Rumah panggung Betawi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 30:
[[Berkas:Dipan2a.jpg|jmpl|Dipan, tempat duduk orang Betawi biasanya ada di teras. Mengadopsi budaya Tionghoa (''Di'pan'')]]
 
* '''Tionghoa'''. Orang Tionghoa lebih dahulu bermukim di Sunda Kelapa jauh sebelum [[Hindia Belanda|kolonial Belanda]] menduduki pelabuhan tersebut. Diperkirakan mereka datang antara abad ke-10 dan ke-13 dengan tujuan berdagang.{{Sfn|Lohanda|(1995)|p=100 : “Orang Cina telah bermukim di Sunda Kelapa Jakarta jauh sebelum VOC/Belanda menduduki bandar ini. Diperkirakan kedatangan orang Cina di wilayah bandar ini terjadi antara abad ke-10 dan ke-13 ..."}}{{Sfn|Lohanda|(1995)|p=100 : “Mereka sudah terlibat dalam perdagangan Jada dengan Banten dan mengelola arak ..."}} Oleh Belanda pemukiman mereka dilokalisir hanya di kawasan Glodok, Kwitang, dan daerah [[pecinan]] lainnya. Setelah kebijakan tersebut dihapus pada tahun 1870, mereka lalu menyebar ke daerah-daerah lain di Batavia. Penyebaran sebenarnya sudah dimulai puluhan tahun sebelumnya. Pada 9 Oktober 1740 Belanda [[Geger Pacinan|membantai ribuan orang Tionghoa]], karena dituding membuat keonaran. Banyak dari mereka menyelamatkan diri ke pinggiran Batavia, salah satunya ke daerah [[Kota Tangerang|Tangerang]].{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=24 : “Orang-orang Cina tersebut dibatasi ruang geraknya oleh penjajah Belanda. Mereka ditempatkan di tempat yang telah ditentukan, seperti kawasan Glodok, Kwitang, dan Pecinan ..."}} Penyebaran tersebut semakin memperkaya arsitektur rumah etnik Betawi. Banyak unsur rumah etnis Tionghoa yang dipakai dalam rumah Betawi, baik dalam penerapan fungsi maupun penyebutan nama unsur dimaksud. Beberapa diantaranya adalah jendela ''jejake'' tanpa jeruji, ''langkan'' (''lan-kan'') sebagai pembatas teras, ''pangkeng'' (''pang-keng'') atau tempat tidur, ''tapang'' (''ta’pang'') yang artinya ruangan kecil di depan rumah, dan dipan (''di'pan'') sebagai tempat tidur-tiduran.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=24-27 : “Jejak pengaruh arsitektur Cina terhadap rumah etnik Betawi akan terlihat jelas bila menyambangi daerah Benteng, Tangerang ..."}} Pengaruh arsitektur Tionghoa lainnyajuga bisa dilihat pada konstruksi balok-balok kuda penyokong yang disebut ''sekor tou-kung''. Konstruksi ini khususnya diterapkan pada hunian komunitas etnis Betawi Pesisir. LaluPengaruh soallainnya tiang.adalah Jarangpenggunaan ditemuiukiran pada tiang-tiang rumah orang-orang Betawi bertiang polos. Biasanya tiang memiliki ukiran. Penggunaan ukiran ini adalah pengaruh dari kebudayaan etnis Tionghoa.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=27 : “Pengaruh arsitektur Cina lainnya terhadap desain rumah Betawi terlihat pada konstruksi balok-balok kuda penyokong yang lazim disebut sekor tou-kung, sebagaimana yang terlihat pada rumah Betawi di kawasan pesisir ..."}}
[[Berkas:Jendela berbentuk kubah.jpg|jmpl|Jendela tanpa daun menyerupai bentuk kubah masjid pada bagian belakang Rumah si Pitung. Merupakan pengaruh kebudayaan Arab|al=]]
 
Baris 40:
=== Pengaruh lainnya ===
[[Berkas:Gigibalang2.jpg|jmpl|Motif ''gigi balang'' pada ''lipslang'' atap di salah satu toko ''furniture'' Betawi yang tersisa di wilayah Jakarta Timur]]
Pengaruh lain yang memperkaya arsitektur rumah etnik Betawi datang dari kebudayaan Melayu, Bugis, dan masih banyak lagi. Pengaruh budaya Melayu jelas terlihat pada ornamen-ornamenmotif ''pucuk rebung.''

yang bentuknya lancip mirip tombak. Motif tersebut diadopsi dalam rumah etnik Betawi mana saja dalam ''lisplang'' ''gigi balang'' yang selalu ada menghiasi rumah etnik Betawi di manapun{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=23 : “Untuk pengaruh kebudayaan Melayu sendiri tampak pada ornamen-ornamen pucuk rebung yang bentuknya lancip mirip tombak. Ornamen ini kemudian diadaptasi menjadi lisplang "gigi balang". yang selalu hadir di rumah Betawi di manapun ..."}}.
 
Pengaruh Bugis terlihat jelas pada rumah panggung si Pitung di kawasan Betawi Pesisir, Marunda Jakarta Utara. Tidak diketahui kapan persisnya Rumah si Pitung didirikan. Diperkirakan bangunan tersebut dibangun pada abad ke-20. Rumah yang sering disebut sebagai Rumah Tinggi Marunda ini bukanlah milik [[si Pitung]], melainkan milik Haji Saipudin, {{Sfn|Anom, dkk|(1996)|p=75. :" Rumah SI Pitung sering disebut Rumah Tinggi Marunda diperkirakan dibangun pada abad ke-20. Dahulu rumah ini milik H. Syaifuddin, seorang pengusaha Sero ..."}} seorang [[Pedagang|saudagar]] kaya bandar ikan asal [[Kota Makassar|Makassar]] (sumber lain mengatakan dia adalah ''juragan sero''<ref name=":6">{{Cite web|url=https://tirto.id/reklamasi-dan-kiamat-situs-sejarah-budaya-jakarta-czP8|title=Reklamasi dan Kiamat Situs Sejarah-Budaya Jakarta|last=Rizal|first=JJ|date=9 November 2017|website=tirto|access-date=25 April 2019}}</ref>) Haji Saipuddin diyakini merupakan sahabat erat si Pitung. Pitung ditengarai hanya beberapa kali singgah di rumah itu (diperkirakan pada dekade 1890-an<ref>{{Cite web|url=https://megapolitan.kompas.com/read/2018/05/12/09465991/mempelajari-sejarah-rumah-si-pitung-rumah-yang-tak-pernah-dihuni-si|title=Mempelajari Sejarah Rumah Si Pitung, Rumah yang Tak Pernah Dihuni Si Pitung...|last=Ramadhan|first=Ardito|date=12 Mei 2018|website=kompasonline|access-date=15 April 2019}}</ref>). Singgahnya si Pitung terakhir kali adalah dalam rangka bersembunyi dari kejaran tentara [[Hindia Belanda|Belanda]] dengan tuduhan merampok.<ref name=":2">{{Cite web|url=https://www.merdeka.com/khas/kisah-rumah-pitung-di-marunda-mencari-sejarah-pitung-4.html|title=Kisah Rumah Pitung di Marunda|last=Silalahi|first=Laurel Benny Saron|date=14 Maret 2016|website=merdekaonline|access-date=16 April 2019}}</ref>