Sumber yang ''kedua'' adalah naskah hukum pelayaran dan perdagangan ''Ammana Gappa'' (abad 17) dimana Pulau Selayar disebut sebagai salah satu daerah tujuan niaga. Letaknya sangat strategis bagi pelayaran yang menuju ketimur maupun ke barat. Dengan demikian Pulau Selayar menjadi bandar transit bagi lalu lintas pelayaran kala itu. Di dalam naskah itu juga disebutkan tentang ''daftar sewa'' bagi orang yang berlayar dari [[Makassar]] ke [[Aceh]], Kedah, Kamboja sewanya 7 rial dari tiap seratus (orang) dan apabila naik dari tempat tersebut menuju Selayar, Malaka, Johor, sewanya 6 rial dari tiap seratus (orang).
Dari sumber tersebut memberikan keterangan tentang peranan Pulau Selayar dengan daerah-daerah di Nusantara dan Asia Tenggara. Hal ini memperkuat dugaan bahwa gong nekara mungkin didatangkan dari daratan Asia Tenggara pada waktu pengaruh kebudayaan CinaTiongkok berkembang di kawasan itu. Menurut cerita yang terkait dengan gong nekara di Pulau Selayar, dikatakan bahwa ketika ''Sawerigading'' bersama isterinya ''(We Cuddai)'' dan ketiga putranya ''(La Galigo, Tenri Dio, dan Tenri Balobo)'' kembali dari CinaTiongkok, dalam perjalanannya menuju ke [[Luwuk]] mereka singgah di Pulau Selayar dan langsung menuju ke suatu tempat yang disebut ''[[Putabangun, Bontoharu, Kepulauan Selayar|Putabangun]]'' dengan membawa sebuah ''nekara perunggu'' yang besar. Di tempat itu mereka dianggap sebagai Tumanurung. Pada saat itulah Tenri Dio dianggap menjadi raja pertama di Putabangun dan menempatkan gong nekara itu sebagai kalompoang di Kerajaan Putabangun.
Dari cerita itu dapat disimpulkan bahwa '''Gong Nekara''' dibawa dari CinaTiongkok oleh Sawerigading. Yang dimaksud dengan CinaTiongkok disinidi sini, mungkin adalah ''Indo China''. Selain itu, masyarakat juga menganggap bahwa hanya ada dua gong nekara di dunia, yaitu sebuah di ''[[Pulau Selayar]]'' dan sebuah lagi berada di ''[[CinaTiongkok]]''. Gong nekara yang ada di Pulau Selayar dianggap sebagai ''suami'' dan yang ada di CinaTiongkok dianggap sebagai ''isteri''. Hal ini mengingatkan kita pada nekara yang dipuja berpasangan di daerah [[Birma]] yang dipersonifikasikan sebagai pasangan suami isteri. Nekara yang di atasnya terdapat hiasan katak berukuran lebih tinggi melambangkan ''pria'', sedangkan yang tidak memakai hiasan katak dan berukuran lebih kecil dan rendah melambangkan ''wanita''. Dengan demikian tampak adanya persamaan nilai simbolis dari negara penganut kebudayaan perunggu khususnya gong nekara di Indonesia dan Asia Tenggara<ref name="www.katailmu.com"/>.