'''Lepa bura''' adalah upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat di Desa [[Suleng Waseng, Solor Selatan, Flores Timur|Suleng Waseng, Solor Selatan,]][[Kabupaten Flores Timur]], [[Provinsi Nusa Tenggara Timur]]. Sulengwaseng adalah salah satu desa diantara tujuh desa yang terdapat di Kecamatan Solor Selatan.<ref name=":0">{{Cite journal|last=Belang Niron|first=Benediktus|year=2016|title=Upacara Adat Lepa Bura pada Masyarakat Lamaholot di Desa Sulengwaseng, Kecamatan Solor Selatan, Flores Timur|url=http://journals.an1mage.net/index.php/ajsk|journal=Jurnal Studi Kultural|volume=1|issue=2|pages=94-100|doi=}}</ref> Ada beberapa suku yang mendiami desa sulawaengsulengwaseng salah satunya yaitu masyarakat Suku Lamaholot yang merupakan suku asli dari Flores timur. Masyarakat Lamaholot dan Masyarakat Desa Sulengwaseng sebelum mengenal agama Katolik telah menganut kepercayaan yang mereka sebut ''lera wulan tana eka'' yang mereka yakini sebagai Tuhan langit dan bumi. Dimana ''lera'' berarti matahari, ''wulan'' berarti bulan, ''tana'' artinya tanah dan ''ekan'' artinya alam semesta. Mereka juga memberikan penghormatan kepada leluhur (''kewokoi)'' sebagai perantara antara manusia dengan ''lera wulan tana eka.''<ref name=":0" /> pascaPasca masuknya agama di desa Sulengwaseng masyarakat suku LamholotLamaholot terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah masyarakat yang beragama katolik dan meninggalkan adat istiadat, kelompok kedua adalah yang beragama katolik dan tidak meninggalkan adat, kelompok terakhir adalah kelompok yang tidak menganut agama katolik dan masih memegang teguh keyakinan adatnya. Kelompok pertama dalam bahasa Lamaholot disebut ''adate take'' yang artinya tidak ada adat atau tidak tahu adat sedangkan kelompok ketiga oleh instansi keagamaan dipandang sebagai kelompok konservatif dan dan dianggap kafir. Selama lebih dari 300 tahun situasi ini terus berlangsung khususnya di Indonesia bagian timur.