Sejarah Malang Raya: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika
Azza Bimantara (bicara | kontrib)
Penambahan tautan antar laman Wikipedia untuk beberapa kata
Baris 75:
 
=== [[Majapahit|Kerajaan Majapahit]] ===
Malang tidak menjadi pusat dari konflik perebutan kekuasaan antara [[Jayakatwang]], [[Raden Wijaya]], dan tentara [[Kubilai Khan]] dari [[Dinasti Yuan|Cina]]. Setelah memenangkan suksesi kekuasaan, [[Raden Wijaya]] yang bergelar Kertarajasa Jayawardhana memindahkan pusat kekuasaan ke daerah yang sempat ia bangun di Hutan Tarik (sekarang di sekitar [[Kota Mojokerto|Mojokerto]] dan [[Tarik, Sidoarjo|Kecamatan Tarik]], [[Kabupaten Sidoarjo]]). Akan tetapi, wilayah Malang menjadi saksi sejarah dari nasib [[Jayakatwang]] yang diasingkan ke sumber mata air lainnya di Polaman (sekarang [[Kalirejo, Lawang, Malang|Desa Kalirejo]], [[Lawang, Malang|Kecamatan Lawang]], [[Kabupaten Malang]]). Menurut ''[[Pararaton]]'' dan Kidung ''Harsyawijaya'', di sinilah [[Jayakatwang]] terinspirasi menulis ''Wukir Polaman'', karya sastra terakhirnya sebelum dieksekusi [[Raden Wijaya]].<ref name=":3" />
 
Dalam struktur pemerintahan [[Majapahit]] menurut Prasasti Waringin Pitu (1447 Masehi), wilayah Malang termasuk dalam ''bhumi'' atau wilayah inti kerajaan. Ia merupakan ''nagara'' (setara provinsi) bernama Tumapel yang dipimpin oleh seorang ''rajya'' (gubernur) atau ''natha'' (tuan) atau ''bhre'' (bangsawan/pangeran)—setingkat adipati.<ref>F. F. Wasitaatmadja (2018). ''Spiritualisme Pancasila''. Jakarta: Prenada Media. pp. 44-45</ref> Berikut adalah daftar Bhre Tumapel ada era Kerajaan Majapahit.<ref>S. Sang (2013). ''Girindra: Pararaja Tumapel-Majapahit''. Tulungangung: Pena Ananda Indie Publishing</ref>
{| class="wikitable"
!No.
Baris 90:
|1328
|1386
|Suami [[Tribhuwana Wijayatunggadewi|Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi]];
Ayah [[Hayam Wuruk|Raja Hayam Wuruk]]
|-
|2
Baris 97:
|1389
|1427
|Putra [[Wikramawardhana|Raja Wikramawardhana]];
Cucu [[Hayam Wuruk|Raja Hayam Wuruk]] dari Ibunya, Ratu Kusumawardhani
|-
|3
|[[Kertawijaya]]
(gelar: Wijaya Parakramawardhana)
|1429
Baris 108:
|-
|4
|[[Suraprabhawa]]<ref>Sebagaimana hanya Suraprabhawa yang tercatat di dalam Prasasti Waringin Pitu dalam ‘Sejarah Kerajaan Terbesar di Nusantara; Majapahit-Wilwatikta,’ ''Kekunoan'' (daring), 1 Mei 2018, http://kekunoan.com/sejarah-kerajaan-terbesar-di-nusantara-majapahit-atau-wilwatikta/, diakses pada 23 Januari 2019</ref>
(gelar: Singha Wikramawardhana)
|1447
|1466
|Putra dari Bhre Tumapel III dan Raja ke-7 Majapahit, [[Kertawijaya]]
|}
[[Berkas:Candi Sumberawan A.JPG|jmpl|Candi Sumberawan (Desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang) merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit di era Raja Hayam Wuruk]]
''[[Kakawin Nagarakretagama|Negarakertagama]]'' juga mencatat lawatan [[Hayam Wuruk|Raja Hayam Wuruk]] ke beberapa tempat di wilayah Malang pada 1359 Masehi.<ref>H. Sidomulyo (2007). ''Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca''. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.</ref> Menurut Yudi Anugrah Nugroho, lawatan tersebut merupakan bagian dari rangkaian perjalanan [[Hayam Wuruk|Raja Hayam Wuruk]] untuk meninjau pembangunan di sekitar [[Kabupaten Lumajang|Lumajang]]. Lawatan ini biasa dilakukan ketika selesainya masa panen.<ref>Y. A. Nugraha, ‘Perjalanan Ziarah Raja Majapahit,’ ''Historia'' (daring). 4 Juli 2014, https://historia.id/kuno/articles/perjalanan-ziarah-raja-majapahit-Pe59P, diakses pada 22 Januari 2019</ref> Terdapat setidaknya dua konteks lawatan tersebut, yakni rekreasi dan ziarah.<ref>T. G. T. Pigeaud (1963). ''Java in the 14th Century : A Study in Cultural History : The Nāgara-Kertāgama by Rakawi, Prapañca of Majapahit, 1365 A.D. Vol V: Glossary, general index''. Den Haag: Martinus Nijhoff. Meskipun argumen Pigeaud hanya berfokus pada aspek rekreatif dari lawatan tersebut, tidak dipungkiri bahwa terdapat pula aspek rekreatif.</ref> Untuk konteks rekreasi, tempat pertama ialah Taman Kasuranggan di daerah Sumberawan ([[Toyomarto, Singosari, Malang|Desa Toyomarto]], [[Singosari, Malang|Kecamatan Singosari]], [[Kabupaten Malang]]). Di sinilah [[Hayam Wuruk|Raja Hayam Wuruk]] membangun sebuah stupa sebagai tempat ibadah bagi umat [[Budha]] sehingga menjadi [[Candi Sumberawan]] seperti sekarang.<ref>A. J. B. Kempers (1959). ''Ancient Indonesian Art''. Cambridge, MA.: Harvard University Press.</ref> Yang kedua ialah Kedung Biru. Beberapa sejarawan menghubungkan Kedung Biru dengan lokasi yang kini bernama Dusun Biru, [[Gunungrejo, Singosari, Malang|Desa Gunungrejo]], [[Singosari, Malang|Kecamatan Singosari]], [[Kabupaten Malang]]. Disebut ''kedung'' (arti: jurang) karena ia berada di tepi jurang dekat Sungai Klampok. Selain tempat rekreasi [[Hayam Wuruk|Raja Hayam Wuruk]], konon tempat ini merupakan tempat penyucian keris yang dibuat oleh [[Mpu Gandring]] dan senjata-senjata kerajaan lainnya. Yang ketiga ialah daerah Bureng yang diidentifikasikan sebagai pemandian alam [[Taman Wisata Wendit|Wendit]] di [[Mangliawan, Pakis, Malang|Desa Mangliawan]], [[Pakis, Malang|Kecamatan TumpangPakis]], [[Kabupaten Malang]].
[[Berkas:Candi Singosari B.JPG|kiri|jmpl|Sebagai salah satu simbol kebesaran leluhurnya, Raja Hayam Wuruk juga mengunjungi Candi Singosari di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang]]
Untuk konteks ziarah, [[Hayam Wuruk|Raja Hayam Wuruk]] mengunjungi beberapa candi peninggalan Kerajaan Singhasari yang bertujuan untuk men-''dharma''-kan leluhurnya (Wangsa Rajasa). Beberapa candi yang dikunjungi mencakup [[Candi Kidal]] (untuk menghormati [[Anusapati|Raja Anusapati]]), [[Candi Jago]] (untuk menghormati [[Wisnuwardhana|Raja Wisnuwardhana]]), dan [[Candi Singhasari|Candi Singasari]] (untuk menghormati [[Kertanagara|Raja Kertanegara]]). Khusus untuk [[Candi Singhasari|Candi Singasari]], terdapat perdebatan mengenai apakah ia dibangun pada masa pemerintahan [[Kerajaan Singasari|Kerajaan Singhasari]] atau [[Majapahit]]. Pasalnya, menurut [[Perpustakaan Nasional Republik Indonesia|Perpustakaan Nasional Republik Indonesia,]] [[Candi Singhasari|Candi Singosari]] dibangun pada sekitar 1300 Masehi (masa pemerintahan Raja Raden Wijaya) sebagai candi penghormatan, jika bukan pen-''dharma''-an, [[Kertanagara|Raja KetanegaraKertanegara]] bersama dengan [[Candi Jawi]].<ref>Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, ‘Candi Singosari,’ ''Kepustakaan Candi'' (daring), http://candi.perpusnas.go.id/temples/deskripsi-jawa_timur-candi_singasari, diakses pada 22 Januari 2019</ref> Akan tetapi, terdapat suatu argumen yang menyatakan bahwa candi ini sedang dibangun pada masa pemerintahan [[Kertanagara|Raja Kertanegara dari Kerajaan Singhasari]] itu sendiri sebagai candi peribadatan umum. Konsekuensi dari argumen yang terakhir ini ialah bahwa pembangunan candi tidak selesai akibat pendudukan [[Kerajaan Singasari|Singhasari]] oleh [[Jayakatwang]].
[[Berkas:Majapahit 1405.jpg|jmpl|Majapahit pada Era Perang Paregreg (1404-1406)]]
 
Wilayah Malang (Tumapel) menjadi salah satu objek konflik politik ketika [[Perang Paregreg]] meletus (1404-1406). Wilayah ini diklaim oleh Aji Rajanata, Bhre Wirabhumi II ([[Blambangan, Muncar, Banyuwangi|Blambangan]], [[Kabupaten Banyuwangi|Banyuwangi]]). Akan tetapi, klaim tersebut ditentang oleh Manggalawardhana, Bhre Tumapel II yang masih merupakan putra [[Hayam Wuruk|Raja Hayam Wuruk]]. Oleh karena itu, wilayah ini dianggap sebagai garis depan pertempuran yang melibatkan Majapahit (Barat) dan Blambangan (‘Majapahit’ Timur). Namun, karena [[Perang Paregreg]] dimenangkan oleh [[Wikramawardhana|Raja Wikramawardhana]], Tumapel pun kembali ke tangan [[Majapahit]].
[[Berkas:Laksamana Cheng Ho.jpg|kiri|jmpl|Patung Laksamana Cheng Ho di Kuil Sam Poo Kong, Semarang, Jawa Tengah. Ia sempat mengunjungi Tumapel dalam rangka menjalin hubungan diplomasi dengan Raja Wikramawardhana]]
Ketika [[Majapahit|Kerajaan Majapahit]] kedatangan [[Cheng Ho|Laksamana Cheng Ho]] dari Cina ([[Dinasti Ming]]) pada 1421 Masehi, ia bersepakat dengan [[Wikramawardhana|Raja Wikramawardhana]] (1389-1429 Masehi) untuk menempatkan Ma Hong Fu dan Ma Yung Long sebagai duta besar [[Dinasti Ming]] di Tumapel.<ref name=":4">D. Mashad (2014). ''Muslim Bali: Mencari Kembali Harmoni yang Hilang''. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar</ref> Hal ini dapat dikaitkan dengan upaya diplomasi [[Cheng Ho|Laksamana Cheng Ho]] untuk menjamin keamanan bagi warga [[Tionghoa|etnis Cina]] yang berada di wilayah [[Majapahit]]. Pada masa [[Perang Paregreg]] (1406), sekitar 170 utusan [[Dinasti Ming]] dikirim [[Cheng Ho|Laksamana Cheng Ho]] untuk menjalin kembali hubungan diplomasi [[Dinasti Ming|Cina]] dan [[Majapahit]] pasca konflik [[Jayakatwang]]-[[Raden Wijaya]]-[[Kubilai Khan|Kublai Khan]] di era transisi dari [[Kerajaan Singasari|Singhasari]] ke [[Majapahit]]. Akan tetapi, seluruh utusan tersebut dibantai oleh [[Wikramawardhana|Raja Wikramawardhana]] yang tidak bisa membedakan status kedatangan mereka sebagai musuh atau bukan. Peran [[Cheng Ho|Laksamana Cheng Ho]] juga signifikan bagi wilayah Malang (Tumapel) pada 1432 ketika ia bersama bawahannya, Gan Eng Cu dan (Bhre/Adipati Arya Teja I dari Tuban) dan adiknya, Gan Eng Wan, membantu [[Suhita|Ratu Maharani Sri Suhita]] (1429-1447 Masehi) untuk menyatukan Daha (Kadiri) dan Tumapel pasca konflik internal.<ref name=":4" /> Atas jasanya, Gan Eng Wan diberi gelar Raden Arya Suganda diangkat menjadi pejabat di Tumapel.
 
Akan tetapi, terjadi peristiwa genosida terhadap kaum Atas Angin (istilah yang merujuk [[Tionghoa|etnis Cina]] beragama Muslim) di beberapa wilayah di [[Majapahit]] seperti Tumapel dan [[Kabupaten Tuban|Tuban]]. Pembantaian ini diprakarsai oleh Arya Tembeng, Bhre Paguhan II (sekarang wilayah [[Tegal]], [[Kabupaten Pemalang|Pemalang]], [[Kabupaten Banjarnegara|Banjarnegara]], [[Kabupaten Wonosobo|Wonosobo]], [[Kabupaten Pekalongan|Pekalongan]], [[Kabupaten Kebumen|Kebumen]], [[Kabupaten Purworejo|Purworejo]] dan [[Kabupaten Purbalingga|Purbalingga]], Jawa Tengah) di mana Gan Eng Wan turut menjadi korban.<ref name=":5">D. Shashangka (2013). ''Sabda Palon II: Roh Nusantara Dan Orang-Orang Atas Angin''. Tangerang: Penerbit Dolphin</ref> Kuat dugaan alasan operasi militer rahasia itu karena kecemburuan terhadap kaum Atas Angin yang sebenarnya berkontribusi bagi kemajuan perekonomian pesisir Utara [[Jawa]], khususnya [[Kabupaten Tuban|Tuban]] sebagai pusat permukiman etnis Cina Muslim.<ref name=":5" />
 
=== Kerajaan Sengguruh ===
[[Berkas:Situs Kerajaan Sengguruh.jpg|jmpl|Situs Makam Arya Terung, Adipati Sengguruh di Dukuh Sumedang, Desa Jenggala, [[Kepanjen, Malang|Kecamatan Kepanjen]], [[Kabupaten Malang]]]]
Kerajaan [[Agama Hindu|Hindu]] bernama Sengguruh ialah basis pertahanan terakhir dari simpatisan Majapahit di wilayah Malang (Tumapel). Ia merupakan kerajaan independen pasca runtuhnya [[Majapahit]].<ref>A. Van Schaik (1996). ''Malang: Beeld van een Stad''. Purmerend: Asia Major</ref> Hermanus Johannes de Graff berargumen bahwa putra dari [[Patih Udara|Patih Udara/Brawijaya VII]], Raden Pramana, melarikan diri ke wilayah pegunungan terpencil di selatan<ref>T. B. T. Pigeaud (1976). ''Islamic States in Java 1500–1700: Eight Dutch Books and Articles by Dr H.J. de Graaf''. Leiden: KITLV</ref> akibat pendudukan Daha/Kadiri (ibukota [[Majapahit]] sejak pemerintahan [[Girindrawardhana|Girindrawardhana/Brawijaya VI]]) oleh [[Trenggana|Sultan Trenggana]] dari [[Kesultanan Demak|Demak]] pada 1527 Masehi. Pemimpin wilayah ini ialah Arya Terung dengan gelar Adipati Sengguruh. Nama Sengguruh konon berkaitan dengan keberadaan pusat pendidikan dan tempat tinggal para ksatria atau ''panji'' (sehingga disebut wilayah Kepanjian atau [[Kepanjen, Malang|Kepanjen]]). Para ''panji'' yang ingin berguru ke Kepanjen konon akan berkata “Ayo kita ke Sang Guru” yang mengacu pada tempat mereka menimba ilmu. Kata-kata tersebut lama-kelamaan menjadi Sengguruh.<ref>‘Kerajaan Sengguruh, Penerus Tahta Majapahit di Malang,’ ''Ngalam.co'' (daring), 3 Mei 2017, https://ngalam.co/2017/05/03/kerajaan-sengguruh-penerus-tahta-majapahit-malang/, diakses pada 23 Januari 2019</ref>
 
Menurut ''Babad ing Gresik'', kerajaan ini sempat berusaha menyerang daerah [[Kabupaten Lamongan|Lamongan]] dan Giri ([[Kabupaten Gresik|Gresik]]) pada 1535 Masehi. Namun, usaha Arya Terung tidak berhasil, jika bukan gagal mempertahankan pendudukan mereka atas kedua wilayah tersebut.<ref name=":7">‘Kerajaan Sengguruh,’ ''Ngalam.id'' (daring), 20 November 2012, http://ngalam.id/read/152/kerajaan-sengguruh/ diakses pada 23 Januari 2019</ref> Justru menurut catatan dalam ''Tedhak Dermayudan'', pasca-kegagalan penaklukan tersebut, Arya Terung memeluk [[Islam]] dan menyebarkan ajaran Islam di penjuru Sengguruh.<ref name=":7" /> Akibatnya, simpatisan [[Majapahit]] yang dipimpin Raden Pramana memberontak dan membuat Arya Terung mengungsi agak ke utara di sekitar hilir [[Sungai Brantas]]. Dengan bantuan [[Trenggana|Sultan Trenggana]] yang telah menaklukkan bekas ibukota [[Kerajaan Singasari|Kerajaan Singhasari]] pada 1545 Masehi. Sengguruh berhasil memadamkan pemberontakan. Raden Pramana pun melarikan diri ke arah [[Kerajaan Blambangan|Blambangan]]. Dalam ''Serat Kanda'', [[Trenggana|Sultan Trenggana]] kembali mengangkat Arya Terung sebagai Adipati Sengguruh yang berada di bawah [[Kesultanan Demak]]. Sebagai tambahan, wilayah Malang/Tumapel pasca penaklukan oleh [[Trenggana|Sultan Trenggana]] berubah menjadi Kutho Bedah (“Kota Hancur”).<ref>Amiany (2005). ''Perkembangan Struktur Ruang Kota Malang Tahun 1767-2001''. Skripsi. Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada</ref> Peninggalan Kerajaan Sengguruh berupa reruntuhan yang berada di Dukuh Sumedang, Desa Jenggala (sebelah Barat [[Sengguruh, Kepanjen, Malang|Desa Sengguruh]]), [[Kepanjen, Malang|Kecamatan Kepanjen]], [[Kabupaten Malang]].
 
== Masa penjajahan ==