'''Djogja Diduduki''' adalah Karyakarya sastra yang berupa novel realistis, yang ditulis oleh [[Muhammad Dimyati]],yang. Karya yang awalnya berjudul "Chaos" ,ini diterbitkan pada tahun 1950 oleh penerbit Gapura, [[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|Jakarta]], atas jasa [[H.B. Jassin]], dan atas saran beliau pulalah judulnya berubah menjadi "Djogja Diduduki". Novel ini bercerita tentang revolusi 1945, novel sejarah yang di dalamnya terdapat peristiwa-peristiwa bersejarah, seperti "[[Serangan 1 Maret]]", "[[Pengembalian Kota Djogja]]", dan "[[Kembalinja Soekarno dan Hatta]]". <ref>{{Cite web|url=http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Djogja_Diduduki|title=Artikel "Djogja Diduduki" - Ensiklopedia Sastra Indonesia|website=ensiklopedia.kemdikbud.go.id|access-date=2019-03-17}}</ref>
== Sinopsis ==
<br />
Berlatar dan mengkisahkan kehidupan masyarakat [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]] pada masa [[Agresi ke-2Militer Belanda Kedua]], Wito (Witohardjo, tokoh utama) dengan anak dan istrinya diceritakan sebagai pihak-pihak yang menyaksikan, menjadi saksi sejarah, peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Yogyakarta. Mereka adalah salah satu keluarga yang memutuskan untuk tidak mengungsi seperti keluarga lainnya. Wito membahasakan dirinya "saya" dan menarasikan cerita dengan sangat menarik. Tokoh utama yang bekerja di Jawatan kereta api ini memihak kepada republiken dan [[nonkooperatif]] dengan Pemerintah Kolonial yang pada waktu itu disebut sebagai "Pemerintah Kerajaan" walaupun hidupnya penuh dengan penderitaan dan ketidaktenteraman, serta berada di bawah ancaman Pemerintah Kolonial. Berbeda dengan Sadeli, teman akrab Wito, bersikap kooperatif karena tidak dapat bertahan hidup seperti Wito.Padahal kegiatan "menyeberang" yang artinya bekerja di pihak Belanda ini berisiko tinggi karena Belanda akhirnya menjatuhkan bermacam tuduhan terhadap dirinya setelah bosan kepadanya. Sadeli menyesali sikapnya apalagi setelah istri dan anak-anaknya dibunuh oleh kaum gerilyawan repubiken. Nasib Witopun tidak jauh berbeda, keteguhan hatinya mempertahankan prinsip menolak bekerja sama dengan penjajah harus ditebus dengan beberapa korban, baik korban material, korban perasaan bahkan korban nyawa anak-anaknya, Aliman dan Fatimah. Namun semua itu dapat terobati dengan kembalinya Republik Indonesia ke Yogyakarta dan dikembalikannya presiden dan wakil presiden ke tengah-tengah rakyat Indonesia, di Yogyakarta. ▼
▲Berlatar dan mengkisahkan kehidupan masyarakat [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]] pada masa Agresi ke-2, Wito (Witohardjo, tokoh utama) dengan anak dan istrinya diceritakan sebagai pihak-pihak yang menyaksikan, menjadi saksi sejarah, peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Yogyakarta. Mereka adalah salah satu keluarga yang memutuskan untuk tidak mengungsi seperti keluarga lainnya. Wito membahasakan dirinya "saya" dan menarasikan cerita dengan sangat menarik. Tokoh utama yang bekerja di Jawatan kereta api ini memihak kepada republiken dan [[nonkooperatif]] dengan Pemerintah Kolonial yang pada waktu itu disebut sebagai "Pemerintah Kerajaan" walaupun hidupnya penuh dengan penderitaan dan ketidaktenteraman, serta berada di bawah ancaman Pemerintah Kolonial. Berbeda dengan Sadeli, teman akrab Wito, bersikap kooperatif karena tidak dapat bertahan hidup seperti Wito.Padahal kegiatan "menyeberang" yang artinya bekerja di pihak Belanda ini berisiko tinggi karena Belanda akhirnya menjatuhkan bermacam tuduhan terhadap dirinya setelah bosan kepadanya. Sadeli menyesali sikapnya apalagi setelah istri dan anak-anaknya dibunuh oleh kaum gerilyawan repubiken. Nasib Witopun tidak jauh berbeda, keteguhan hatinya mempertahankan prinsip menolak bekerja sama dengan penjajah harus ditebus dengan beberapa korban, baik korban material, korban perasaan bahkan korban nyawa anak-anaknya, Aliman dan Fatimah. Namun semua itu dapat terobati dengan kembalinya Republik Indonesia ke Yogyakarta dan dikembalikannya presiden dan wakil presiden ke tengah-tengah rakyat Indonesia, di Yogyakarta.