbatasan ketersediaan informasi geospasial dan sumberdaya manusia yang memahami informasi geospasial dan analisis keruangan menjadi salah satu penyebab utama dari rendahnya kualitas penataan ruang.<ref>[http://agengwsp.blogspot.co.id/2015/12/tentang-one-map-policy-omp-indonesia.html]</ref>
 
Kebijakan Open Map Policy juga bertujuan untuk mewujudkan tata kelola hutan yang baik (''good forest governance''), informasi geospasial untuk MP3EI ([[Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia]]), mengkoordinasikan proyek-proyek MP3EI serta mendukung disaster management (penanganan bencana).<ref>[http://thepresidentpostindonesia.com/2014/09/12/hasil-seminar-geospasial-kebijakan-satu-peta-untuk-kemajuan-bangsa/ "Hasil Seminar Geospasial, Kebijakan Satu Peta untuk kemajuan bangsa"]</ref>
Baris 66:
Melalui Peraturan Presiden (Perpres) tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta ini, menurut Darmin Nasution, kementerian dan lembaga akan menyiapkan peta tematik skala 1:50.000 sesuai rencana aksi masing-masing dengan batas akhir tahun 2019. Karena itu Menko Perekonomian meyakini, kebijakan satu peta ini akan mempermudah dan mempercepat penyelesaian konflik tumpang tindih pemanfaatan lahan, penyelesaian batas daerah seluruh Indonesia.
 
Kebijakan satu peta ini didukung oleh Pemerintah melalui Kelompok Kerja Nasional IGT dengan meluncurkan Satu Peta Informasi Geospasial Tematik.  Satu Peta tersebut meliputi 6 tema Informasi Geospasial Tematik, yaitu: 
# Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG), 
# Multirawan Bencana, 
# Karakteristik Laut Nasional, 
# Mangrove Nasional, 
# Penutup Lahan Nasional dan 
# Sedimen Dasar Laut Nasional.