Khilafah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
SadeniHarfin (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
k Bot: Perubahan kosmetika
Baris 106:
Sarjana Mesir Ali Abdur Raziq menerbitkan bukunya 1925 ''Islam dan Dasar-Dasar Pemerintahan''. Argumen buku ini telah diringkas sebagai "Islam tidak menganjurkan bentuk pemerintahan tertentu".<ref>Elizabeth Suzanne Kassab. Contemporary Arab Thought: Cultural Critique in Comparative Perspective. Columbia University Press, 2010. {{ISBN|9780231144896}} p.40</ref> Dia memfokuskan kritiknya baik pada mereka yang menggunakan hukum agama sebagai larangan politik kontemporer dan pada sejarah penguasa yang mengklaim legitimasi oleh kekhalifahan.<ref name=sage2011>Bertrand Badie, Dirk Berg-Schlosser, Leonardo Morlino (eds). International Encyclopedia of Political Science, Volume 1. SAGE, 2011. {{ISBN|9781412959636}} p.1350.</ref> Raziq menulis bahwa penguasa masa lalu menyebarkan gagasan pembenaran agama untuk kekhalifahan "sehingga mereka dapat menggunakan agama sebagai perisai yang melindungi takhta mereka dari serangan pemberontak".<ref>Kemal H. Karpat. The Politicization of Islam: Reconstructing Identity, State, Faith, and Community in the Late Ottoman State. Studies in Middle Eastern History. Oxford University Press, 2001 {{ISBN|9780195136180}} pp.242-243.</ref>
 
Buku ini sempat menggoncangkan dunia Islam, karena isinya yang kontroversial. Menurut penulisnya, syariat Islam tidak memberi aturan tentang negara. Pandangan ini memang dianggap sangat radikal, sehingga berbagai reaksi terhadap buku tersebut terus menggema sejak dipublikasikannya tahun 1925 sampai sekarang.<ref>Dhiyauddin al-Rais, al-Islam wa al-Khilafah fi al-‘Ashr al-Hadits, diterjemahkan oleh Afif Muhammad dengan judul, Islam dan Khilafah, Kritik Terhadap Buku Khilafah dan Pemerintahan Dalam Islam, Ali Abdul Raziq, (Bandung: Pustaka, 1985), h. vii.</ref> Tidak sedikit orang yang memuji isinya karena dianggap mengandung pemikiran-pemikiran baru. Namun, banyak juga yang mencelanya karena isinya dianggap hanyalah kumpulan kekeliruan.
 
Pokok-pokok pikiran Ali Abdul Raziq tentang Khilafah dikritik habis-habisan oleh Dhiyauddin al-Rais. Menurut Dhiyauddin, wajibnya menegakkan Khilafah merupakan ijma’ (konsensus) para sahabat dan kaum muslimin, pengakuan syara’ terhadap prinsip ijma merupakan pengakuan terhadap aspirasi ummat secara menyeluruh, seperti yang dinyatakan oleh para mujtahid, sepanjang Khilafah itu telah ditetapkan dengan prinsip ijma’, maka tidak perlu untuk membicarakannya melalui prinsip lain, sebab prinsip ijma’ itu sendiri sudah tentu berdasarkan Alquran dan hadis serta selamanya berkaitan dengan keduanya. Dengan demikian, menurut Dhiyauddin bahwa Ali Abdul Raziq tidak memahami makna prinsip ijma’ yang telah ditetapkan para ulama Islam. <ref>ibid, h. 172-173.</ref>
 
Perbedaan pendapat antara Ali Abdul Raziq dan Dhiyauddin disebabkan perbedaan pandangan mereka tentang ijma’. Ali Abdul Raziq memahami bahwa umat Islam sama sekali tidak pernah mencapai konsensus dalam memilih khalifah yang mana pun dan juga pada masa kapan pun.<ref>Ali Abdul Raziq, al-Islam wa Ushul al-Hukm, (Cet. III; Kairo: Syirkah Mahammiyah Mishriyah, 1344 H./1925 M), h. 35</ref> Namun Dhiyauddin memandang ijma’ yang dimaksud adalah kesepakatan para sahabat dan kaum muslimin terhadap wajibnya menegakkan kekhilafahan.<ref>Dhiyauddin al-Rais, op. cit., h. 174.</ref> Dengan demikian, ijma’nya berhubungan dengan kekhilafahan, bukan atas siapa orang yang akan dipilih.