Sejarah Aceh: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Ottoman: typo
menambah dr :en
Baris 30:
Kerajaan Aceh sepeninggal [[Sultan Iskandar Thani]] mengalami kemunduran yang terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya empat Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum [[Ulama Wujudiyah]]. Padahal, [[Seri Ratu Safiatudin Seri Ta'jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam]] yang merupakan Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Beliau merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Beliau pula menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab, dan Parsi. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96 orang, 1/4 di antaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang [[fatwa]] dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang [[wanita]] yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.
 
==PerangDatangnya denganpihak Belandakolonial==
Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan [[Portugal]], lalu sejak [[abad ke-18]] dengan [[Britania Raya]] (Inggris) dan [[Belanda]]. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di [[Kedah]] dan [[Pulau Pinang]] di [[Semanajung Melayu]] kepada Britania Raya.
 
Pada tahun [[1824]], [[Persetujuan Britania-Belanda]] ditanda tangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun [[1871]], Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.
 
==Perang Aceh==
Belanda menyatakan [[perang]] terhadap Aceh pada [[26 Maret]] [[1873]] setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik. Sebuah ekspedisi yang dipimpin Mayor Jenderal Köhler dikirimkan pada tahun [[1874]], namun dikalahkan tentara Aceh yang telah memodernisasikan senjatanya. Köhler sendiri berhasil dibunuh. Ekspedisi kedua di bawah pimpinan Jenderal van Swieten berhasil merebut istana sultan. Pada [[13 Oktober]] [[1880]], pemerintah kolonial menyatakan bahwa perang telah berakhir.
 
Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan Aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan [[Amerika Serikat]] di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar [[Napoleon III]] di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman untuk meminta bantuan kepada Kekaisaran Ottoman. Namun Kekaisaran Ottoman kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.
 
Perang kembali berkobar pada tahun [[1883]]. Pasukan Belanda berusaha membebaskan para pelaut Britania yang sedang ditawan di salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh, dan menyerang kawasan tersebut. Sultan Aceh menyerahkan para tawanan dan menerima bayaran yang cukup besar sebagai gantinya. Sementara itu, Menteri Perang Belanda, Weitzel, kembali menyatakan perang terbuka melawan Aceh. Belanda kali ini meminta bantuan para pemimpin setempat, di antaranya [[Teuku Umar]]. Teuku Umar diberikan gelar ''panglima prang besar'' dan pada [[1 Januari]] [[1894]] bahkan menerima dana bantuan Belanda untuk membangun pasukannya. Ternyata dua tahun kemudian Teuku Umar malah menyerang Belanda dengan pasukan baru tersebut.
Setelah satu tahun perang, Sultan Aceh [[Sultan Mahmud Syah|Mahmud Syah]] mangkat karena wabah [[kolera]]. Kerabat Sultan, [[Sultan Muhhamad Daud Syah]] ditabalkan sebagai Sultan di Masjid Indra Puri. Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun [[1903]] setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun [[1904]]. Istana Kesultanan Aceh kemudian di luluhlantakkan dan diganti dengan bangunan baru yang sekarang dikenal dengan nama Pendopo Gubernur.
 
Pada [[1892]] dan [[1893]], pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Dr. [[Snoeck Hurgronje]], seorang ahli [[Islam]] dari [[Universitas Leiden]] yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para [[ulama]], bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun [[1898]], [[J.B. van Heutsz]] dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya, [[Hendrikus Colijn]] (kelak menjadi [[Perdana Menteri Belanda]]), merebut sebagian besar Aceh.
 
Setelah satu tahun perang, Sultan Aceh [[Sultan Mahmud Syah|Mahmud Syah]] mangkat karena wabah [[kolera]]. Kerabat Sultan, [[Sultan Muhhamad Daud Syah]] ditabalkan sebagai Sultan di Masjid Indra Puri. Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun [[1903]] setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun [[1904]]. Istana Kesultanan Aceh kemudian di luluhlantakkan dan diganti dengan bangunan baru yang sekarang dikenal dengan nama Pendopo Gubernur. Pada tahun tersebut, hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda.
 
==Bangkitnya nasionalisme==