Rumah panggung Betawi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 9:
Dari sekian banyak etnis yang masuk ke Batavia, pengaruh yang paling dominan terhadap rumah Orang Betawi adalah dari etnis Jawa, Sunda, Arab, dan Tionghoa.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=16 : “Dari sekian banyak pengaruh dari dalam dan luar daerah Indonesia terhadap ragam arsitektur rumah Betawi, yang paling dominan adalah Jawa, Sunda, Arab dan Cina. ..."}} Diantara etnis Nusantara yang masuk ke Batavia, budaya Sunda dan Jawa paling berpengaruh terhadap arsitektur etnik rumah Betawi. Letak wilayah etnis Betawi secara geografis memang berdekatan dengan wilayah kebudayaan Sunda dan Jawa menjadi penyebab utamanya. Tidak hanya letaknya yang berdekatan, wilayah etnis Betawi juga merupakan bagian dari kekuasaan [[Kesultanan Banten|kerajaan Banten]], [[Kesultanan Demak|Demak]], dan [[Kesultanan Cirebon|Cirebon]]. Faktor-faktor tersebut menjadikan interaksi yang intensif antara orang-orang asli yang tinggal di wilayah Batavia dengan kedua etnik Nusantara tadi.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=17-18 : “Pengaruh budaya lokal Jawa dan Sunda lebih dominan dibandingkan dengan daerah kawasan nusantara lainnya. ..."}} Meski berasal dari akulturasi budaya yang beragam, arsitektur rumah Betawi harus tetap dikatakan memenuhi syarat sebagai arsitektur etnis. Dikatakan demikian karena mulai dari penciptaan struktur dan konstruksi, pengaturan tata letak ruang, penggunaan ragam hias, serta cara pembuatan bangunan yang merupakan pengaruh dari berbagai budaya tadi, diwariskan secara turun-temurun dalam masyarakat Betawi dan hanya ada dalam kebudayaan Betawi itu sendiri.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=16: “Arsitektur bangunan dikatakan etnik apabila penciptaan struktur dan konstruksi, pengaturan tata letak ruang, penggunaan ragam hias, serta cara pembuatan bangunan tersebut diwariskan turun-temurun dalam suatu kebudayaan atau lokalitas tertentu ..."}}
 
Rumah etnik Betawi yang khas yang berasal dari akulturasi budaya tadi baru muncul pada saat pemerintahan kolonial Belanda berkuasa dan membangun kota Batavia dengan mencontoh model-model kota-kota di tanah air mereka. Pada saat saat itu, Belanda memberlakukan aturan ketat soal pemukimanpermukiman. Penduduk pribumi hanya diizinkan membangun rumah-rumah mereka di wilayah pedalaman atau pesisir. Akibat aturan tersebut maka letak rumah-rumah Belanda menjadi berjauhan dengan penduduk lokal. Dampaknya, corak dan kekhasan bangunan rumah secara teritorial menjadi semakin berbeda. Penduduk yang tinggal di kawasan pesisir bentuk rumahnya panggung untuk mengatasi gempuran ombak, sedangkan penduduk di pedalaman membangun pemukimanpermukiman dengan mengandalkan fungsi halaman sebagai lahan perkebunan maupun untuk memanfaatkan kerindangan pepohonan sebagai peneduh.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=17: “Pembangunan rumah etnik Betawi yang khas sebenarnya baru tampak saat pemerintahan kolonial Belanda membangun kota Batavia dengan mencontoh model-model kota-kota di Belanda ..."}}
 
=== Subetnis ===
Suku Betawi tinggal di daerah pesisir sejak awal kota Batavia terbentuk. Mereka hidup dan menetap di muara sungai [[Ci Liwung|Ciliwung]]. Melalui sungai Ciliwung mereka menyebar ke tengah hingga ke daerah-daerah pinggiran Batavia.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=10: “Sejak awal terbentuknya kota Jakarta, daerah ini adalah tempat suku Betawi berasal. Tepatnya di daerah muara sungai Ciliwung ..."}} Penyebaran tersebut kemudian memecah suku Betawi menjadi empat subetnis, yang terdiri dari Betawi Pesisir, Tengah, Pinggir, dan Betawi Udik.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=11: “Berdasarkan kesamaan unsur budayanya, seperti bahasa, kesenian, adat dan arsitektur rumahnya, wilayah kebudayaan Betawi meliputi betawi pesisir, betawi tengah/kota, serta betawi pinggir dan udik ..."}} Orang Betawi Pesisir tinggal di daerah-daerah dekat pantai, seperti [[Marunda, Cilincing, Jakarta Utara|Marunda]], [[Sunda Kelapa]], [[Dadap, Kosambi, Tangerang|Dadap]], [[Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu|Kepulauan Seribu]], dan lain-lain. Hunian mereka umumnya berpanggung.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=11: “Meliputi daerah Sunda Kalapa, Tanjung Priok, Kampung Bandan, Ancol ..."}} Hal berbeda pada komunitas Betawi Tengah yang tinggal di tengah-tengah kota Batavia. Rumah-rumah mereka umumnya tidak berpanggung atau disebut juga rumah Depok.{{Sfn|Ruchiat, dkk|(2003)|p=111 : “Rumah yang beralaskan tanah yang diberi lantai tegel atau semen (sering juga disebut rumah Depok) ..."}}{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=13: “Di kawasan tengah, seperti daerah Kwitang dan Senen, banyak dijumpai rumah tanpa kolong yang masih beralaskan tanah atau plesteran semen dengan penggunaan pondasi roolag ..."}} Biasanya mereka tinggal di wilayah [[Senen, Jakarta Pusat|Senen]], [[Tanah Abang, Jakarta Pusat|Tanah Abang]], [[Salemba]], [[Pasar Baru, Sawah Besar, Jakarta Pusat|Pasar Baru]], [[Glodok]], [[Jatinegara, Jakarta Timur|Jatinegara]], [[Condet]], [[Kwitang, Senen, Jakarta Pusat|Kwitang]], dan lain-lain.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=13: “Betawi tengah/kota meliputi beberapa wilayah seperti Condet, Senen, Kwitang ..."}} Terakhir adalah masyarakat Betawi Pinggir dan Udik. Mereka tingal di luar kota Batavia, seperti [[Kabupaten Tangerang|Tangerang]], [[Kabupaten Bekasi|Bekasi]], [[Kota Depok|Depok]], serta sebagian wilayah [[Kabupaten Bogor|Bogor]]. Umumnya hunian mereka berpanggung, tetapi tidak setinggi milik orang Betawi Pesisir.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=14: “Betawi pinggir dan udik meliputi wilayah Kabupaten Tangerang, Kotamadya Tangerang, Kabupaten Bekasi ..."}}
 
Lewat pembagian wilayah kebudayaan subetnis Betawi tadi, bisa diidentifikasi variasi arsitekur rumah etnik Betawi. Namun, pembagian tersebut bukanlah faktor krusial yang membuat hunian subetnis tertentu menggunakan konsep panggung atau non-panggung. Yang menjadi faktor utama adalah keadaan alam setempat. Hal tersebut beralasan karena ada hunian Betawi Tengah/Kota yang memakai konsep panggung jika berdiri di aliran sungai. Begitu pun pada rumah-rumah Betawi Pinggir dan Udik. Ada dari komunitas mereka yang bangunannya tidak berpanggung apabila berdiri jauh dari aliran sungai.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=16: “Berbeda dengan rumah Betawi tengah yang jauh dari aliran sungai kemungkinan besar rumahnya tidak berkolong. Akan tetapi untuk pemukimanpermukiman yang lokasinya berdekatan dengan sungai, bisa dipastikan rumah Betawi tengah tersebut berkolong ..."}}
 
=== Pengaruh Sunda ===
Baris 30:
[[Berkas:Dipan2a.jpg|jmpl|Dipan, tempat duduk orang Betawi biasanya ada di teras. Mengadopsi budaya Tionghoa (''Di'pan'')]]
 
* '''Tionghoa'''. Orang Tionghoa lebih dahulu bermukim di Sunda Kelapa jauh sebelum [[Hindia Belanda|kolonial Belanda]] menduduki pelabuhan tersebut. Diperkirakan mereka datang antara abad ke-10 dan ke-13 dengan tujuan berdagang.{{Sfn|Lohanda|(1995)|p=100 : “Orang Cina telah bermukim di Sunda Kelapa Jakarta jauh sebelum VOC/Belanda menduduki bandar ini. Diperkirakan kedatangan orang Cina di wilayah bandar ini terjadi antara abad ke-10 dan ke-13 ..."}}{{Sfn|Lohanda|(1995)|p=100 : “Mereka sudah terlibat dalam perdagangan Jada dengan Banten dan mengelola arak ..."}} Oleh Belanda pemukimanpermukiman mereka dilokalisirditempatkan hanya di kawasan Glodok, Kwitang, dan daerah [[pecinan]] lainnya. Setelah kebijakan tersebut dihapus pada tahun 1870, mereka lalu menyebar ke daerah-daerah lain di Batavia. Penyebaran sebenarnya sudah dimulai puluhan tahun sebelumnya. Pada 9 Oktober 1740 Belanda [[Geger Pacinan|membantai ribuan orang Tionghoa]], karena dituding membuat keonaran. Banyak dari mereka menyelamatkan diri ke pinggiran Batavia, salah satunya ke daerah [[Kota Tangerang|Tangerang]].{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=24 : “Orang-orang Cina tersebut dibatasi ruang geraknya oleh penjajah Belanda. Mereka ditempatkan di tempat yang telah ditentukan, seperti kawasan Glodok, Kwitang, dan Pecinan ..."}} Penyebaran tersebut semakin memperkaya arsitektur rumah etnik Betawi. Banyak unsur rumah etnis Tionghoa yang dipakai dalam rumah Betawi, baik dalam penerapan fungsi maupun penyebutan nama unsur dimaksud. Beberapa diantaranya adalah jendela ''jejake'' tanpa jeruji, ''langkan'' (''lan-kan'') sebagai pembatas teras, ''pangkeng'' (''pang-keng'') atau tempat tidur, ''tapang'' (''ta’pang'') yang artinya ruangan kecil di depan rumah, dan dipan (''di'pan'') sebagai tempat tidur-tiduran.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=24-27 : “Jejak pengaruh arsitektur Cina terhadap rumah etnik Betawi akan terlihat jelas bila menyambangi daerah Benteng, Tangerang ..."}} Pengaruh arsitektur Tionghoa juga bisa dilihat pada konstruksi balok-balok kuda penyokong yang disebut ''sekor tou-kung''. Konstruksi ini khususnya diterapkan pada hunian komunitas etnis Betawi Pesisir. Pengaruh lainnya adalah penggunaan ukiran pada tiang-tiang rumah orang Betawi{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=27 : “Pengaruh arsitektur Cina lainnya terhadap desain rumah Betawi terlihat pada konstruksi balok-balok kuda penyokong yang lazim disebut sekor tou-kung, sebagaimana yang terlihat pada rumah Betawi di kawasan pesisir ..."}}
[[Berkas:Jendela berbentuk kubah.jpg|jmpl|Jendela tanpa daun menyerupai bentuk kubah masjid pada bagian belakang Rumah si Pitung. Merupakan pengaruh kebudayaan Arab|al=]]
 
Baris 52:
[[Berkas:Bagian belakang rumah si pitung berdekatan dengan sungai.jpg|kiri|jmpl|Dapur atau bagian belakang Rumah si Pitung yang membelakangii sungai]]<br />''<nowiki/><nowiki/><nowiki/>''
 
Secara umum rumah tradisional Betawi tidak memiliki peraturan yang baku dalam penentuan arah yang disepakati warga Betawi sejak dulu hingga sekarang. Tidak seperti etnis Tionghoa dengan ilmu ''[[Fengsui|feng shui]]<nowiki/>n''ya atau pada etnis [[Suku Bali|Bali]] yang memiliki konsep ''sanga mandala'' dalam tata letaknya dan berorientasi kepada arah mata angin. Orang Betawi tidak mengenal ketentuan seperti kedua etnis tadi. Yang menjadi patokan buat mereka hanyalah fungsi dari orientasi bangunan itu sendiri. Orientasi bangunan ditentukan, misal, dengan alasan kemudahan mencapai jalan atau sekedar menyesuaikannya dengan kebutuhan.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=33 : “Pola tapak rumah Betawi sangat terbuka, dalam artian masyarakat Betawi tidak mengenal ilmu feng shui dalam mendirikan rumah ..."}}{{Sfn|Moechtar, dkk|(2012)|p=141 : “Rumah tradisional Betawi dapat dikatakan tidak memiliki arah mata angin maupun orientasi tertentu dalam peletakannya ..."}}{{Sfn|Ruchiat, dkk|(2003)|p=109 : “Tata letak rumah orang Betawi tidak berorientasi terhadap arah mata angin, mereka lebih mengutamakan alasan-alasan praktis ..."}} Hunian Betawi Pesisir juga tidak mengikuti arah mata angin atau orientasi tertentu. Umumnya rumah panggung Betawi Pesisir menghadap ke darat dan membelakangi muara sungai.{{Sfn|Salim|(2015)|p=398 : “Di daerah pesisir kelompok-kelompok rumah umumnya menghadap ke darat dan membelakangi muara sungai namun tidak tampak perencanaan tertentu atau keseragaman dalam mengikuti arah mata angin atau orientasi tertentu ..."}} Pola pemukimanpermukiman penduduk wilayah pesisir di [[Marunda, Cilincing, Jakarta Utara|Marunda]] berlaku seperti itu, tujuannya untuk mempermudah transportasi laut. Bagian belakang rumahnya ditempatkan dapur tidak jauh dari aliran sungai. Hal ini agar kegiatan masak yang membutuhkan air bisa berjalan efisien.{{Sfn|Mutholib, dkk|(1986/1987)|p=8: “Pola pemukiman Marunda pada umumnya terkonsentrasi dimuara sungai atau ditepian aliran sungai hal ini dilakukan untuk mempermudah transportasi laut. Penempatan denah rumah tegak lurus dengan alur sungai atau dengan kata lain membelakangi sungai ..."}} Begitupun dengan masyarakat Betawi Pinggir (masyarakat Melayu Betawi di [[Kota Bekasi|Bekasi]]). Bagian depan rumah dan pintu dibuat menghadap ke sungai dengan tujuan serupa dengan masyarakat Betawi Pesisir. Tujuannya hampir mirip dengan komunitas Betawi Pesisir.{{Sfn|Nur|(2016)|p=18 : “Masyarakat Melayu Betawi (Bekasi) pada awalnya adalah masyarakat sungai. Mereka tinggal secara berkelompok sepanjang sungai-sungai di kawasan tertentu. Pintu depan rumah menghadap ke sungai ..."}}
''<nowiki/>''
=== Panggung ===