Kerapatan Gereja Protestan Minahasa: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
LaninBot (bicara | kontrib)
k aktifitas → aktivitas
LaninBot (bicara | kontrib)
k Perubahan kosmetik tanda baca
Baris 40:
B. Maksud Dan Tujuan Penyusunan Sejarah.
 
Penyusunan sejarah berdirinya Jemaat Wale Pinaesaan E Wakan dimaksudkan untuk :
 
A. Memberikan informasi dasar pegangan bagi seluruh warga masyarakat Wakan untuk mengetahui sejarah Gereja tersebut yang ditahbiskan pada 1 Oktober 1933 dengan nama Wale Pinaesaan E Wakan.
Baris 50:
C. Metode Dan Tehnik Penyusunan.
 
1. Dalam penyusunan sejarah ini oleh tim penyusun mengambil dari bahan – bahan tulisan dan cuplikan naskah sejarah dari kumpulan tulisan - tulisan beberapa orang nara sumber yang dianggap reprentative ada hubungan dengan pelaku – pelaku sejarah antara lain :
 
• J.D. Kesek ; berbentuk tulisan – tulisan sejarah Wale Pinaesaan E Wakan dan cuplikan naskah sejarah KGPM.
Baris 58:
• E.F. Rembet ; berbentuk cuplikan – cuplikan sejarah KGPM dan desa Wakan, hasil percakapan dengan Tokoh – Tokoh KGPM, tulisan B.W. Lapian, R.E.S Buyung, dll.
 
• A.H. Tampemawa, Gbl. R.R. Kesek ; berupa tulisan – tulisan dan wawancara dengan orang Tua – Tua desa Wakan yang dianggap memiliki hubungan dengan Pelaku – Pelaku sejarah KGPM antara lain : Paul Tumbuan, Markus Siwi, Jansen Kandey, Junus Derk Tampemawa, Jost Lembong dan Tokoh – Tokoh Gereja lainnya yang tak dapat disebutkan satu persatu.
 
2. Penulisan sejarah ini menggunakan metode dan teknik penyusunan dengan memverifikasi, membandingkan, merangkaikan, dan menganalisis data – data terutama kronologis tanggal dan tahun yang sempat dikumpulkan dari berbagai pihak.
Baris 144:
E. Indische Kerk Di Minahasa.
 
Di sekitar tahun 1876 s / d 1882 Gereja di Minahasa mulai dialihkan atau diserahkan oleh NZG menjadi asuhan dibawah Indische Kerk karena NZG tidak sanggup lagi membiayai usaha perkembangan Gereja di Minahasa yang sangat pesat kemajuannya. Dalam penyerahan Gereja tersebut, sebagian besar dari sekolah – sekolahnya tetap menjadi tanggung jawab NZG yang dikenal dengan singkatan Zending. Dalam hal ini terjadinya persaingan ketat antara Guru – Guru Zending ( swasta ) dengan Guru – Guru sekolah Pemerintah / sekolah Gubernemen, Pegawai Negeri. Guru – Guru sekolah Pemerintah / Gubernemen mendapat bayaran gaji lebih tinggi dari Guru – Guru sekolah Zending yang juga berfungsi sebagai Guru Jemaat. Adanya persaingan ini menjadi faktor penyebab pertentangan antara dua kelompok yaitu sekolah Zending dengan pihak Indische Kerk yang mengasuh sekolah – sekolah Gubernemen / Pemerintah. Kelompok Guru – Guru Zending inilah yang kemudian menjadi pelopor dalam usaha mendirikan Gereja Minahasa Berdiri Sendiri melalui Organisasi mereka yang dikenal dengan nama : “Perserikatan Pangkal Setia” di Tomohon.
 
F. Permasalahan.
Baris 152:
Oleh karena itu perlu suatu usaha perbaikan dan perubahan dalam sistem Organisasi kehidupan Gereja Kesatuan Indische Kerk. Tetapi bagaimana dan dari mana dimulai dan oleh siapa? Ini merupakan suatu problema besar dan serius yang tidak mudah untuk dipecahkan.
 
Masalahnya :
 
• Pertama : mengenai pembiayaan Gereja pasti akan mengalami kesulitan bilamana harus menanggung sendiri biaya hidup Gereja diluar Pemerintah / Kas Negara.
 
• Kedua : dilihat dari segi politis adalah tidak mungkin melawan dan melanggar Peraturan – Peraturan Pemerintah penjajah. Berani melawan berarti masuk penjara dan untuk mencapai usaha perbaikan kehidupan Gereja di luar pengawasan Pemerintah penjajah harus melalui proses pemahaman perkembangan situasi dan kondisi Gereja dan Perjuangan Bangsa Indonesia.
 
Bab 3. Perintis Berdirinya Gereja Minahasa Otonom.
Baris 186:
6. Peranan Kaum Kristen Nasionalis.
 
Gagasan mendirikan Gereja Minahasa Berdiri Sendiri sejak abad ke - 20, telah mulai tersebar luas dikalangan Rakyat Minahasa. Situasi ini adalah pengaruh Tokoh – Tokoh Kristen Nasionalis di Minahasa antara lain : DR. G.S.S.J. Ratulangi, DR. R Tumbelaka, Mr A.A. Maramis, B.W. Lapian, A.M. Pangkey, Josep Yakobus, dll. Yang dihubungkan dengan tujuan Perjuangan Kemerdekaan Bangsa Indonesia dan usaha mendirikan Gereja Minahasa Berdiri Sendiri, lalu dikaitkan dengan gagasan pemisahan Gereja dari Negara ( Zending Van Straat En Kerk ) yang lepas atau terpisah dari Indische Kerk.
 
Tahun 1928 DR. G.S.S.J. Ratulangi anggota Volksraad / DPR mulai melancarkan aksi – aksi politik yang berkaitan dengan Perjuangan pembentukan Gereja Minahasa Merdeka dan pemisahan Gereja dari negara melalui persidangan Dewan Perwakilan Rakyat / Volksraad. Begitu pula B.W. Lapian, anggota Dewan Minahasa Raad / DPRD Minahasa menyalurkan cita – cita Nasionalnya untuk merealisasikan Gereja Merdeka melalui usaha – usaha yang dirintis oleh Perserikatan Pangkal Setia, diwaktu tahun 1928 beliau menjadi Ketua.
Baris 202:
C. Kesimpulan Tentang Usaha – Usaha Mendirikan Gereja Merdeka Berdiri Sendiri.
 
Sebagai kesimpulan dari berbagai Perintisan mendirikan Gereja Minahasa Berdiri Sendiri dimasa lampau yang di mulai sejak pertengahan abad ke – 19 tercatat beberapa peristiwa secara kronologis sebagai berikut :
 
1. Tahun 1858 DS. Lambertus Mangindaan melalui khotbahnya di Tikala Manado mengumandangkan gagasan Gereja Minahasa Berdiri Sendiri mengakibatkan beliau diberhentikan dari jabatan sebagai Wakil Predikant Indische Kerk Manado. Dengan alasan karena dia pribumi, diprotes oleh petugas Gereja Eropa lainnya bahwa ia tidak layak menjadi Wakil Predikant Indische Kerk dan beliau berjuang untuk mendirikan Gereja Minahasa Berdiri Sendiri. Dengan demikian usaha gagasan tersebut gagal dan tidak dapat dilanjutkan. Ia dipecat dari jabatannya sebagai Wakil Predikant.
Baris 211:
3. Tahun 1911 para Majelis Gereja Indische Kerk di Manado dibawah pimpinan Joseph Jakobus pensiunan Jaksa Kepala di Manado terpanggil untuk mempelopori perbaikan dan pembaharuan atas kelemahan Gereja – Gereja Protestan di Minahasa. Joseph Jakobus diutus ke Batavia ( Jakarta ) menyampaikan petisi mereka kepada Pemerintah / Hoofd Bestuur Indische Kerk, tetapi kembali tanpa hasil. Bahkan pihak Indische Kerk tidak menghiraukan sama sekali. Dengan gagalnya petisi yang diajukan itu maka pada tahun 1912 Majelis Gereja Manado lalu bekerja sama dengan Perserikatan Pangkal Setia di Tomohon, membahas cita – cita mendirikan Gereja Minahasa yang Otonom.
 
4. Dengan dipelopori oleh Guru – Guru Zending ( NZG ) seluruh Minahasa pada tahun 1912 A.M. Pangkey dan J.U. Mangowal mendirikan suatu Perserikatan orang – orang Kristen dengan nama : Perserikatan Pangkal Setia berkedudukan di Tomohon. Pada tahun 1920 diakui sah sebagai Badan Hukum dengan Beslit Gubernur Jenderal No. 31 di Betawi / Jakarta. Tahun 1921 Perserikatan Pangkal Setia mulai bergerak ke jurusan Gereja Minahasa Berdiri Sendiri berdasarkan anggaran dasar pasal 2 ayat 29 diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai berikut : memperbaiki kelanjutan pengajaran Kristen dalam Residen daerah tingkat I Manado. Pada tahun 1925 Perserikatan Pangkal Setia mulai kebaktian di Gereja Minahasa Berdiri Sendiri ( Zelfstanding / Independent ) tiap hari minggu di gedung sekolah Kuranga Tomohon. Dengan berpegang pada anggaran dasar pasal 15 yang mengatakan bahwa tiap – tiap rapat Perserikatan Pangkal Setia didahului kebaktian lengkap seperti di Gereja pada hari minggu dan menjalankan kolekte atau sedekah.
 
Ketentuan – ketentuan anggaran dasar Perserikatan Pangkal Setia itu dianggap mirip struktur Gereja bentuk Kongregasional / ala Robert Brown di Belanda tahun 1854 yang mengutamakan kepentingan dan aspirasi Jemaat, sistem botom up, yakni kekuasaan dari bawah ke atas, dimana kedaulatan berada pada siding / Jemaat, karena Gereja didirikan oleh Jemaatnya sendiri, mengurus rumah tangganya sendiri bukan Pucuk Pimpinan.
Baris 248:
Nama desa Wakan berasal dari nama pohon kayu yang pada waktu itu banyak tumbuh di tepi sungai yang mengalir ditengah desa dan dikenal dengan pohon kayu Wakan.
 
Konon pada waktu itu ada satu batang pohon kayu Wakan yang roboh melintasi diatas sungai itu dan dijadikan Jembatan Pateten / Titian Menyeberangi Sungai / Palewetan. Dan apabila ada orang yang melakukan perjalanan tiba di desa ini dan bertanya dimana tempat Palewetan sungai ini maka selalu dijawab : “ada batang kayu Wakan yang roboh disitu dan dijadikan patetean untuk menyeberangi Kuala”. Maka jadilah desa ini di kenal dengan nama tempat petetean / palawetan, “Wakan”.
 
Desa Wakan ini terletak di suatu lembah di kaki pegunungan Ratowulan sebelah utara gunung Lolombuan dikelilingi perbukitan kecil Manembo, Tolaina, Inggodong, Wasian dan Leler, termasuk wilayah Kepolisian Onderdistrik ( kecamatan ) Motoling.
Baris 254:
Menurut penuturan Bapak Alex Buyung asal Kawangkoan yang sejak tahun 1950 berdomisili di Wakan bahwa lewat percakapannya dengan tetangganya di Kawangkoan, H.M. Taulu alias Ceping hulubalang Minahasa tengah. Seorang penulis sejarah Minahasa, mengetahui bahwa desa Wakan berdiri tahun 1450 dan merupakan tempat akhir kolonisasi orang – orang Kawangkoan, Kayuuwi, Sumonder di daerah Selatan Minahasa seberang sungai Ranoyapo. Seterusnya ke arah selatan Wanga, Motoling adalah kolonisasi orang Tompaso Besar.
 
Itulah sebabnya bahasa daerah / bahasa Tana Tontembuan orang Wakan berbeda dengan bahasa Tana Tontembuan orang Wanga, Malola, Motoling terus ke selatan. Hal ini dapat terlihat antara lain ucapan dua kata : “Matanaai / Makelaai”, berbeda tapi sama artinya.
 
Pada tahun 1962 desa Wakan yang berpenduduk kurang lebih 700 orang menganut agama Kristen Protestan, di bawah kepemimpinan Sinode Indische Kerk yang adalah Gereja Negara ( Staatskerk ) Pemerintah kolonial Belanda.
Baris 266:
• Penginjilan pertama tahun 1838 ialah Pendeta Carl Herman.
 
• Tahun 1849 – 1885 Pendeta Siebold Ulfres, Resort pelayanan di Kumelembuai sebanyak 8 desa termasuk desa Wakan, sebagaimana terungkap dalam satu nyanyian yang menyebarluas dikalangan Jemaat semenjak tahun 1857 sbb :
 
Perintah tuan Luperes, jaga delapan negeri – Rumoong Winaian
Baris 288:
Dari tulisan – tulisan sejarah oleh J.D. Kesek dan hasil – hasil percakapan yang bersumber dari orang Tua – Tua pelaku sejarah Gereja di Wakan mengatakan bahwa desa Wakan adalah desa pertama di seberang selatan sungai Ranoyapo tempat kedudukan Hukum Kedua ( camat ) dan sebagai negri / desa orang – orang pindahan distrik Kawangkoan Atas. Maka tidaklah mengherankan apabila di desa Wakan waktu itu ada rumah persinggahan, ada passer kecil dan ada gudang kopi tempat penampung hasil kebun kopi umum di Wakan. Tercatat sebagai mandor penjaga gudang ialah Markus Aseng dan Pakhuismeeter ( pakois ) pertama ialah Tumangken berikut kemudian Tumbuan.
 
Dan berikut ini daftar nama orang – orang yang pernah menjadi Pemimpin / Pejabat Pimpinan desa Wakan :
 
Sebagai Pimpinan Desa merangkap pendidik : ..........., Rembet
Baris 322:
Menyadari akan kondisi rumah Gereja tua termaksud diatas maka diawal tahun 1926 orang – orang tua dan Tokoh – Tokoh pemuda agama dan masyarakat mengadakan musyawarah bersama Pemerintah desa Wakan / Hukum Tua Zacharias Tumilar membicarakan soal rencana perbaikan rumah Gereja yang sudah tua dan dalam keadaan rusak. Akhirnya dicapai mufakat untuk membangun rumah Gereja yang lebih baik dan lebih besar secara gotong royong / kerja bakti. Disepakati pula bahwa biaya pembangunan akan diusahakan juga meminta bantuan dari Pimpinan Indische Kerk di Tomohon.
 
Dan untuk kegiatan pembangunan itu maka dibentuklah suatu panitia pembangunan yang disebut Voor Plaatselijke Belangen dengan komposisi dan personalia sebagai berikut :
 
Ketua 1 Markus Makaliwe
Baris 348:
2. Pembangunan Rumah Gereja Dimulai.
 
Dengan Rahmat dan Bimbingan Tuhan Yang Maha Kuasa pada sekitar awal tahun 1928 pelaksanaan pembangunan rumah Gereja dimulai. Sebagai Kepala Bas / tukang khusus didatangkan dari luar desa Wakan yaitu Charles Mewengkang asal Pinabetengan Tompaso Besar. Tukang – tukang lainnya semua asal desa Wakan sendiri antara lain : Frederik Tulungen, Elisa Rempowatu, Markus Siwu, Musa Talumepa, Joost Lembong, Dore Siwu, Johan Siwu, Paul Tumbuan, dll yang tak sempat didata.
 
Usaha Pengumpula Dana.
Baris 364:
3. Krisis Melanda Kegiatan Pembangunan.
 
Pada pertengahan tahun 1931 proses pembangunan rumah Gereja mengalami hambatan disebabkan karena :
 
• Komite mengalami kesulitan dana ( tidak ada bantuan dari Indische Kerk ).
Baris 402:
Dengan diprakarsai, para Pensiunan Militer bersama dengan para orang Tua – Tua tokoh masyarakat, mereka mendesak komite melakukan upacara adat “ Nae Rumah Baru” tanda selesainya pembangunan gedung Gereja baru. Adapun upacara adat ini akan dilaksanakan oleh untuk para tukang bersama para pemuka adat serta Tokoh – Tokoh masyarakat dilaksanakanlah upacara tradisional khusus (belum untuk umum) sebagai ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan bimbingannya sehingga pembangunan rumah Gereja dapat terselesaikan 90% dengan baik dan selamat. Pada acara itu ada pula adat khas yang mengandung nilai budaya dan senantiasa bersifat simbolis dinyatakan dan dilakukan oleh seorang pemuka adat yang disebut Tonaas, Manuel Tampi dengan mengucapkan kata – kata “ Tioo Ma Inde – Inde, Manguni Maka Siow Aitoor Si Wale Anio” lalu ia menghentakan kaki kanannya tiga kali di lantai pintu samping mimbar Gereja, pernyataan itu merupakan perlambang, kekuatan yang penuh arti menurut tafsiran budaya dan pandangan hidup tradisional Minahasa yang bukan merupakan Mekanistis, akan tetapi sangat menunjang keyakinan Perjuangan dan kebulatan tekad masyarakat Wakan untuk menyelesaikan pembangunan.
 
Dan sebagai inti sari dari segala kepastian dan keyakinan dalam upacara adat, telah pula melahirkan kesatuan pandangan dan pendapat dengan mencetuskan dan menetapkan ikrar bersama membulatkan tekad dan memutuskan hal – hal sebagai berikut :
 
I. Rumah Gereja baru ini dinamakan “Wale Pinaesaan E Wakan” yang mengandung arti dan makna :
 
a. Rumah lambang persatuan masyarakat / Jemaat Wakan dilihat dari segi Organisasi dan Perjuangan Fisik ( melawan Pemerintah Belanda ).
Baris 420:
B. Peranan Organisasi – Organisasi Penunjang.
 
1. Tidak ada asap jika tidak ada api. Demikian bunyi pepatah. Demikian halnya dengan peresmian rumah Gereja di Wakan, tidak akan terjadi kalau tidak ditunjang oleh peran Hukum Tua serta unsur – unsur kekuatan Organisasi – Organisasi yang ada dimasyarakat, memang ternyata aksi sepihak pada peresmian tersebut, bagaikan asap menghembus tak terbendung karena karena didorong dan ditunjang oleh api semangat keyakinan dan kekuatan Organisasi – Organisasi yang teratur dengan baik dikalangan masyarakat yaitu :
 
 Oleh beberapa Tokoh masyarakat yang adalah anggota partai politik yang bertujuan untuk membangkitkan Kesadaran Nasionalisme serta mengorbarkan semangat Perjuangan melawan kaum penjajah mencapai Kemerdekaan Bangsa Indonesia berdasarkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Baris 444:
Pada tanggal 22 September 1933, sesuai rencana Pdt. Thiel dan beberapa Staf Penolong ( sebutan untuk jabatan pembantu Guru Injil ) dan Guru Injil Sewilayah Kumelembuai tiba di Wakan, mampir sebentar di rumah Hukum Tua A.A.M. Tumiwa kemudian segera menuju rumah Gereja baru “Wale Pinaesaan E Wakan” sementara dirumah Gereja baru telah menunggu orang Tua – Tua Tokoh agama, Tokoh – Tokoh masyarakat bersama puluhan anggota masyarakat dibawah Pimpinan koordinator pelaksana pembangunan Junus Runtuwene, maka segeralah tiba sang Pendeta di halaman Gereja sang Pendeta Indische Kerk, H.G. Thiel dan rombongannya. Sang Pendeta segera memanggil dan mencari Guru Jemaat Joost Rembet bersama – sama berjalan menuju ke pintu utama Gereja yang kelihatannya masih tertutup rapat. Pendeta Thiel kemudian mencoba membuka pintu namun tidak berhasil membukanya karena memang pintu masih terkunci.
 
Pada saat yang sama koordinator pembangunan Junus Runtuwene segera mendekatinya dan bertanya apa maksud kedatangan tuan Pendeta. Tanpa menjawab pertanyaan ini Pendeta Thiel menegur Guru Jemaat Joost Rembet menanyakan kunci dan terjadilah dialog sebagai berikut :
 
Pdt. Thiel “Guru Jemaat, kenapa pintu Gereja tidak dibuka? Mana kuncinya?”
Baris 454:
Dan saya tahu rumah baru ini dibangun oleh orang Wakan dengan biaya mereka sendiri. Ongkos kerja kami tukang – tukang belum dibayar. Jadi saya tidak mau serahkan kunci rumah baru ini kepada tuan Pendeta, karena saya tahu betul bangunan rumah baru ini orang Wakan yang punya.”
 
Pdt. Thiel menjadi marah dan berkata : “Oh, kamu sudah berani melawan saya, ya? Apa kamu tidak mengerti saya yang menjadi Ketua Gereja di Wilayah Amurang? Jadi kamu mesti dengar perintah saya.”
Kep. Bas “Baik tuan Pendeta, saya mau serahkan kunci – kunci tapi tuan Pendeta harus bayar dulu harga rumah baru ini. Dan juga mesti bayar ongkos kerja kami tukang – tukang yang mendirikan rumah ini.”
Pendeta dengan nada emosi dan marah berkata: “Oh, God Verdomme, kamu orang Wakan ini kurang ajar ya, Gereja ditahbiskan tidak dikasih tau tuan Pendeta”
 
Pada saat – saat kritis itu dimana pihak Indische Kerk mencoba berusah memasukkan politik kolonial kedalam permasalahan Gereja maka bangkitlah budaya asli masyarakat Wakan sebagai mana sifat umum orang Minahasa dengan strategi menyerang dan memberontak, maka tanpa diduga sebelumnya Junus Runtuwene mendekati dan menentang Pdt. Thiel sambil berkata : “apa tuan Pendeta bilang? Orang Wakan yang kurang ajar atau tuan Pendeta.”
 
Kemudian segera pula disusul oleh salah seorang dari antara puluhan masyarakat yang hadir di halaman Gereja ( Musa Talumepa ) dengan tiba – tiba berteriak “Tangka en sia wakesenta sia, ipun pun ang karong” ( tangkap dia, kita ikat dia, masukan dikurung ) sambil melakukan gerakan – gerakan mendekati Pdt. Thiel.
Baris 466:
Melihat situasi yang tidak menguntungkan itu, Pendeta Thiel segera meninggalkan halaman Gereja menuju rumah Hukum Tua mencari perlindungan keamanan sekaligus meminta Hukum Tua mengurus perkara yang baru aja terjadi di halaman Gereja. Alasannya ialah Pendeta Thiel menuduh Kepala Bas tidak mau menyerahkan kunci – kunci Gereja kepadanya.
 
Namun sebaliknya Junus Runtuwene mengatakan kepada Hukum Tua bahwa mereka menggugat Pdt. Thiel yang memfitnah dan menghina masyarakat Wakan dengan kata – kata “orang Wakan kurang ajar”. Mula – mula Pendeta Thiel menolak tuduhan tersebut, namun dengan bijaksana Hukum Tua menanyakan kepada salah seorang staf pendamping Pendeta Thiel, yaitu tuan Rampengan, seorang Rohaniawan dari Kumelembuai sebagai saksi dengan pertanyaan sebagai berikut : “Apakah benar Pdt. Thiel mengucapkan kata – kata orang Wakan kurang ajar!?” Ternyata kesaksian tuan Rampengan membenarkan kesaksian itu.
 
Akhirnya Hukum Tua menutup proses verbal perkara ini dan akan diajukan ke Pemerintah di Amurang, karena Hukum Tua sebagai orang pribumi tidak berhak mengurus perkara orang asing / Eropa.
Baris 482:
Untuk penyelidikan dan pemeriksaan perkara peristiwa 22 September 1933 tersebut, pada tanggal 25 September 1933 tiba di Wakan Hukum Besar Tambayong dan Jaksa Rambing dari Amurang menemui Hukum Tua. Sehubungan dengan itu pula orang – orang Tua Tokoh masyarakat dan koordinator pelaksana pembangunan Junus Runtuwene sudah berkumpul dihalaman rumah Hukum Tua.
 
Sebelum acara pemeriksaan di mulai, Hukum Besar Tambayong mengambil kesempatan sejenak berjalan – jalan dihalaman menuju kelamaan pohon murbei yang lebat buahnya dan banyak orang – orang tua berdiri dekatnya. Sambil memetik dan memakan buah murbei, Hukum Besar perlahan – lahan mendekati orang – orang yang sedang berkumpul disitu dan berkata dengan nada suara perlahan – lahan agar jangan terdengar dengan Jaksa Rambing ( yang diucapkan dalam bahasa daerah ) sbb : “eh sare, E tanitu en aicuai tuang Pandita Thiel, maente – ente O mio kamu, camu re’en en muntung ya!” Artinya : kalo benar demikian yang dikatakan oleh Pendeta Thiel, peganglah teguh pada pendirian kamu, kamulah yang akan menang.
 
Demikianlah suatu ungkapan dukungan moril dari seorang Hukum Besar, sebagai pejabat Pemerintah pribumi yang merasa simpati dan menyadari visi dan persepsi Perjuangan dengan Jemaat Wakan menuntut hak kebebasan Bergereja dari Penindasan penjajah.
Baris 488:
Dan setelah Jaksa Rambing melakukan penelitian.
 
Dan pemeriksaan terhadap pelaku – pelaku peristiwa 22 September 1933, ternyata masyarakat Wakan tidak dapat dinyatakan bersalah, dengan alasan pokok pembelaan sebagaimana yang dituturkan oleh koordinator pembangunan Junus Runtuwene kepada Jaksa bahwa :
 
Pertama : Sehubungan dengan peraturan tuntutan Pendeta – Pendeta Indische Kerk tahun 1927 yang melarang rumah Gereja sebagai sekolah – sekolah Zending ( swasta ) maka rumah baru yang didirikan dibangun sendiri oleh masyarakat Wakan. Ini akan dipakai menjadi rumah sekolah dan tidak akan diserahkan kepada Pendeta Thiel Indische Kerk.
Kedua Bahwa rumah baru yang di bangun masyarakat Wakan sendiri dengan biaya swadaya murni masyarakat dan Jemaat Wakan tanpa bantuan daya dan dana Indische Kerk.
 
Baris 507:
Menyadari akan status dan kondisi Jemaat Wakan yang berada dibawah kekuasaan Indische Kerk / Pemerintah penjajah maka perlu kiranya dipikirkan penentuan nasib Gereja baru itu setelah terjadi konflik sosial politik dan pertentangan Jemaat Wakan dengan Indische Kerk tanggal 22 September 1933, yang telah diusut perkaranya oleh pihak yang berwenang ternyata dimenangkan oleh masyarakat dan Jemaat Wakan. Kemenangan itu merupakan momentum historis yang strategis dimana status rumah Gereja baru itu sudah dipastikan menjadi suatu Gereja Berdiri Sendiri / Siding Otonom yang akan tumbuh dan yang akan dikembangkan oleh Jemaat Wakan sendiri sebagai orang percaya yang mengekspresikan kebebasan kontrol otoritatif yang memerintah dan berkuasa dengan pengertian bukan kebebasan persekutuan.
 
Karena pada prinsipnya Gereja bebas berdiri sendiri / Otonom ialah Gereja ( bukan – bukan Gereja ) yang :
 
• Dibangun dan bertumbuh sendiri dari masyarakat setempat / lokal.
Baris 517:
• Mengurus dan mengembangkan sendiri. Dengan demikian maka Gereja bebas Merdeka Berdiri Sendiri itu sangat dekat pengertian dengan bentuk Pemerintahan Otonom Kongregasional yang mengatur, membiayai dan mengembangkan diri sendiri.
 
Berdasarkan hal tersebut dan dipicu oleh semangat spiritual dan gagasan Joel Walintukan yang pernah ditanamkannya dalam hati sanubari orang Tua – Tua dan Jemaat Wakan sejak tahun 1890 tentang arti dan maksud suatu Gereja Minahasa Berdiri Sendiri maka akhirnya para Tokoh masyarakat dan Tokoh – Tokoh agama serta pemuka adat desa Wakan mengambil sikap tegas dan menetapkan :
 
a. Putuskan hubungan dengan Indische Kerk.
Baris 529:
Dengan semangat kesatuan yang kokoh dan penuh keyakinan akan nilai Perjuangan luhur serta tekad yang membara dari Tokoh – Tokoh masyarakat, agama dan komiter serta dengan mendapat restu dan dukungan Hukum Tua Wakan A.A.M. Tumiwa, maka pada hari minggu tanggal 1 Oktober 1933 dilaksanakan upacara resmi Pentahbisan rumah Gereja baru di Wakan menjadi rumah sekolah, rumah Gereja “Wale Pinaesaan E Wakan” dengan status menjadi Gereja Minahasa Merdeka Berdiri Sendiri / Otonom yang berlindung pada Hak Badan Hukum Perserikatan Pangkal Setia di Tomohon ( Badan Hukum No. 31 – Betawi tanggal 12 Juli 1920 ).
 
Acara ibadah di Pimpin Guru Jemaat Tua David Moring dan acara Pentahbisan itu di Pimpin oleh Guru Jemaat Joost Rembet dan sengaja tidak memberitahukan kepada Pendeta H.G. Thiel Pimpinan Wilayah Indische Kerk Amurang. Upacara Pentahbisan itu dihadiri para undangan dari beberapa desa sekeliling desa Wakan. Turut hadir beberapa tamu dari Motoling antara lain Guru Zending J.D. Kesek, E.F. Paat dan R. Sondakh seorang Guru partikulur / swasta Motoling, dari Amurang hadir Jaksa Rambing yang kemudian memberi komentar; “Lolouren ( Bintang Fajar Timur ) sudah terbit, sudah tiba saatnya Jemaat Maesa mengatur sendiri Jemaatnya” dan berpesan : “pergilah kamu jangan berbantah – bantah dijalan” ( Kej 45 : 24 ).
 
Sejak tanggal 1 Oktober 1933 itu, didepan rumah Gereja baru dipasang papan bertuliskan : “Wale Pinaesaan E Wakan”. Semenjak itu Jemaat Wakan mengadakan kebaktian – kebaktian di rumah Gereja milik sendiri, sekaligus di pakai juga sebagai rumah Sekolah Rakyat ( SR ).
 
Dilihat dari segi Organisatoris Administrative maupun dari segi Hukum, kedudukan Gereja “Wale Pinaesaan E Wakan” itu berdiri sendiri dan dilindungi diatas anggaran dasar Perserikatan Pangkal Setia sebagai Gereja Minahasa Berdiri Sendiri Otonom dan sebagai Gereja Nasional bebas dari kekuasaan dan penindasan Pemerintah kolonial Indische Kerk.
Baris 577:
Dengan adanya rancangan Otonomisasi Gereja dan Jemaat yang sedang diperjuangkan masyarakat desa Wakan itu dimaksudkan agar sentralisasi kekuasaan sistim Sinode Indische Kerk itu harus segera diubah atau diakhiri, artinya peranan Jemaat Wakan melalui Jemaat Wakan harus dihormati dan dihargai.
 
Dan untuk tujuan kesemuanya itu maka bermusyawarahlah orang Tua – Tua dan para Tokoh masyarakat dan Jemaat untuk mencari hubungan dengan pihak Gereja Katholik di Tomohon dengan maksud meminta agar Jemaat Wakan dapat diterima anggota Jemaat Katholik. Namun sebelum sempat mengirim utusan ke Tomohon, ada berita melalui surat kabar Perserikatan Pangkal Setia yang mengatakan bahwa di Manado ada suatu Badan Pengurus Organisasi yang bercita – cita mendirikan suatu Gereja Minahasa Merdeka Berdiri Sendiri dengan nama “Kerapatan Gereja Protestan Minahasa” disingkat “KGPM” dipimpin oleh Bangsa sendiri dan beralamat : gedung Sinode Harmoni Manado. Dengan demikian niat ke Tomohon dibatalkan dan dialihkan ke Manado.
 
B. Jemaat Wakan Merintis Berdirinya Gereja Minahasa Otonom.
Baris 601:
Kepada utusan Wakan bersama B.W. Lapian, Y. Yakobus menyatakan sangat menyesal tidak dapat mengurus sendiri urusan yang amat penting di Jemaat Wakan karena dalam keadaan sakit.
 
Namun kemudian beliau selanjutnya menyatakan bahwa untuk melaksanakan segala urusan Gereja di Jemaat Wakan sebagaimana permintaan yang disampaikan utusan Wakan itu akan beliau Wakilkan kepada B.W. Lapian sebagai penanggung jawab. Dan untuk itu berkata : saya tidak sanggup lagi karena sakit, tuan Z. Talumepa sudah menyatakan takut untuk bertindak, jadi “ngana jo Bena” : Bena adalah nama panggilan akrab dari Bernard / B.W. Lapian. B.W. Lapian menyatakan bersedia melaksanakan tugas itu tetapi bukan dalam tugas sebagai Sekretaris melainkan sebagai Ketua Pengurus KGPM. Hal ini disetujui Y. Yakobus lalu menyerahkan surat mandat hak Ketua kepada B.W. Lapian.
 
Kemudian B.W. Lapian menyuruh ketiga utusan segera kembali ke Wakan dengan pesan : Bersiap– siaplah hari minggu tanggal 29 Oktober 1933 yang akan datang, kami akan berada di Wakan. Dengan penuh sukacita pulanglah ketiga utusan ke Wakan menyampaikan pesan dari Hoofd Bestuur KGPM kepada Jemaat di Wakan.
3. B.W. Lapian Mulai Merintis Jalan Mendirikan Gereja Minahasa Otonom.
 
Setelah mendapat surat mandat sebagai Ketua Pengurus KGPM untuk melaksanakan tugas memenuhi permintaan Jemaat Wakan, maka B.W. Lapian mulai bertindak melalui jalur Hukum Pemerintah. Bersama A. Kandow, H Sinaulan dan R.C. Pesik, kemudian B.W. Lapian menemui Asisten Resisten Oberman setingkat Wakil Gubernur di Manado. Mereka menyampaikan maksud dan permintaan Jemaat Wakan yang akan mendirikan Gereja Minahasa Berdiri Sendiri / Otonom di Wakan.
Asisten Resisten Oberman yang adalah Ketua Dewan Minahasa / DPRD mengenal benar Perjuangan dan pribadi B.W. Lapian sebagai anggota Volksraad / Dewan Minahasa, dengan secara bebas bergurau antara lain katanya : oh mengapa mau mendirikan Gereja sendiri? “Apakah kamu tidak senang lagi dengan orang – orang Belanda! Ataukah mau usir kami orang – orang Belanda dari sini?” Namun kemudian secara diplomatis Oberman menyuruh mereka membicarakan hal itu dengan H.V.B. Konterlir Vingerhoeds ( tk. Bupati ). Setelah B.W. Lapian dan kawan – kawan menghadap Konterlir Vingerhoeds dan menyampaikan maksud mereka, terjadilah dialog sebagai berikut:
 
 
Baris 619:
B.W. Lapian : “tuan Konterlir, kami datang bukan untuk minta izin, hanya datang memberitahukan kepada tuan.”
 
Pada akhirnya B.W. Lapian dan kawan – kawan meminta izin meninggalkan kantor Konterlir dengan mengatakan : “Tuan luluskan atau tidak yang penting kami telah datang dan memberitahukan kepada tuan, bahwa kami akan melakukan suatu tugas pekerjaan besar dan mulia.”
 
Mendengar ucapan B.W. Lapian itu, Konterlir terdiam dan tidak dapat berbuat apa – apa lagi. Situasi yang demikian itu membuat B.W. Lapian sebagai seorang pejuang lebih percaya diri untuk melakukan Perjuangannya bersama Jemaat Wale Pinaesaan E Wakan Memproklamasikan Gereja Minahasa Berdiri Sendiri / Otonom yang pertama di desa Wakan, Minahasa Sulawesi Utara.
Baris 644:
Keberhasilan Perjuangan masyarakat dan Jemaat Wakan yang mendirikan rumah Gereja Wale Pinaesaan E Wakan menjadi milik sendiri dan berdiri sendiri itu, ternyata benar – benar dimanfaatkan pengurus besar KGPM sebagai modal pokok serta motivasi untuk memproklamasikan KGPM menjadi Gereja Minahasa Berdiri Sendiri yang memisahkan diri / lepas dari kekuasaan Indische Kerk. Ditambahkan pula bahwa situasi Indische Kerk di Wakan pada saat itu memang sudah sukar dikendalikan untuk dipertahankan dan sedang berada pada jalur kehancuran.
 
Dan sebaliknya keberadaan Jemaat dan Gereja di Wakan bahkan sudah memenuhi syarat dan sudah siap diresmikan menjadi satu sidang / Jemaat berdiri sendiri, dengan pertimbangan bahwa :
 
a. Baik Organisatoris maupun Administrtif, secara yuridis formal dilindungi dengan anggaran dasar Perserikatan Pangkal Setia.
Baris 666:
Kebaktian di Pimpin oleh H. Sinaulan dari Pengurus Besar KGPM dengan nats pembimbing dari Roma 8:31. Selesai kebaktian, Jemaat mendesak Ketua Hoofd Bestuur B.W. Lapian untuk terus melaksanakan maksud pertemuan mulia itu, yaitu meresmikan / mengesahkan Jemaat dan Gereja Wale Pinaesaan E Wakan menjadi Jemaat dan Gereja KGPM Berdiri Sendiri / Otonom.
 
B.W. Lapian menyatakan setuju, lalu segera bangkit berdiri menyampaikan sambutannya sebagai Ketua Pengurus Besar KGPM dalam bahasa daerah Tontembuan yang antara lain mengatakan sebagai berikut :
“Po’opo’ow pakasa, mayo waya kita rumangat ing ngaran I Amang Walian Kasuruan nimena intana ‘wo langit wo nimee mai keter Osaka sama ase’cita imbaya asiendo anio. Po’opo’ow pakasa, sapaka aku siendo anio ambiai selaku Ketua Hoofd Bestuur KGPM em pa’pa’an siendo anio endo sama kita maliu – lius asi Wale anio, mai muka ‘ing KGPM Wakan.
 
Baris 675:
Demikianlah pidato sambutan dan Proklamasi KGPM oleh B.W. Lapian Ketua Hoofd Bestuur KGPM, yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, artinya sbb:
 
“Bahwa saya sebagai Ketua Pengurus Besar Kerapatan Gereja Protestan Minahasa / KGPM dengan Rahmat Tuhan Pencipta Langit dan Bumi, pada hari ini minggu , 29 Oktober 1933 Memproklamasikan / Menyatakan berdirinya Kerapatan Gereja Protestan Minahasa ( KGPM ) Berdiri Sendiri / Otonom di Wakan melalui peresmian Gereja dan Jemaat Wale Pinaesaan E Wakan menjadi Gereja dan Jemaat KGPM pertama dimulai di Wakan.
 
Kita jadikan hari bahagia ini 29 Oktober 1933 hari sejarah lahirnya Gereja Jemaat KGPM di Minahasa kita mengangkat saudara kita David Moring menjadi Guru Jemaat KGPM dan saudara kita Yoost Rembet menjadi Gembala Am KGPM sedangkan saudara kita Junus Runtuwene menjadi Pengurus Daerah / Wilayah KGPM, kita doakan semua kiranya KGPM mulai berdiri hari ini di Wakan dan untuk selama – lamanya. Pakatuan wo pakalowiren kita imbaya”.
Baris 685:
Kalau Reformasi – Pembaharuan dan Perubahan Gereja Roma menjadi Gereja Protestan oleh Reformator DR. Martin Luther pada kebaktian pertamanya tanggal 29 Oktober 1525 di Wittenberg Jerman, maka Reformasi Gereja di Minahasa – Indonesia terjadi dengan menginspirasi dan memotivasi Jemaat Wakan berjuang membebaskan Gereja dari dominasi Negara dan Pemerintah kolonial Belanda sejak 1 Oktober 1933 ; kemudian diproklamasikan menjadi Gereja Jemaat pertama berdirinya Gereja Reformasi pada tanggal 29 Oktober 1933 di Wakan dengan nama “Kerapatan Gereja Protestan Minahasa – ( KGPM )”.
 
Hingga pada penulisan sejarah ini tahun ( 2002 ), didesa Wakan hanya ada satu golongan Gereja yaitu Gereja Protestan Jemaat Wale Pinaesaan E Wakan yang merupakan moment gerakan Gereja melawan politik Pemerintah kolonial dengan semboyan : Pemerintah kolonial masuk di Minahasa lewat Gereja, mereka harus keluar melalui jalur yang sama yaitu lewat Gereja ( A.M. Pangkey, Perserikatan Pangkal Setia ). Dalam bidang doktrin dan ibadah didasarkan dengan Pengakuan Iman Rasuli – tidak ada perbedaan yang prinsipal antara Wale Pinaesaan E Wakan / KGPM dengan Indische Kerk atau GPHB ( Gereja Protestan Hindia Belanda ).
 
Bab 8. Nama Dan Struktur Organisasi Gereja.
Baris 691:
I. Arti Nama Wale Pinaesaan E Wakan.
 
Wale Pinaesaan E Wakan mengandung arti serta makna sebagai berikut :
 
a. Rumah Gereja milik masyarakat dan Jemaat Wakan, sebagai lambang persatuan dan Perjuangan masyarakat Wakan yang menjadi satu menentang politik Pemerintah kolonial beralaskan pada jiwa dan MENTAL NASIONALISME bertolak dari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Baris 722:
Ciri – ciri Kongregasional KGPM itu banyak perbedaan dari Kongregasional Robert Brown harus diberlakukan dan dituruti juga oleh Gereja Wale Pinaesaan E Wakan sebagai anak sulung KGPM, sebagai berikut:
 
1. Suatu Gereja Yang Esa, yang Nasional, Indonesia sejati bukan Kongregasional dari banyak Gereja Kongregasional ( bahasa Inggris ) : congregate = sistim Gereja – Gereja berdiri sendiri menurut kamus umum Inggris Indonesia Poerdarminta SAM Goustra 1959.
 
2. Suatu Kongregasional sidang – sidang ( bukan Gereja – Gereja ).
Baris 751:
14. Pucuk Pimpinan hanya bersifat koordinator, Stabilator dan dinamisator, motivator atau bersifat memimpin, mengatur bersama ( Mat. 20:25-28; 23:12; 1 Petr. 5:2-3; 1 Kor 3:5-9; 4:8; 2 Kor 1:24 ) antara Pucuk Pimpinan dan Pimpinan Sidang.
 
15. Hubungan keuangan dari sidang ke Pucuk Pimpinan bersifat sukarela ( 2 Kor. 9 : 78 ) hal ini perlu ditinjau ( 1 Kor. 9:14; Gal 6:2 ).
 
16. Oleh karena Pucuk Pimpinan tidak mempunyai dana anggota P.P. bersifat sukarela pula seperti Zaman rasul ( 1 Kor. 4:9-13; 2 Tes. 3:8; Kis. 20:34-35 ).
Baris 761:
IV. Majelis Sidang Dan Pengurus Sidang.
 
1. Majelis sidang / Majelis Gereja yaitu :
 
a. Penatua / Tua – Tua dalam bahasa asing presbyter, yaitu pelayanan rohani tiap – tiap lingkaran ( kring ) dalam siding dan pembantu tugas pelayanan rohani dan Guru Jemaat atau Gembala sidang ( Kis. 14:23; 15:6; 1 Petr. 5:1-3; 1 Tim. 5:17; Tit. 1:5-6 ).
Baris 816:
4. Motivasi berdirinya Gereja Wale Pinaesaan E Wakan, adalah benar – benar bersifat Gerejawi yang kemudian menandai Pendorong Pemicu Proklamasi KGPM ( Kerapatan Gereja Protestan Minahasa ) tanggal 29 Oktober 1933 di Wakan yang hendak melaksanakan tugas pelayanan Gereja menurut kehendak Tuhan, tidak didikte atau diperintah dan dikuasai oleh Pemerintah duniawi agar Jemaatnya dapat melaksanakan ibadah secara bebas menurut kepercayaan, keyakinan yang telah digariskan Gerejanya.
 
5. Hari minggu tanggal 1 Oktober 1933 adalah tonggak sejarah berdirinya Gereja Wale Pinaesaan E Wakan dengan garis tugas panggilan pokok ialah : bersekutu, bersaksi, di seluruh tanah air dan Bangsa Indonesia bukan hanya terbatas di Minahasa.
 
6. Gereja Wale Pinaesaan E Wakan adalah Gereja Merdeka / Independen, Gereja Minahasa berdiri sendiri merupakan moment Gerakan Perjuangan Gereja Reformasi berjiwa sosial yang dilaksanakan secara mandiri dan swadaya murni oleh Jemaat Wakan mewarnai persatuan kehidupan masyarakat Wakan melawan politik Pemerintah kolonial dan Gereja Negara Indische Kerk.
Baris 834:
3. Mari kita tingkatkan mutu kehidupan Jemaat dalam segala bentuk aspeknya berdiri teguh dan konsekuen dalam melaksanakan Visi dan Misi Gereja yang mempunyai indentitas dan sejarah yang normatif ( dapat dijadikan ukuran dan pegangan ) agar jangan terbawa oleh oknum Pemimpin – Pemimpin avonturir yang terus berusa merusak identitas Gereja Wale Pinaesaan E Wakan dan KGPM Kongregasional itu, demi kepentingan pribadi maupun golongan. Kesemuanya ini adalah merupakan beban histories Jemaat Wakan yang harus diselesaikan dan diatasi secepat mungkin.
 
4. Hal – hal tersebut diatas perlu kita pahami benar, jika kita teliti secara cermat sejak lahirnya Gereja Wale Pinaesaan E Wakan 1933 sebagai Gereja Minahasa Merdeka Berdiri Sendiri / Otonom, maka sebagai generasi penerus Jemaat Wakan, seolah – olah kehilangan kecintaan, kehilangan fanatisme dan kepedulian terhadap penelitian dan pengetahuan tentang sejarah proses lahirnya Gereja Wale Pinaesaan E Wakan, kesemuanya itu dapat terjadi karena :
 
Pertama : Semenjak generasi pelaku, pendiri Gereja di Wakan tahun 1926 hingga menjelang akhir tahun 2000, belum pernah ada tersusun suatu tulisan sejarah Gereja di desa Wakan secara lengkap tentang lahirnya Gereja Wale Pinaesaan E Wakan yang merupakan Gereja Reformasi di Wakan, Minahasa Sulawesi Utara pada tanggal 1 Oktober 1933 bahkan menjadi anak sulung / Jemaat sulung Gereja KGPM ( Kerapatan Gereja Protestan Minahasa ) yang Diproklamadikan di Wakan pada tanggal 29 Oktober 1933.
 
Kedua : Pada tahun 1969 terjadi perpecahan Pucuk Pimpinan Gereja KGPM, yaitu selain keberadaan P.P. KGPM 29 Oktober 1933 di Kawangkoan dengan Ketua Umum B.W. Lapian, maka pada bulan Oktober 1969 muncul Pucuk Pimpinan tandingan yang didirikan oleh Ny. S.K. Pandean, dkk di Manado, dikenal dengan “Perkumpulan Gereja” ( Kerk Genootschap ) KGPM 21 April 1933. Hal ini telah mengakibatkan persatuan Jemaat Wakan menjadi goyah dimana sebagian dari Jemaat dan generasi muda berangsur – angsur kehilangan percaya diri, kehilangan dasar berpijak bahkan seolah – olah berada dipersimpangan jalan kemudian kehilangan motivasi untuk memiliki dan mempelajari sejarah Wale Pinaesaan E Wakan secara utuh dan tanggung jawab.
 
Perpecahan KGPM ini berlangsung selam 13 tahun ( 1969 sampai 1982 ) dan hanya oleh kehendak Tuhan dan Roh Kudus bersatu kembali pada siding raya KGPM di Molompar tahun 1982 menjadi KGPM 29 Oktober 1933 yang asli / Kongregasional.
 
Berdasarkan hal – hal tersebut diatas, maka tidaklah mengherankan apabila sebagian besar generasi muda penerus Jemaat Wakan diperkirakan sangat kurang menghayati dan memahami bahwa Proklamasi Gereja dan Jemaat Kerapatan Gereja Protestan Minahasa ( KGPM ) yang pertama – tama di Minahasa itu, dilakukan oleh Hoofd Bestuur KGPM tanggal 29 Oktober 1933 di Jemaat Wale Pinaesaan E Wakan yang sejak tanggal 1 Oktober 1933 telah berhasil berdiri sendiri , Otonom, melepaskan dan memisahkan diri dari kekuasaan Indische Kerk / Gereja Negara Pemerintah kolonial. Dengan kata lain modal dasar Proklamasi Gereja dan Jemaat KGPM pertama tanggal 29 Oktober 1933 itu bersumber dari eksistensi Gereja dan Jemaat Wale Pinaesaan E Wakan sebagai Gereja Minahasa Merdeka pertama yang berdiri sendiri sejak tanggal 1 Oktober 1933 di Sulawesi Utara.
 
Dapat pula diungkapkan disini bahwa kebangkitan dan kesadaran Nasionalisme masyarakat desa Wakan menentang pengaruh dan kekuasaan Pemerintah kolonial dan Indische Kerk itu merupakan hasil Perjuangan dan pergerakan sosial politik orang Tua – Tua perintis dan pelaku pembangunan Gereja Reformasi yang perlu dicatat dalam sejarah dan perlu dikenang selalu sebagai usaha menuju tercapainya Kebebasan Bergereja dan Kemerdekaan Bangsa. Sedangkan maksud dan tujuan Gereja Reformasi Wale Pinaesaan E Wakan menjalankan tugas Gereja Tuhan, tidak terlepas dari Program Nasional dan merupakan bagian mutlak dari Perjuangan suci demi Kemuliaan Kerajaan Tuhan dan Kemerdekaan bersekutu dan Bergereja.
Baris 854:
 
=== Situasi Yang Mempengaruhi Berdirinya KGPM ===
Muncul dan berdirinya KGPM pada tahun 1933, sebagai satu gereja di [[Minahasa]], merupakan jawaban atas berbagai masalah yang ada pada Gereja Negara (Indische Kerk) yang menguasai kehidupan kerohanian jemaat-jemaat protestan sejak permulaan abad ke-19 sampai dengan permulaan abad ke-20. Namun, kelahiran KGPM itu tidaklah secara tiba-tiba, melainkan melalui suatu proses perjuangan yang cukup lama dengan dasar dan latar belakang yang kuat seperti : kepincangan/kelemahan Indishe Kerk (aspek gerejawi/rohani), kepincangan social dan situasi perjuangan bangsa Indonesia ketika itu (aspek politik).
 
Berbagai kelemahan dan kepincangan itu dihayati oleh jemaat-jemaat dan kemudian sadar, bahwa hal-hal itu harus diatasi. Lahirlah gagasan untuk memperbaiki dan mengadakan perubahan atas cara kerja Indische Kerk yng mana usah-usaha itu pada puncaknya ditandai dengan berdirinya KGPM, sebagai gereja yang berusaha berbuat untuk mengikis segala kepincangan yang dialami dlam kehidupan gereja. Itulah yang kemudian dilakukan KGPM kemudian dengan berusaha menumbuhkan dan mengembangkan sikap serta nilai yang bertentangan dengan apa yang berkembang dalam Indische Kerk.
Baris 912:
# Membentuk Gereja Minahasa berdiri sendiri, dengan pemimpin orang Minahasa.
# Dibentuk Panitia Kerapatan Gereja Protestan Minahasa. Panitia ini bertugas untuk persiapan berdirinya gereja otonom, dengan sembilan anggota:
## Ketua Josef : Jacobus (Ketua Pengadilan Negeri Manado),
## Wakil ketua : Zacharias Talumepa (pensiunan Inlands Leraren Bond),
## Sekretaris : B. W. Lapian (Pangkal Setia).
## Anggota-anggota :
### A Kandou (pensiunan School Opziener),
### B. Warouw (pensiunan Hoof Opziener),
Baris 929:
Pertemuan dilanjutkan seminggu kemudian yakni 18 Maret 1933 di rumah Joseph Jacobus di Tikala Manado. Pertemuan ini tidak lagi dihadiri oleh Sam Ratulangi, Mr. A. A. Maramis dan Tumbelaka karena mereka telah kembali ke Batavia. Pada pertemuann ini berhasil ditetapkan Badan Pengurus Organisasi Gereja dan nama pengurus organisasi gereja.
 
Susunan Organisasi :
# Pengurus Badan Organisasi :
## Ketua : Joseph Jacobus,
## Wakil Ketua : Zacharias Talumepa,
## Sekretaris : B. W. Lapian,
## Bendahara : A. K. Kandou.
## Pembantu-pembantu : B. Warouw, E. Sumampouw, P. A. Ratulangi, E. A. Tumbel dan J. L. Tambajong.
# Badan Pengembalaan : Zacharias Talumepa, H. Sinaulan dan N. B. Pandean.
# Badan Penasihat : GSSJ Ratulangi, A. B. Andu, Ch. Singal dan A. Mononutu.
# Badan Pendamping : J. U. Mangowal, A. M. Pangkey dan H. M. Pesik.
 
Nama organisasi yang disepakati waktu itu adalah: '''KERAPATAN GEREJA PROTESTAN MINAHASA''' disingkat '''KGPM'''.
Baris 992:
* Wakil Sekretaris II: Drs. Tenni Assa
* Wakil Sekretaris III: Pnt. Prof. Dr. Revolson Mege, M.S.
* Bendahara Umum : Pnt. Charles Tumbel SE.Ak.
* Ketua Majelis Gembala: Gbl. Joppy A. Laloan, M.Th.
* Ketua Bidang Persekutuan: Gbl. Rolly Liow, S.Th.