Inayatullah dari Banjar: Perbedaan antara revisi

[revisi terperiksa][revisi terperiksa]
Konten dihapus Konten ditambahkan
Alamnirvana (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Alamnirvana (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 77:
|language=ms
|isbn=9789836212405
}}ISBN 983-62-1240-X</ref> atau '''Ratu Lama'''<ref name="Bandjarmasin en de compagnie"/> atau nama di dalam khubah sholat '''Sultan Inayatullah<ref name="hikayat banjar"/> atau '''Ahzal Allah'''<ref name="Bandjarmasin en de compagnie"/> atau '''Sultan Indallah'''<ref name="tutur candi"/> adalah [[Sultan Banjar]] antara tahun 1636/[[1642]]-[[1645]].<ref>http://web.raex.com/~obsidian/seasiaisl.html#Bandjarmasin</ref>
 
Sultan Inayatullah adalah gelar resmi yang digunakan dalam [[khutbah]] Jumat di masjid-masjid, sedangkan gelar yang dimasyhurkan/dipopulerkan adalah '''Ratu Agung'''. Nama kecilnya tidak diketahui, sedangkan gelarnya sebagai [[Dipati]] (anggota senior Dewan Mahkota) adalah [[Pangeran Dipati Tuha I]].<ref name="hikayat banjar"/>
 
Menurut tradisi suksesi kesultanan Banjar yang berlaku semenjak Sultan Mustain Billah, maka di antara putera-putera dari Sultan tersebut, maka salah seorang puteranya kelak akan dilantik sebagai Sultan Muda dan seorang yang lainnya akan dilantik sebagai mangkubumi (Pangeran Mangkubumi) menggantikan mangkubumi sebelumnya yang meninggal dunia.

Menurut laporan Belanda, pada masa tuanya Sultan Mustain Billah (ayahanda Inayatullah) menjadi gila (pikun) sehingga menyerahkan putera-puteranya untuk menjalankan pemerintahan.

Karena itu puterauntuk tertuamenjalankan almarhumpemerintahan putera sulung Sultan Mustain Billah dilantik sebagai Sultan BanjarMuda yaitu Pangeran Dipati Tuha dengan gelar Sultan Inayatullah, sedangkan putera lainnyake-2 dilantik sebagai mangkubumi menggantikan almarhum Kiai Tumenggung Raksanegara yaitu Pangeran Dipati Anom 2 dengan gelar [[Panembahan di Darat|Pangeran di Darat]]. Dari periode raja pertama Sultan Suriansyah sampai dengan Sultan Inayatullah atau Ratu Agung, orang-orang yang pernah menjabat sebagai mangkubumi diangkat bukan dari anak raja secara berurutan yaitu Patih Aria Taranggana, [[Kiai Anggadipa]], Kiai Jayanegara, dan Kiai Tumenggung Raksanegara (Kiai Tanuraksa).
 
Selama masa pemerintahan Ratu Agung/Sultan Inayatullah, sepupunya yang bernama Pangeran Martasari bin Pangeran Mangkunagara sempat berniat merencanakan [[kudeta]] dengan pergi ke daerah [[Mendawai, Mendawai, Katingan|Mendawai]] selanjutnya akan pergi ke [[Kesultanan Mataram|Mataram]] untuk meminta bantuan militer, akan tetapi sebelum kesampaian niatnya yang bersangkutan sakit kemudian mangkat di Mendawai, kemudian jenazahnya dibawa ke istana dan dimakamkan dalam kompleks istana Martapura. Pangeran Mangkunagara (Raden Subamanggala, putera Putri Nur Alam) adalah putera permaisuri akan tetapi gagal menggantikan ayahnya sebagai raja karena yang akhirnya menggantikan Sultan Hidayatullah adalah Pangeran Senapati/Marhum Panembahan, anak seorang isteri [[selir]](puteri Tuan Khatib Banun). Marhum Panembahan/Sultan Mustain Billah adalah ayah Sultan Inayatullah<ref name="hikayat banjar"/>