Sejarah Malang Raya: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Berkas Coat_of_arms_of_Malang_(-1950).jpg dibuang karena dihapus dari Commons oleh Jcb
Azza Bimantara (bicara | kontrib)
Penambahan Gambar dan Keterangan di Bagian Kerajaan Hindu
Baris 27:
 
== Masa Pra-Sejarah ==
[[Berkas:Miniatur Dataran Tinggi Malang.jpg|jmpl|Miniatur Dataran Tinggi Malang pada era [[Pleistosen]]]]
Kawasan Malang pada era [[Pleistosen]] masih berupa cekungan dalam yang diapit aktivitas vulkanis dari gunung-gunung seperti Pegunungan Kapur di Selatan, [[Gunung Kawi]] dan [[Gunung Kelud]] di Barat, [[Gunung Anjasmoro|Kompleks Pegunungan Anjasmoro]], [[Gunung Welirang|Welirang]], dan [[Gunung Arjuno|Arjuna]] di Timur Laut dan Utara, dan [[Taman Nasional Bromo Tengger Semeru|Kompleks Pegunungan Tengger]] di Timur.<ref>R. W. van Bemmelen (1949). ''The Geology of Indonesia Vol. I''. Den Haag: Martinus-Nijhoff</ref> Cekungan tersebut belum dihuni manusia akibat kondisinya masih berupa aliran lava dan lahar panas dari gunung-gunung sekitarnya.<ref>S. Santosa & T. Suwarti (1992). ''Peta Geologi Lembar Malang, Jawa Timur, skala 1:100.000''. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi</ref> Menjelang musim hujan, cekungan daerah Malang tersebut terisi air yang mengalir lewat lereng-lereng gunung yang menuju ke sejumlah sungai dan membentuk sebuah rawa-rawa purba. Rawa-rawa tersebut meluas sehingga menciptakan danau purba.
 
Baris 37 ⟶ 38:
=== [[Kerajaan Kanjuruhan]] ===
[[Berkas:Candi_Badut_2.jpg|jmpl|300x300px|[[Candi Badut]], salah satu peninggalan [[Kerajaan Kanjuruhan]]<ref>{{Cite web|url=http://sejarahbudayanusantara.weebly.com/candi-badut.html|title=Candi Badut|website=Sejarah dan Budaya Nusantara|access-date=2017-10-22}}</ref> yang menjadi bukti bahwa Kerajaan Kanjuruhan adalah tonggak perkembangan Kota Malang]]Entitas politik pertama dan tertua yang muncul dari permukiman kuno di Malang, yang tercatat dalam sejarah, ialah [[Kerajaan Kanjuruhan]]. Berdasarkan informasi yang dituturkan [[Prasasti Dinoyo|Prasasti Kanjuruhan/Dinoyo]] (682 Saka/760 Masehi), kerajaan ini sempat dipimpin oleh Dewa Simha. Setelah wafat, ia digantikan oleh putranya yang bernama Liswa atau Limwa dengan gelar [[Gajayana]] pada 760 Masehi. Pada masa kekuasaannya, ia telah menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya,<ref>W. J. van der Meulen (1976). The Puri Putikesvarapavita and the Pura Kanjuruhan. ''Bijdragen Tot De Taal – En Volkenkunde, 132(4)''. 445-462</ref> membangun tempat-tempat suci sebagai simbol restorasi kekuasaan, mendermakan sejumlah hewan ternak kepada masyarakat dan pendeta, serta membangun sejumlah fasilitas publik yang diperuntukkan bagi kegiatan keagamaan dan aktivitas sehari-hari.<ref>D. I. Widodo (2015), ''Malang Tempo Doeloe''. Surabaya: Dukut Publishing. p. 15</ref> Peninggalan dari [[Kerajaan Kanjuruhan]] yang masih tersisa hingga kini selain [[Prasasti Dinoyo]] termasuk ''[[yoni]]'' Candi Wurung,<ref>B. Indo, ‘Situs Purbakala Diduga Bagian Candi Ditemukan di Merjosari Kota Malang, Kerajaan Kanjuruhan?’ ''SuryaMalang.com'' (daring), 16 Juni 2017, http://suryamalang.tribunnews.com/2017/06/16/situs-purbakala-diduga-bagian-candi-ditemukan-di-merjosari-kota-malang-kerajaan-kanjuruhan, diakses pada 8 Januari 2019</ref> yang terletak di [[Merjosari, Lowokwaru, Malang]], dan [[Candi Badut]] yang terletak di [[Karangwidoro, Dau, Malang|Karangwidoro, Dau, Kabupaten Malang]].
[[Berkas:Serpihan Peninggalan Kerajaan Kanjuruhan.jpg|jmpl|Sisa-sisa Peninggalan Kerajaan Kanjuruhan di sekitar [[Tlogomas, Lowokwaru, Malang|Kelurahan Tlogomas]], [[Lowokwaru, Malang|Kecamatan Lowokwaru]], [[Kota Malang|Malang]]]]
 
=== Rakryan Kanuruhan ([[Kerajaan Medang|Mataram Kuno]]) ===
Kekuasaan Kerajaan Kanjuruhan diperkirakan tidak bertahan lama. Kerajaan itu akhirnya berada di bawah kekuasaan ''Medang i Bhumi Mataram'' ([[Kerajaan Medang|Kerajaan Mataram Kuno]]) semasa kepemimpinan [[Dyah Balitung|Raja Dyah Balitung]] (899-911 Masehi). Dalam [[Prasasti Balingawan]] (813 Saka/891 Masehi), disebutkan Pu Huntu sebagai ''Rakryan Kanuruhan'' (penguasa ''watak'' Kanuruhan) di masa kekuasaan [[Mpu Daksa|Raja Mpu Daksa]] (911-919 Masehi).<ref>J. L. A. Brandes (1913). ''Oud-Javaansche Oorkonden: Nagelaten transcripties van willen Dr. JLA Brandes Uitgegeven door Dr. NJ Krom''. Den Haag: Martinus Nijhoff</ref> Artinya, wilayah yang dulu menjadi kerajaan otonom telah turun satu tingkat menjadi ''watak'' (wilayah) yang setingkat dengan kadipaten atau kabupaten (satu tingkat di bawah kekuasaan raja). Watak Kanuruhan yang mencakup pusat Kota Malang saat ini adalah entitas yang berdiri berdampingan dengan Watak Hujung (di sekitar [[Singosari, Malang|Singosari]], [[Lawang, Malang|Lawang]], dan [[Jabung, Malang|Jabung]], [[Kabupaten Malang]]) dan Watak Tugaran (di Tegaron, [[Lesanpuro, Kedungkandang, Malang|Lesanpuro]], [[Kedungkandang, Malang|Kedungkandang]], [[Kota Malang|Malang]]) yang masing-masing membawahi beberapa ''wanua'' (setingkat desa).<ref>I. Lutfi (2003). Desa-Desa Kuno di Malang Periode Abad ke-9-10 Masehi: Tinjauan Singkat Berbasis Data Tekstual Prasasti dan Toponimi. ''Sejarah, 9(1)''. 28-40</ref>
[[Berkas:054 View from North, Candi Songgoriti (26546059548).jpg|jmpl|Candi Songgoriti, ditemukan oleh Van Isseldijk pada 1799,<ref>Verslag van W. I. I. van Isseldijk omtrent de gesteldheid van Java's Oesthoek, 15 Junij 1799, dalam J. K. J. de Jonge (1933), ''De Opkomst van het Nederlandsch gezag in Oost-Indie. Verzameling van Onuitgegeven Stukken uit het Oud-Koloniaal Archief. Uitgegeven en Bewerkt Door...'' Vol. XII. Den Haag: Martinus Nijhoff. pp. 464-556</ref> direnovasi oleh Jonathan Rigg pada 1849, merupakan peninggalan kekuasaan [[Mpu Sindok]] ketika ia meminta salah satu bawahannya, Mpu Supo, untuk mendirikan tempat peristirahatan keluarga kerajaan di wilayah pegunungan yang memiliki sumber mata air.<ref>'Candi Songgoriti,' ''Ngalam.id'' (daring), 2 Januari 2013, http://ngalam.id/read/921/candi-songgoriti/, diakses pada 18 Januari 2019</ref>]]
 
Ketika pusat pemerintahan Mataram Kuno dipindah ke daerah Tamwlang dan [[Watugaluh, Diwek, Jombang|Watugaluh]] ([[Kabupaten Jombang|Jombang]]) pada masa kekuasaan [[Mpu Sindok|Raja Mpu Sindok]] (929-948 Masehi), beberapa prasasti seperti Sangguran, Turyyan, Gulung-Gulung, Linggasutan, Jeru-Jeru, Tija, Kanuruhan, Muncang, dan Wurandungan menggambarkan sejumlah kebijakan kewajiban pajak terhadap desa-desa perdikan (''sima'') di Malang dan sejumlah proses wakaf sejumlah bidang tanah untuk didirikan bangunan suci.<ref name=":2">‘Daftar Tahun Sejarah Malang I,’ ''Ngalam.id'' (daring), 21 Januari 2014, http://ngalam.id/read/122/daftar-tahun-sejarah-malang-i/, diakses pada 8 Januari 2019</ref> Oleh karena itu, beberapa ''wanua'' kuno yang diperkirakan “terwariskan” (berdasarkan nama-nama prasasti maupun nama tokoh setempat di masa lalu) hingga menjadi beberapa daerah di Malang sampai saat ini mencakup sebagai berikut:<ref name=":2" />
 
Baris 57 ⟶ 59:
=== [[Kerajaan Kahuripan]]: Dari [[Kerajaan Janggala|Jenggala]] hingga [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]] ===
Tidak ada catatan yang menjelaskan secara detail status dan peran daerah sekitar Malang pada masa kepemimpinan [[Airlangga|Raja Airlangga]] selain kenyataan bahwa Malang masuk ke dalam wilayah [[Kerajaan Kahuripan]]. Pasalnya, daerah Malang tidak lagi menjadi pusat pemerintahan dari Kerajaan yang berpusat di sekitar Gunung Penanggungan dan Sidoarjo dengan ibukotanya Kahuripan. Bahkan ketika [[Airlangga|Raja Airlangga]] membagi [[Kerajaan Kahuripan|Kahuripan]] menjadi Panjalu yang terpusat di Daha ([[Kerajaan Kadiri|Kadiri]]) dan [[Kerajaan Janggala|Jenggala]] yang tetap berpusat di Kahuripan, wilayah Malang termasuk periferi dari kekuasaan kedua kerajaan ini. Namun, dapat dipastikan bahwa wilayah Malang masuk ke dalam wilayah Jenggala pada saat pembagian ini. Pembagian [[Kerajaan Kahuripan|Kahuripan]] menunjukkan bahwa [[Gunung Kawi]] digunakan sebagai batas dua kerajaan baru tersebut dengan sisi timur diperoleh [[Kerajaan Janggala|Jenggala]].
[[Berkas:Kediri Kingdom id.svg|kiri|jmpl|Pembagian Wilayah Kerajaan Panjalu (jingga gelap) dan Kerajaan Jenggala (jingga terang) sebelum 1135 Masehi. Batas kedua wilayah tersebut merupakan Gunung Kawi]]
 
Wilayah Malang kembali menjadi aktor penting dalam sejarah Panjalu/Jenggala ketika [[Jayabaya|Raja Jayabhaya]] dari [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]] menaklukkan [[Kerajaan Janggala|Jenggala]]. Dalam Prasasti Hantang (1057 Saka/1135 Masehi), tertulis ''Panjalu Jayati'' (“Panjalu Menang”), menandakan kemenangan [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]] atas [[Kerajaan Janggala|Jenggala]]. Prasasti tersebut juga memuat pemberian hak-hak istimewa terhadap beberapa desa di Hantang ([[Ngantang, Malang|Ngantang]], [[Kabupaten Malang]]) dan sekitarnya atas jasa mereka dalam memihak [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]] saat perang.<ref>‘Prasasti Hantang, Hadiah Raja Jayabhaya untuk Warga Ngantang,’ ''Ngalam.co'' (daring), 16 April 2017, https://ngalam.co/2017/04/16/prasasti-hantang-hadiah-raja-jayabhaya-warga-ngantang/, diakses pada 9 Januari 2019</ref> Prasasti ini juga sekaligus menunjukkan bahwa wilayah Malang berada dalam kekuasaan Panjalu.
 
Prasasti Kamulan (1116 Saka/1194 Masehi) mencatat peristiwa penyerangan sebuah wilayah dari timur Daha (Kadiri) terhadap [[Kertajaya|Raja Kertajaya]] (dalam ''[[Pararaton]]'' disebut Dandang Gendhis) yang berdiam di Kedaton Katang-Katang.<ref>‘Prasasti Kamulan Kabupaten Trenggalek,’ ''Situs Budaya'' (daring), https://situsbudaya.id/prasasti-kamulan-trengalek/, diakses pada 9 Januari 2019</ref> Tidak ada penelitian lebih lanjut mengenai apakah penyerangan tersebut merupakan pemberontakan atau percobaan penaklukan. Namun, keberadaan Prasasti Kamulan menunjukkan bahwa terdapat sebuah kekuatan politik baru yang muncul untuk menentang kekuasaan [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]]. Argumen ini diperkuat oleh keberadaan Prasasti Sukun (1083 Saka/1161 Masehi) yang menyebut seorang raja bernama Jayamerta yang memberikan hak-hak istimewa terhadap Desa Sukun (diduga di [[Sukun, Sukun, Malang|Kelurahan Sukun]], [[Sukun, Malang|Kecamatan Sukun]], [[Kota Malang|Malang]]) karena telah memerangi musuh.<ref>Suwardono, S. Rosmiayah, dan Maskur (1997), ''Monografi Sejarah Kota Malang'', Malang: Sigma Media</ref> Jayamerta tidak pernah tercantum secara eksplisit maupun implisit dalam berbagai catatan yang merujuk informasi baik mengenai daftar penguasa [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]] maupun [[Kerajaan Janggala|Jenggala]]. Beberapa ahli sejarah seperti Agus Sunyoto menyebut bahwa daerah asal perlawanan tersebut bernama Purwa atau Purwwa. Ini didukung oleh argumen Sunyoto ketika merujuk bahwa semua penguasa [[Majapahit]] merupakan keturunan dari [[Ken Arok]] yang “[...] mengalirkan benihnya ke dunia lewat cahaya (''teja'') yang memancar dari “rahasia” [[Ken Dedes]], ''naraiswari'' [...] Kerajaan Purwa.”<ref>A. Sunyoto (2004), ''Sang Pembaharu: Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar''. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara. p. 32</ref> ''Naraiswari'' (atau ''nareswari/ardanareswari'') sendiri dalam [[bahasa Sanskerta]] berarti “perempuan utama” dan Ken Dedes sendiri merupakan putri dari [[Mpu Purwa]], brahmana dari Panawijyan ([[Polowijen, Blimbing, Malang|Kelurahan Polowijen]], [[Blimbing, Malang|Kecamatan Blimbing]], [[Kota Malang|Malang]]). Pada akhirnya upaya perlawanan dari Purwa/Purwwa berhasil ditumpas oleh [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]].
[[Berkas:Penculikan ken dedes.jpg|jmpl|Diorama penculikan [[Ken Dedes]] oleh [[Tunggul Ametung]] di Museum Mpu Purwa, [[Kota Malang|Malang]]]]
 
Beberapa ahli sejarah mengaitkan rangkaian peristiwa perlawanan dan penumpasan tersebut sebagai konteks sosial politik dari dua konflik yang melibatkan [[Kertajaya|Raja Kertajaya]] dengan kelas brahmana. Yang pertama ialah kebijakan [[Kertajaya|Raja Kertajaya]] yang berusaha untuk mengurangi sejumlah hak dari kelas [[Brahmana]]. Beberapa cerita rakyat menunjukkan bahwa [[Kertajaya|Raja Kertajaya]] ingin “disembah” oleh para [[Brahmana]] sehingga bertentangan dengan ajaran agama dari kalangan brahmana. Yang kedua ialah peristiwa penculikan [[Ken Dedes]] oleh [[Tunggul Ametung]], ''akuwu'' (setara camat) untuk wilayah [[Tumapel]].<ref>‘Kerajaan Purwwa,’ ''Ngalam.id'' (daring), 29 Oktober 2012, http://ngalam.id/read/98/kerajaan-purwwa/, diakses pada 9 Januari 2019</ref> Menurut Blasius Suprapto dalam disertasinya, letak [[Tumapel]] sendiri berada di wilayah yang dulu bernama Kutobedah (sekarang bernama [[Kotalama, Kedungkandang, Malang|Kelurahan Kotalama]], [[Kedungkandang, Malang|Kecamatan Kedungkandang]], [[Kota Malang|Malang]]).<ref>B. Suprapta (2015), ''Makna Gubahan Ruang Situs-Situs Hindhu-Buddha Masa Sinhasari Abad XII Sampain XIII Masehi di Saujana Dataran Tinggi Malang dan Sekitarnya''. Disertasi. Tidak Dipublikasikan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada</ref> Implikasi dari kedua konflik tersebut ialah penarikan dukungan politik dari kelas [[Brahmana]] terhadap [[Kertajaya|Raja Kertajaya]].
 
=== [[Kerajaan Singasari|Kerajaan Singhasari]] ===
Keruntuhan [[Kerajaan Kadiri|Panjalu/Kadiri]] dan lahirnya Kerajaan Tumapel di [[Kota Malang|Malang]] berawal dari kelas Brahmana dari Panjalu yang berusaha menyelamatkan diri dari persekusi politik yang dilakukan [[Kertajaya|Raja Kertajaya]]. Mereka melarikan diri ke arah timur dan bergabung dengan kekuatan politik di Tumapel yang dipimpin oleh [[Ken Arok|Ken Angrok]]. Ia kemudian memberontak terhadap ''akuwu'' [[Tunggul Ametung]] didan menguasai Tumapel. PemberontakanKemenangan [[Ken Arok|Ken Angrok]] tersebut berhasilsekaligus danpernyataan membuatperang Kenuntuk Angrokmemisahkan diri dari [[Kerajaan Kadiri|Kadiri]]. Perebutan kekuasaan antara [[Kertajaya]] dan [[Ken Arok|Ken Angrok]] terhadap wilayah Malang dan sekitarnya berujung pada Pertempuran Ganter di [[Ngantang, Malang|Ngantang]] (sekarang kecamatan di [[Kabupaten Malang]]) (1144 Saka/1222 Masehi) yang dimenangkan oleh [[Ken Arok|Ken Angrok]]. Alhasil,Ia Ken Angrokpun menahbiskan dirinya sebagai raja pertama Kerajaan Tumapel dengan gelar Rajasa Sang Amurwabhumi. Ibukotanya sendiri tetap berada di Tumapel namun berganti nama menjadi Kutaraja.
[[Berkas:Candi Jago C.JPG|kiri|jmpl|Candi Jago, tempat pen-''dharma''-an Raja Wisnuwardhana, di [[Tumpang, Malang|Kecamatan Tumpang]], [[Kabupaten Malang]]]]
 
Hingga periode perpindahan ibukota kerajaan pada masa pemerintahan [[Wisnuwardhana|Raja Wisnuwardhana]] dari TumapelKutaraja ke Singhasari ([[Singosari, Malang|Kecamatan Singosari]], [[Kabupaten Malang]]) pada 1176 Saka/1254 Masehi, belum ada catatan komprehensif mengenai status strategis wilayah Malang di era Tumapel. Tidak dijelaskan alasan perpindahan tersebut namun mulai pada era inilah [[Kerajaan Singasari|Singhasari]] menjadi nama bagi kerajaan ini. Nama inilah yang juga dipakai untuk menyebut nama candi di pusat kerajaan, yakni Candi Singosari. Data selebihnya hanya menunjukkan beberapa tempat bersejarah di Malang seperti daerah Gunung Katu di Genengan ([[Parangargo, Wagir, Malang|Prangargo]], [[Wagir, Malang|Wagir]], [[Kabupaten Malang]]) yang menurut sejarawan Dwi Cahyono merupakan situs pen-''dharma''-an Ken Arok,<ref>R. H. Putri, ‘Persembahan Terakhir bagi Rajasa,’ ''Historia'' (daring), 14 Oktober 2017, https://historia.id/kuno/articles/persembahan-terakhir-bagi-rajasa-PKNGQ, diakses pada 11 Januari 2019</ref> daerah Rejo Kidal ([[Kidal, Tumpang, Malang|Desa Kidal]], [[Tumpang, Malang|Kecamatan Tumpang]], [[Kabupaten Malang]]), di mana [[Anusapati|Raja Anusapati]] di-''dharma''-kan dalam [[Candi Kidal]], dan daerah Tumpang di mana [[Wisnuwardhana|Raja Wisnuwardhana]] di-''dharma''-kan dalam [[Candi Jago]].
 
Pada masa kepemimpinan [[Kertanagara|Raja Kertanegara]], [[Kerajaan Singasari|Kerajaan Singhasari]] menghadapi pemberontakan oleh [[Jayakatwang]] dari daerah Gelang-Gelang (sekitar [[Kota Madiun|Madiun]]).<ref>A. C. Irapta & C. D. Duka (2005). ''Introduction to Asia: History, Culture, and Civilization''. Quezon: Rex Bookstore, Inc.</ref> [[Jayakatwang]] sendiri adalah cicit dari [[Kertajaya|Raja Kertajaya]] menurut ''[[Kakawin Nagarakretagama|Negarakertagama]]'' dan keponakan dari [[Wisnuwardhana|Raja Wisnuwardhana]] (dari garis keturunan perempuan) menurut [[Prasasti Mula Malurung]].<ref>S. Muljana (1979). ''Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya''. Jakarta: Bhratara</ref> Pemberontakan tersebut menewaskan [[Kertanagara|Raja Kertanegara]], akibatraja wilayah[[Kerajaan Singasari|Singhasari]] yang terakhir, akibat wilayahnya yang tidak memiliki pertahanan ketika sebagian besar militernya dikirim untuk [[Ekspedisi Pamalayu]].<ref>M. Rossabi (1989). ''Khubilai Khan: His Life and Times''. Berkeley: University of California Press.</ref> [[Jayakatwang]] dengan mudah mengambil alih kekuasaan dan memindahkan pusat pemerintahan ke tanah leluhurnya, [[Kerajaan Kadiri|Kadiri]].<ref>G. Coedès (1968). ''The Indianized states of Southeast Asia''. Honolulu: University of Hawaii Press. p. 199</ref>
 
== Masa penjajahan ==