Tumpeng: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Wijaya muti (bicara | kontrib) k menusun kalimat di awal |
k Perubahan kosmetik tanda baca |
||
Baris 11:
Masyarakat di [[pulau Jawa]], [[Bali]] dan [[Pulau Madura|Madura]] memiliki kebiasaan membuat tumpeng untuk kenduri atau merayakan suatu peristiwa penting, seperti perayaan kelahiran atau ulang tahun serta berbagai acara syukuran lainnya. Meskipun demikian kini hampir seluruh rakyat Indonesia mengenal tumpeng. Falsafah tumpeng berkait erat dengan kondisi geografis Indonesia, terutama pulau Jawa, yang dipenuhi jajaran [[gunung berapi]]. Tumpeng berasal dari tradisi purba masyarakat Indonesia yang memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam para [[hyang]], atau arwah leluhur (nenek moyang). Setelah masyarakat Jawa menganut dan dipengaruhi oleh kebudayaan [[Hindu]], nasi yang dicetak berbentuk kerucut dimaksudkan untuk meniru bentuk gunung suci [[Mahameru]], tempat bersemayam [[dewa|dewa-dewi]].
Meskipun tradisi tumpeng telah ada jauh sebelum masuknya Islam ke pulau Jawa, tradisi tumpeng pada perkembangannya diadopsi dan dikaitkan dengan filosofi [[Islam]] Jawa, dan dianggap sebagai pesan leluhur mengenai permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Dalam tradisi kenduri ''Slametan'' pada masyarakat Islam tradisional Jawa, tumpeng disajikan dengan sebelumnya digelar pengajian Al Quran. Menurut tradisi Islam Jawa, "Tumpeng" merupakan akronim dalam bahasa Jawa
Tumpeng merupakan bagian penting dalam perayaan kenduri tradisional. Perayaan atau kenduri adalah wujud rasa syukur dan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas melimpahnya hasil panen dan berkah lainnya. Karena memiliki nilai rasa syukur dan perayaan, hingga kini tumpeng sering kali berfungsi menjadi kue ulang tahun dalam perayaan pesta ulang tahun.
|