Hardjonagoro: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Stephensuleeman (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Stephensuleeman (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
'''Go Tik Swan''' dilahirkan pada [[11 Mei]] [[1931]] sebagai putra sulung keluarga TjanTionghoa di kota Solo ([[Surakarta]]). Karena kedua orangtuanya sibuk dengan usaha mereka, Tik Swan diasuh oleh kakeknya dari pihak ibu, [[Tjan Khay Sing]], seorang pengusaha batik di Solo. Ia mempunyai empat tempat pembatikan: dua di [[Kratonan]], satu di Ngapenan, dan satu lagi di Kestalan, dengan karyawan sekitar 1.000 orang.
 
Sejak kecil Tik Swan biasa bermain di antara para tukang cap, dengan anak-anak yang membersihkan [[lilin|malam]] dari kain, dan mencucinya, mereka yang membubuhkan warna coklat dari kulit pohon soga, dan orang-orang yang menulisi kain dengan [[canting]].
Baris 17:
 
 
<!--== Menarik perhatian Soekarno ==
Ketika belajar di Jakarta, Tik Swan sering berkunjung ke rumah Prof. Poerbatjaraka dan berlatih menari Jawa di sana. Dalam perayaan Dies Natalis Universitas Indonesia ia bersama rombongannya diundang menari di istana. Tariannya sempat membuat Presiden [[[Soekarno]] sangat terkesan karena Tik Swan memang menari dengan sangat bagus, sementara boleh dikatakan tidak ada keturunan Tionghoa yang tertarik untuk menari Jawa. Tik Swan pun saat itu sudah menggunakan nama ''Hardjono''.
"Saat belajar di Jakarta, paling tidak, seminggu tiga kali saya datang ke rumah Pak Poerba yang saat itu tinggal di Jl. Sumenep. Di sana saya latihan menari dibimbing Pak Kodrat dan Pak Wiradat, adik-adik beliau. Lalu dalam Dies Natalis U.I. kami diundang menari di istana."
 
Rupanya Presiden RI waktu itu, Ir. Soekarno, terkesan pada pemuda keturunan yang bisa menarikan tarian Jawa dengan bagusnya. Zaman itu memang boleh dikatakan tidak ada WNI yang tertarik menari Jawa atau memakai nama Indonesia, Go Tik Swan sudah mempunyai nama Hardjono.
 
Soekarno yang mencita-citakan pembauran itu lantas memberi perhatian khusus kepada Go Tik Swan. Apalagi waktu itu sebulan sekali ada acara kesenian di istana dan Hardjono rajin membantu Soewito Santoso menyelenggarakannya. Kemudian ia juga menjadi pengurus Ikatan Seni Tari Indonesia.
 
Bung Karno konon biasa menerima tamu pagi-pagi, mulai pukul 06:00. Tidak jarang Hardjono juga kelihatan di sana. Ketika ia bercerita akan membangun rumah di Surakarta, Soekarno yang arsitek lulusan Technische Hogeschool di Bandung (sekarang ITB) itu ingin melihat gambar rumah tersebut.
 
"Awal tahun 50-an 'kan model rumah memakai teras, " cerita Harjonagoro. "Teras depan rumah saja dirancang berbentuk bundar oleh arsitek Belanda. Gaya-nya art deco. Presiden Soekarno lantas berkata," Di masa yang akan datang nanti, jalan besar di depan rumahmu akan semakin ramai dilalui orang maupun kendaraan. Tidak akan nikmat lagi duduk-duduk di situ. Lebih baik kamu buat teras yang luas di belakang."
 
Ruang membatik
Menampung para pembatik tradisional di belakang rumahnya. Foto: HI
Pria gagah ini pun menurut. Dibuatnya sebuah teras lain yang luas dan bulat juga di belakang rumahnya. Depan teras itu ditanaminya dengan soka, kamboja dsb. yang bibitnya ia pilih di Bali . Kini, lebih dari 40 tahun kemudian, ia masih merasa nikmat duduk-duduk di situ.
 
"Di sinilah tempat saya menerima," katanya. Tamu-tamunya beragam, mulai menteri sampai wartawan, ilmuwan sampai duta besar.
 
== Pelopor Batik Indonesia ==
MengetahuiKetika kalaumengetahui bahwa keluarga Go Tik Swan Hardjono sudah turun-temurun mengusahakan batik, Soekarno lantas menyarankan agar ia menciptakan "Batik Indonesia". Anggota Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia itu (Ketuanya Emil Salim) merasaIa tergugah., Ialalu "pulang kampung"ke Solo untuk mendalami segala sesuatu tentang batik, termasuk sejarah dan falsafahnya.
 
IaHubungannya beruntungyang karenaakrab disayangidengan olehkeluarga kraton Solo memungkinkan Tik Swan Hardjono belajar langsung dari ibunda Susuhunan Paku Buwana XII yang memiliki pola-pola batik pusaka. Pola-pola batik langka yang tadinya tidak dikenal umum maupun pola-pola tradisional lain digalinya dan dikembangkannya tanpa menghilangkan ciri dan maknanya yang hakiki.
Mengetahui kalau keluarga Go Tik Swan Hardjono turun-temurun mengusahakan batik, Soekarno lantas menyarankan agar ia menciptakan "Batik Indonesia". Anggota Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia itu (Ketuanya Emil Salim) merasa tergugah. Ia "pulang kampung" untuk mendalami segala sesuatu tentang batik, termasuk sejarah dan falsafahnya.
 
Ia beruntung karena disayangi oleh ibunda Susuhunan Paku Buwana XII yang memiliki pola-pola batik pusaka. Pola-pola batik langka yang tadinya tidak dikenal umum maupun pola-pola tradisional lain digalinya dan dikembangkannya tanpa menghilangkan ciri dan maknanya yang hakiki.
 
Pola yang sudah dikembangkan itu diberinya warna-warna baru yang cerah, bukan hanya coklat, biru dan putih kekuningan seperti yang lazim dijumpai pada batik Solo-Yogya. Lahirlah yang disebut "Batik Indonesia".
Baris 44 ⟶ 29:
Saat itu warna-warna cerah cuma dipakai pada batik Pekalongan, namun motif batik Pekalongan kebanyakan buketan (karangan bunga aneka warna) yang berbeda sekali dari motif batik Vorstenlanden (Solo dan Yogya) yang biasanya sarat makna.
 
<!--== Dikoleksi museum mancanegara ==
 
Terobosan baru yang dilatar belakangi pemahaman yang mendalam tentang falsafah batik, selera yang baik dalam merancang pola, komposisi dan warna serta kehalusan pengerjaannya, menyebabkan batik Go Tik Swan menjadi rebutan kaum wanita golongan atas. Apalagi pemasarannya dilakukan oleh Ibu Soed, penggubah lagu anak-anak yang dekat dengan Bung Karno dan luas pergaulannya. Ibu Soed juga bisa memberi saran-saran yang berharga karena seleranya baik dalam memadukan warna dsb.