Jalaluddin Rumi: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika |
→Jalaluddin Rumi: Perbaikan tata bahasa Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan aplikasi seluler Suntingan aplikasi Android |
||
Baris 5:
'''Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri''' ('''Jalaluddin Rumi''') atau sering pula disebut dengan nama '''Rumi''' adalah seorang [[sufi|penyair sufi]] yang lahir di [[Balkh]] (sekarang [[Samarkand]]) pada tanggal 6 Rabiul Awal tahun 604 [[Hijriah]] atau tanggal [[30 September]] [[1207]] [[Masehi]]. Ayahnya yang masih merupakan keturunan [[Abu Bakar]] bernama Bahauddin Walad, sedangkan ibunya berasal dari keluarga kerajaan Khwarazm. Ayah Rumi merupakan seorang cendekia yang saleh, berpandangan ke depan, dan seorang guru yang terkenal di Balkh. Saat Rumi berusia tiga tahun, karena terancam oleh serbuan Mogol, keluarganya meninggalkan Balkh melalui Khurasan dan Suriah, sampai ke Provinsi Rum di Anatolia tengah, yang merupakan bagian Turki sekarang. Mereka menetap di Qonya, ibu kota provinsi Rum. Dalam pengembaraan dan pengungsiannya tersebut, keluarganya sempat singgah di kota Nishapur yang merupakan tempat kelahiran penyair dan ahli matematika Omar Khayyam. Di kota inilah Rumi bertemu dengan Attar yang meramalkan si bocah pengungsi ini kelak akan masyhur yang akan menyalakan api gairah Ketuhanan.
Hari itu, sebagaimana biasanya, Jalaluddin Rumi tengah mengajar para muridnya dalam sebuah perkuliahan. Tiba-tiba seseorang yang sebelumnya belum dikenal secara lebih dekat oleh Rumi masuk ruang perkuliahan tersebut. Orang asing itu pun menunjuk sebuah tumpukan buku sembari
Tahun 1244 M, Rumi bertemu dengan syekh spiritual lain, Syamsuddin dari Tabriz, yang mengubahnya menjadi sempurna dalam ilmu tasawuf. Setelah
kemudian bertemu dengan Husamuddin Ghalabi, dan mengilhaminya untuk menuliskan pengalaman spiritualnya dalam karya monumentalnya ''Matsnawi-ye Ma’nawi.'' Ia mendiktekan karyanya tersebut kepada Husamuddin sampai akhir hanyatnya pada tahun 1273 M.<ref>Syekh Fadhlullah Haeri, ''Belajar Mudah Tasawuf,'' terj. Muh. Hasyim▼
▲Tahun 1244 M, Rumi bertemu dengan syekh spiritual lain, Syamsuddin dari Tabriz, yang mengubahnya menjadi sempurna dalam ilmu tasawuf. Setelah Syamsuddi wafat, Rumi
▲Ma’nawi.'' Ia mendiktekan karyanya tersebut kepada Husamuddin sampai akhir hanyatnya pada tahun 1273 M.<ref>Syekh Fadhlullah Haeri, ''Belajar Mudah Tasawuf,'' terj. Muh. Hasyim
▲Assagaf (Jakarta: Lentera, 2001), h. 132</ref>''
Suatu hari Rumi bertanya,"Jika ilmu pengetahuan dan logika membuat orang semakin pandai dan cerdik, mengapa pada saat yang sama menimbulkan permusuhan? Mengapa orang beriman itu berpikiran sempit dan banyak melakukan penyimpangan? Apakah pandangan sempit merupakan sifat dan ciri para pendiri agama besar? Apa sebenarnya nilai kitab suci bagi orang beriman? Apakah hanya untuk dibaca dengan suara merdu dan tidak untuk ditafsirkan dalam rangka menjawab realitas kehidupan? Mengapa orang beriman yang tahu isi kitab suci itu gagal dalam tindakan dan muamalah?" Rumi mengkombinasikan tiga hal sekaligus, mempunyai visi spiritual yang mendalam sekelas Buddha atau Yesus, mempunyai refleksi intelektual yang luas seperti Plato atau Aristoteles dan mempunyai kemahiran dalam menemukan kata-kata indah seperti Shakesphare.<ref>Andrew Harvey, ''Samudra Rubaiyat: Menyelami Pesan Magis dan Rindu,'' Yogyakarta: Relasi Inti Media, 2018, 1.</ref>
== Karya ==
|