Hukum adat: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 6:
Ada dua pendapat mengenai asal kata ''adat'' ini. Di satu pihak ada yang menyatakan bahwa ''adat'' diambil dari bahasa [[Arab]] yang berarti ''kebiasaan''. Sedangkan menurut [[Amura|Prof. Amura]], istilah ini berasal dari [[Bahasa Sanskerta]] karena menurutnya istilah ini telah dipergunakan oleh orang [[Minangkabau]] kurang lebih 2000 tahun yang lalu. Menurutnya ''adat'' berasal dari dua kata, ''a'' dan ''dato''. A berarti tidak dan dato berarti sesuatu yang bersifat kebendaan.
 
== Perdebatan istilah Hukum Adat ==
Hukum Adat dikemukakan pertama kali oleh [[Snouck Hurgrounje|Prof. Snouck Hurgrounje]] seorang Ahli Sastra Timur dari [[Belanda]] ([[1894]]). Sebelum istilah Hukum Adat berkembang, dulu dikenal istilah ''Adat Recht''. [[Snouck Hurgrounje|Prof. Snouck Hurgrounje]] dalam bukunya ''de atjehers'' (Aceh) pada tahun [[1893]]-[[1894]] menyatakan [[hukum]] rakyat [[Indonesia]] yang tidak dikodifikasi adalah ''de atjehers''.
 
Baris 23 ⟶ 22:
[[Mohammad Koesnoe|Prof. Dr. Mohammad Koesnoe, S.H.]] di dalam bukunya mengatakan bahwa istilah Hukum Adat telah dipergunakan seorang Ulama [[Aceh]]<ref>[[Mohammad Koesnoe|Prof. Dr. Mohammad Koesnoe, S.H.]] Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum</ref> yang bernama [[Syekh Jalaluddin|Syekh Jalaluddin bin Syekh Muhammad Kamaluddin Tursani]] (Aceh Besar) pada tahun 1630.<ref>[[Syekh Jalaluddin|Syekh Jalaluddin bin Syekh Muhammad Kamaluddin Tursani]]. ''Safinatul Hukaam Fi Tahlisil Khasam'' (Bahtera Segala Hakim dalam Menyelesaikan Segala Orang Berkesumat/Bersengketa)</ref> [[A. Hasymi|Prof. A. Hasymi]] menyatakan bahwa buku tersebut (karangan Syekh Jalaluddin) merupakan buku yang mempunyai suatu nilai tinggi dalam bidang hukum yang baik.
 
== Perdebatan Definisi Hukum Adat ==
Menurut [[Kamus Besar Bahasa Indonesia]], adat adalah aturan (perbuatan dsb) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; cara (kelakuan dsb) yang sudah menjadi kebiasaan; wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem. Karena istilah Adat yang telah diserap kedalam Bahasa Indonesia menjadi kebiasaan, maka istilah hukum adat dapat disamakan dengan [[hukum kebiasaan]].<ref>H. Noor Ipansyah Jastan, S.H. dan Indah Ramadhansyah. ''Hukum Adat''. Hal. 15.</ref>
 
Baris 34 ⟶ 33:
[[Syekh Jalaluddin]]<ref>[[Syekh Jalaluddin]]. ''Safinatul Hukam fi Tahlisil Khasam''</ref> menjelaskan bahwa hukum adat pertama-tama merupakan persambungan tali antara dulu dengan kemudian, pada pihak adanya atau tiadanya yang dilihat dari hal yang dilakukan berulang-ulang. Hukum adat tidak terletak pada peristiwa tersebut melainkan pada apa yang tidak tertulis di belakang peristiwa tersebut, sedang yang tidak tertulis itu adalah ketentuan keharusan yang berada di belakang fakta-fakta yang menuntuk bertautnya suatu peristiwa dengan peristiwa lain.
 
=== Definisivan Hukum AdatVollenhoven ===
=== Menurut Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven ===
Menurut [[Cornelis van Vollenhoven|Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven]], hukum adat adalah ''keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (hukum) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi (adat).'' Tingkah laku positif memiliki makna hukum yang dinyatakan berlaku di sini dan sekarang. Sedangkan sanksi yang dimaksud adalah reaksi (konsekuensi) dari pihak lain atas suatu pelanggaran terhadap norma (hukum). Sedang kodifikasi dapat berarti sebagai berikut.
* menurut [[Kamus Besar Bahasa Indonesia]] kodifikasi berarti himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang; atau hal penyusunan kitab perundang-undangan; atau penggolongan hukum dan undang-undang berdasarkan asas-asas tertentu dl buku undang-undang yang baku.
Baris 64 ⟶ 62:
-->
 
== Lingkungan Hukum Adat ==
[[Cornelis van Vollenhoven|Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven]] membagi [[Indonesia]] menjadi 19 lingkungan hukum adat (''rechtsringen''). Satu daerah yang garis-garis besar, corak dan sifat hukum adatnya seragam disebutnya sebagai ''rechtskring''. Setiap lingkungan hukum adat tersebut dibagi lagi dalam beberapa bagian yang disebut [[Kukuban Hukum]] (''Rechtsgouw''). Lingkungan hukum adat tersebut adalah sebagai berikut.
# Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeuleu)
Baris 97 ⟶ 95:
# Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten)<ref>H. Noor Ipansyah Jastan, S.H. dan Indah Ramadhansyah. ''Hukum Adat''. Hal. 76-78. (disadur dari [[Cornelis van Vollenhoven|Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven]])</ref>
 
=== PenegakPenegakan hukum adat ===
Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.
 
== Macam-macam ==
=== Aneka Hukum Adat ===
Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh
# Agama: Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya: di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.
Baris 106 ⟶ 104:
# Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.
 
=== Pengakuan Adat oleh Hukum Formal ===
<!-- Komentar -->Mengenai persoalan penegak '''hukum adat''' Indonesia, ini memang sangat [[prinsipil]] karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah.
Dalam kasus salah satu adat [[suku Nuaulu]] yang terletak di daerah [[Maluku]] Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, di mana proses adat itu membutuhkan [[kepala]] manusia sebagai alat atau perangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut.
 
Dalam penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada [[Perngadilan Negeri]] Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman '''Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28''' hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam penjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.
 
Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal [[24 Juni]] [[1999]], telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak [[Ulayat]] Masyarakat Hukum Adat.
 
Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut [[tanah ulayat]].cvbb
 
Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat" sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA.
Kebijaksanaan tersebut meliputi:
 
# Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1)
# Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
# Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
 
Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, di mana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam praktiknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.
 
Ditinjau secara preskripsi (di mana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.
 
== Lihat pula ==