Hamparan Perak, Deli Serdang: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika
OrophinBot (bicara | kontrib)
Baris 9:
|nama camat=-
|kepadatan=- jiwa/km²
|provinsi=SumateraSumatra Utara
}}
'''Hamparan Perak''' adalah sebuah [[kecamatan]] di [[Kabupaten Deli Serdang]], [[SumateraSumatra Utara]], [[Indonesia]].
 
Mayoritas penduduk adalah [[suku Melayu Deli|Melayu Deli]] (70%), [[Suku Jawa|Jawa]] (10%), [[Suku Tionghoa|Tionghoa]] (10%) dan [[Suku Karo|Karo]] dan [[Suku Batak|Batak]] (5%) serta berbagai suku lainnya.
[[Berkas:Hamparan perak tempo dulu.jpg|jmpl|357x357px|Peringatan 17 agustus pada tahun 70-an di Hamparan Perak]]
'''Hamparan Perak''' berada di Pesisir Timur Pulau SumateraSumatra. Di masa kini, Hamparan Perak termasuk salah satu desa dalam kecamatan Hamparan Perak yang berafiliasi ke Kabupaten Deli Serdang, Provinsi SumateraSumatra Utara, Negara Republik Indonesia. Berjarak 20 km dari Medan, Hamparan Perak adalah ibukota terakhir dari Sepuluh Dua Kuta, sebuah kampung rintisan [[Guru Patimpus]] yang pertama kali beribukota di Medan. Bagaimana ceritanya, akan kita telisik melalui catatan ini.
 
Kerajaan Haru.
Baris 27:
Dalam Ying Yai Sheng Lan (1416) karya Ma Huan disebutkan bahwa di Kerajaan Aru terdapat sebuah muara sungai yang dikenal dengan “fresh water estuary” yang diasumsikan A.H. Gilles sebagai sungai Deli.
 
Dalam Hsingcha Shenglan (1426) disebutkan lokasi Kerajaan Aru berseberangan dengan Pulau Sembilan (Malaysia), dan dapat ditempuh dengan perahu selama 3 hari 3 malam dari Melaka dengan kondisi angin yang baik. Sementara menurut Sejarah Dinasti Ming (1368-1643) Buku 325 disebutkan bahwa lokasi Kerajaan Aru dekat dengan Kerajaan Melaka, dan dengan kondisi angin yang baik dapat dicapai selama 3 hari. Semua sumber China itu mengarahkan bahwa lokasi Kerajaan Aru itu berada di daerah SumateraSumatra Utara, karena sebelah barat Aru disebutkan adalah Samudera Pasai.
 
Mengingat sistem transportasi zaman dahulu masih bertumpu pada jalur sungai, dapat kita asumsikan bahwa bandar-bandar perdagangan yang sering berfungsi sebagai pusat sebuah kekuasaan politik (kerajaan) pastilah berada di sekitar muara sungai. Dalam konteks ini, kita melihat di sepanjang pantai SumateraSumatra Timur, ada beberapa sungai besar yang bermuara ke Selat Melaka. Misalnya Sungai Barumun, Sungai Wampu, Sungai Deli, dan Sungai Bedera. Dua sungai yang disebut terakhir ini bermuara ke Belawan dan sekitarnya (Hamparan Perak). Jika demikian tampaknya pendapat Gilles lebih masuk akal, apalagi jika dihubungkan dengan beberapa temuan arkeologis di Kota Rantang dan Labuhan Deli. Jika demikian adanya, maka Hamparan Perak sudah berada dalam kekuasaan kerajaan Haru meskipun masih berupa hutan belukar.
 
Nama Haru muncul pertama kali dalam kronik Tiongkok masa Dinasti Yuan, yang menyebutkan Kubilai Khan menuntut tunduknya penguasa Haru kepada Tiongkok pada 1282. Raja Haru menanggapinya dengan mengirimkan upeti pada tahun 1295.
Baris 168:
Berita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 telat datang di Medan. Lagi pula, di wilayah yang dimaksud Soekarno sebagai wilayah yang belum merdeka, Kesultanan Deli, Kesultanan Langkat, Kesultanan Serdang dan beberapa kesultanan lain di daerah Simalungun masih eksis dan bisa berdiri kembali sebagai sebuah kerajaan yang merdeka sebagaimana sejarah yang telah lewat. Lagi pula para sultan pun merasa tidak perlu bergabung dengan negara baru yang digagas oleh Soekarno tersebut. Namun euphoria rakyat atas proklamasi tersebut tidak terbendung lagi. Di Tanah Deli hingga Simalungun, rakyat (yang sudah didominasi oleh pendatang dari Tanah Jawa) mengobarkan genderang perang. Mereka mendirikan laskar-laskar rakyat kemudian menyerang dan merampok istana-istana yang ada. Kerusuhan yang bisa disebut genosida tersebut kini dialamatkan terhadap komunis. Revolusi melibatkan mobilisasi rakyat yang berujung pada pembunuhan anggota keluarga kesultanan Melayu yang dikenal pro-Belanda namun juga golongan menegah pro-Republik dan pimpinan lokal administrasi Republik.
 
Puncaknya, pada 04 Maret 1946 yang disebut sebagai Revolusi Sosial tersebut, beberapa Kesultanan yang ada di Langkat, Deli hingga Simalungun dihabisi oleh laskar-laskar rakyat tersebut. Alasan penyerangan tak lain dan tak bukan adalah tuduhan bahwa pihak kerajaan merupakan kaki tangan feodal menyusul berkembangnya ide Van Mook dalam mendirikan Negara yang dianggap Soekarno sebagai Negara boneka, yakni Negara SumateraSumatra Timur. Akibat kejadian tersebut banyak tokoh-tokoh terpelajar dari pihak kesultanan yang tewas, seperti pujangga Amir Hamzah di Kesultanan Langkat dan Datuk Hafiz Haberham di Kesultanan Deli. Sementara untuk kesultanan yang buru-buru menyatakan bergabung dengan NKRI seperti kesultanan Serdang, misalnya. Nasibnya lebih baik dari kesultanan-kesultanan yang dibinasakan oleh laskar-laskar tersebut.
 
Pada akhirnya kesultanan Deli menyatakan bergabung dengan negara baru yang berbentuk republik ini dengan kerelaan melepaskan kekuasaan politiknya yang demikian besar dan mewah. Kesultanan Deli benar-benar mengikhlaskan dirinya bergabung tanpa syarat apa pun. Hal ini tentu berbeda jauh dengan Kesultanan Jogja yang melakukan ijab kabul dengan Soekarno agar Kesultanan Jogja diberi status Daerah Istimewa. Hal ini diterima Soekarno dengan alasan, Sultan HB IX turut memberikan andil dalam kemerdekaan RI (berbeda dengan sultan-sultan lain di pesisir timur). Dengan adanya status keistimewaan tsb, Sultan Jokja masih mempunyai hegemoni politik terhadap rakyatnya, sampai dengan hari ini.