Kanjeng Ratu Kidul: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Menolak perubahan teks terakhir (oleh 114.122.68.1) dan mengembalikan revisi 16120276 oleh Glorious Engine |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 5:
<ref name=herman>Herman Utomo dan Silvie Utomo. 2008. ''Dialog dengan Alam Dewa''. Jakarta: Kelompok Spiritual Universal.</ref> Dalam mitologi Jawa, Kanjeng Ratu Kidul merupakan ciptaan dari [[Dewa Kaping Telu]]. Ia mengisi alam kehidupan sebagai Dewi Padi ([[Dewi Sri]]) dan dewi-dewi alam yang lain. Sedangkan [[Nyi Rara Kidul]] awalnya merupakan putri [[Kerajaan Sunda]] yang diusir ayahnya karena ulah ibu tirinya. Cerita-cerita yang terkait antara "Ratu Kidul" dengan "Rara Kidul" bisa dikatakan berbeda fase tahapan kehidupan menurut mitologi Jawa.
Kanjeng Ratu Kidul memiliki kuasa atas ombak keras [[samudra Hindia]] dari istananya yang terletak di
== Nama dan wujud ==
Baris 14:
=== Kanjeng Ratu Kidul dan Nyi Roro Kidul ===
Dalam [[kejawen|keyakinan orang Jawa]], Kanjeng Ratu Kidul memiliki pembantu setia bernama Nyai atau [[Nyi Rara Kidul]]. Nyi Rara Kidul menyukai warna hijau dan dipercaya suka mengambil orang-orang yang mengenakan pakaian hijau yang berada di pantai wilayahnya untuk dijadikan pelayan atau pasukannya. Karena itu, pengunjung pantai wisata di selatan Pulau Jawa, baik di Pelabuhan Ratu, Pangandaran, Cilacap, pantai-pantai di selatan Yogyakarta, hingga Semenanjung Purwa dan Pantai Selatan Bali di ujung timur, selalu diingatkan untuk tidak mengenakan pakaian berwarna hijau karena menurut kepercayaan warna hijau adalah warna Kanjeng Ratu,asisten setia,Abdi Kinasih,para pengikut bala tentara dan anak buahnya.
Di kalangan masyarakat Sunda berkembang anggapan bahwa Ratu Kidul merupakan titisan dari seorang putri [[Kerajaan Sunda|Kerajaan Hindu Pajajaran]] yang bunuh diri di laut selatan karena diusir oleh keluarganya karena ia menderita penyakit yang membuat anggota keluarga lainnya malu. Dalam kepercayaan Jawa, tokoh ini dianggap bukanlah Ratu Laut Selatan yang sesungguhnya, melainkan diidentikkan dengan [[Nyi Rara Kidul]], pembantu setia Kanjeng Ratu Kidul. Hal ini berdasarkan kepercayaan bahwa Ratu Kidul berusia jauh lebih tua dan menguasai Laut Selatan jauh lebih lama sebelum sejarah Kerajaan Pajajaran
Menurut pengalaman seorang spiritualis pada tahun 1998, ia bertemu dengan Kanjeng Ratu Kidul di pantai Parang Tritis, [[Yogyakarta]]. Saat itu, Eyang Kanjeng Ratu Kidul didampingi oleh [[Nyi Roro Kidul|Kanjeng Nyi Roro Kidul]].dan Kanjeng Nyi Riyo Kidul Keduanya persis tetapi Eyang Ratu Kidul kulitnya kuning langsat, sementara Nyi Roro Kidul dan Nyi Riyo Kidul agak coklat. Selain itu, Eyang ratu Kidul mempunyai aura putih jernih dan gemerlapan seperti berlian, bulat mengelilingi seluruh tubuhnya. Sedangkan aura Nyi Roro Kidul dan Nyi Riyo Kidul berwarna putih susu seperti cahaya lampu neon, tipis putih mengikuti postur tubuhnya. Ia diberi penjelasan bahwa [[Nyi Roro Kidul]] adalah patih Perdana Menteri atau kepala pengawalnya
<ref name=Asep sunanta/>
Baris 38:
=== ''Babad Dipanegara'' ===
''Babad Dipanegara'' mengisahkan pertemuan antara Ratu Kidul dengan [[Pangeran Diponegoro]] sebanyak dua kali, yaitu pada tahun [[1805]] dan pertengahan Juli [[1826]]. Pertemuan pertama terjadi di Gua Langse, [[Parangtritis, Kretek, Bantul|Pantai Parangtritis]] di selatan [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]], pada saat Pangeran Diponegoro tengah bersamadi sehingga Ratu Kidul tidak berkeingnan untuk mengganggu. Pertemuan kedua berlangsung pada saat terjadinya [[Perang Diponegoro]] (1825-1830). Pada pertemuan kedua, Ratu Kidul yang ditemani dua patihnya -yaitu [[Nyi Roro Kidul]] dan Raden Dewi- menawarkan bantuan dalam perang tetapi dengan syarat Pangeran Diponegoro bersedia memohon kepada ''[[Allah|Allah Ingkang Rabulngalimin]]'' agar Ratu Kidul diperkenankan kembali menjadi manusia. Namun, Pangeran Diponegoro menolak dengan halus dengan alasan bahwa pertolongan hanya datang dari ''Hyang Agung'' sehingga ia tidak akan bersekutu dengan makluk gaib. Hal ini sesuai dengan tujuan utamanya untuk berperang, yaitu untuk memajukan [[agama Islam]] di seluruh Jawa.<ref name="carey">Peter Carey. 2014. ''Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855)'', hal. 63-67. Penerjemah: Bambang Murtianto. Editor: Mulyawan Karim. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. ISBN 978-979-709-799-8.</ref>
== Ritual dan kepercayaan ==
|