Nasib Hindania: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Konijnsate (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
k Bot: Perubahan kosmetika
Baris 1:
'''Nasib Hindania''' (atau Namaku Hindania!) adalah sebuah [[Cerpen|cerpen]] karya [[Mohammad Hatta]] yang diterbitkan di Majalah [[Jong Sumatranen Bond|Jong Sumatra]] edisi ke lima tahun 1920, di [[Batavia]]. Cerpen ini termasuk sebagai karya awal Hatta yang saat itu masih berusia 17 tahun.<ref>[https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/avatara/article/view/8742] Setiyarini, Herlina (2014) Pemikiran Mohammad Hatta tentang Ekonomi Koperasi tahun 1925-1953</ref> Dari cerpen tersebut memperlihatkan Hatta adalah salah satu dari sedikit pemuda kala itu yang memiliki kesadaran terhadap [[Nasionalisme_IndonesiaNasionalisme Indonesia#Pertumbuhan_dan_Perkembangan_Nasionalisme_Di_Indonesia|Pertumbuhan dan Perkembangan Nasionalisme Di Indonesia|berkebangsaan Indonesia]]—sebuah konsep yang masih samar-samar.<ref>{{Cite book|title=Hatta.|url=http://worldcat.org/oclc/670239004|publisher=Kepustakaan Populer Gramedia bekerja sama dengan Majalah Tempo|date=2010|isbn=9789799102676|oclc=670239004|last=Kepustakaan Populer Gramedia.}}</ref> [[Bahder Djohan]] menyatakan bahwa cerpen ini adalah sebuah [[romantika]] politik<ref>{{Cite book|title=Hatta : aku datang karena sejarah|url=http://worldcat.org/oclc/1088416622|isbn=9786024020965|oclc=1088416622|last=Sutanto, Sergius, author.}}</ref>
== Ringkasan ==
Nasib Hindania berkisah tentang sebuah [[Personifikasi nasional|tokoh personifikasi]] dari [[Hindia Belanda]] yang digambarkan sebagai seorang janda rupawan bernama Hindania. Setelah suaminya, Brahmana dari Hindustan meninggal, datang seorang musafir dari maghrib bernama Wollandia yang membujuknya untuk menikahinya. Sayangnya pernikahan ini tidak berlangsung baik.
 
== Isi ==
Di awal cerita, Hatta memulai dengan kutipan [[Robert Owen]] yang dibacanya dari buku [[Hendrick Peter Godfried Quack]] yang berjudul De Socialisten jilid kedua. Buku tersebut memang merupakan salah satu buku bacaan awal Hatta yang diperkenalkan oleh Mak Eteb [[Ayub Rais]] saat Hatta bersekolah di Batavia tahun 1919. Hatta tampaknya sangat tertarik dengan buku berjilid enam ini walau perlu dibaca secara berkala.<ref name=":0">{{Cite book|title=Untuk negeriku : sebuah otobiografi|url=https://www.worldcat.org/oclc/708358221|publisher=Penerbit Buku Kompas|date=2011|location=Jakarta|isbn=9789797095406|oclc=708358221|last=Hatta, Mohammad, 1902-1980.}}</ref> Buku ini banyak dikutip ke dalam cerpen ini.
 
Narasi dibawakan dengan sudut pandang orang pertama, yaitu Hindania sendiri yang menjadi tokoh utama cerita. Hindania memperkenalkan namanya dan nuansa kelahirannya dengan puitis.<blockquote>"Namaku Hindania! Aku dilahirkan di matahari hidup waktu fajar lagi menyingsing, disambut oleh angin sepoi yang bertiup dari angkasa serta dinyanyikan oleh suara margasatwa yang amat merdu bunyinya."</blockquote>Hindania menyebutkan panjang usianya mengalahkan [[Nabi Nuh]] yang meninggal pada umur 950 tahun. Kemudian menceritakan dirinya yang tidak pernah bertemu langsung dengan orang tuanya. Dari berita mulut ke mulut, Hindania mendengar bahwa Ibunda yang bernama [[Matahari|Syamsu]] dan Ayahanda adalah seorang raja besar besar yang memimpin di awang-awang. Tidak diketahui tepatnya apakan deskrpsi orang tua Hindania ini secara spesifik merujuk pada [[Majapahit]] yang dikenal telah menguasai Nusantara dan memiliki logo matahari sebagai simbol kerajaannya. Kemungkinan tidak terkait bila disambung dengan kisah suaminya Sang [[Brahmana]] dari [[Hindustan]] karena berada di periode masa yang berbeda.
 
Kisah suaminya merujuk pada [[Sejarah Hindu Nusantara]]. Suaminya sebagai seorang brahmana ini mirip dengan teori J. C van Leur yang menyatakan bahwa masuknya Hindu-Buddha ke Asia Tenggara ini melalui kaum Brahmana. Dari suaminyalah Hindania mendapatkan ilmu bercocok tanam. Hindania pun dikaruniai beberapa anak meski kemudian sang suami menutup usia. Yang dimaksud dengan anak-anak Hindania kemungkinan adalah Penduduk [[Pribumi-Nusantara|Pribumi]].
 
Hindania kemudian menceritakan bahwa ia memiliki taman berpasir intan dan memiliki ragam pepohonan di atasnya. "Banyak tumbuh di atasnya pohon yang ajaib-ajaib yang berjenis-jenis macam buahnya. Satu di antara itu bernama Pohon Andalas...". [[Bebesaran|Pohon Andalas]] adalah salah satu pohon yang khas dari Sumatra Barat. Nama [[Andalas (disambiguasi)|Andalas]] juga merupakan nama lain dari [[Sumatra]]. Pohon Andalas yang digambarkan berbuah hasil tambang dan berdaun [[tembakau]] ini kemungkinan merupakan sebuah metafora dari Pulau Sumatra yang memiliki ragam kekayaan alam. Pohon Andalas diceritakan dengan spesial kiranya karena Hatta memang merupakan anggota dari Jong Sumatranen Bond yang memiliki semangat menumbuhkan kebanggaan atas Sumatra.
 
Kekayaan Hindania terus bertambah dan kabar akan kemashyurannya terdengar sampai ke benua barat. Maka datanglah seorang musafir dari maghrib bernama Wollandia yang membujuknya untuk menikah. Wollandia adalah personifikasi dari [[Holandia]] atau Negeri [[Belanda]] yang saat itu datang sebagai pedagang [[VOC]]. Kondisi Belanda yang tengah berjuang membangun [[Republik Belanda]] dan berjuang dalam [[Perang Delapan Puluh Tahun]] digambarkan dalam cerpen sebagai Wollandia yang "sangat miskin dan melarat, dan anak-anaknya pun bertangisan". Hindania yang semula menikahi suaminya karena tampak berbudi akhirnya kecewa dengan Wollandia yang lebih mencintai hartanya daripada dirinya. "Berjuta-juta hartaku dibawa ke negerinya akan penghidupi anak-anaknya di sana yang lagi di dalam lembah kesengsaraan", lembah kesengsaraan yang dimaksud ini kemungkinan adalah [[Rampjaar]].
 
Kemudian Hatta mengutip syair [[Heinrich Heine]] yang berjudul Weltlauf (1851) dan Deutschland, Ein Wintermärchen (1844). Menurut [[Henk Schulte Nordholt]] yang menulis biografi Hatta dalam buku berjudul Pioniers van het Niewe Azie, Hatta mengutip syair tersebut dari buku Ch Elout Onze Politieke Partijen (1919). Tanggapan ini dibantah oleh Hatta sendiri dalam buku outobiografisnya, "...sitat Heine itu kupetik dari buku De Socialisten jilid ke empat, halaman 403."<ref name=":0" />
 
Kutipan syair pertama berjudul Weltlauf (Way of the World) yang aslinya dari buku ''Romanzero'', bagian 2. ''Zweites Buch'', di ''Lazarus'', no. 1 (1851). Kutipan kedua berasal dari syair Deutschland, Ein Wintermärchen (Germany, A Winter’s tale) dari tahun 1844.
 
== Teks ==
Baris 34:
Semakin lama semakin mashyur kekayaanku, sehingga sampai beritanya ke benua Barat.
 
Sekali peristiwa datanglah seorang musafir dari maghrib di tempatku. Namanya Wollandia. Oleh keindahan rupa dan parasku, maka asyilkah ia padaku dan dimintakannya aku menjadi istrinya. Permintaannya kukabulkan, karena kutilik ia seorang yang baik budi. Pada suatu hari baik bulan baik, maka kawinlah kami…
 
“Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna”
Baris 46:
Di bawah pemerintahannya banyaklah manusia yang sengsara, ada yang kena mati kena cemetinya dan ada pula yang mati karena lapar. Penghidupan ekonomi pun telah menjadi porak-poranda. Ditimpa oleh sang lapar, disiksa oleh Mars yang buas tumbuhlah pemberontakan dari kaum buruh yang amat diancam oleh Maharaja Mars sedangkan kaum kapitalis lagi disayanginya. Di sinilah mula bersaingan dengan hebat kaya dengan miskin, yang satu berteriak mengenal labanya dan yang satu berteriak hendak makan.
 
Di sinilah teringat kaum yang echir lagu yang dinyanyikan oleh [[Heinrich Heine]] pada abad ke 19<blockquote>Hat man viel, so wird man bald<br>Noch viel mehr dazu bekommen.<br>Wer nur wenig hat, dem wird<br>Auch das Wenige genommen.
 
Wenn du aber gar nichts hast,<br>Ach, so lasse dich begraben —<br>Denn ein Recht zum Leben, Lump,<br>Haben nur, die etwas haben. </blockquote>Di sini pula lah nyata yang benar kepada beberapa mahluk, bahwa sebagai sesama hamba Allah tak harus sebagian dari manusia beroleh kesenangan. Hidup dari pada cucur peluh nya orang kecil.<blockquote>Ein neues Lied, ein besseres Lied,<br>O Freunde, will ich euch dichten!<br>Wir wollen hier auf Erden schon<br>Das Himmelreich errichten.
 
Wir wollen auf Erden glücklich sein,<br>Und wollen nicht mehr darben;<br>Verschlemmen soll nicht der faule Bauch,<br>Was fleißige Hände erwarben.
Baris 65:
== Referensi ==
{{Reflist}}
* Hatta, M. (1920) '''Nasib Hindania'''. Majalah Jong Sumatra Orgaan Vid Jong Sumatranen Bond Onder Redactievih Hoofdbestuur. No. 5, hal. 90-93
*
*