Dinasti Ayyubiyah: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
→Asal muasal: copyedit, konsistenkan ejaan |
→Penaklukan Palestina dan Transyordania: copyedit dan penjelas |
||
Baris 139:
Selain perjanjian dengan Tentara Salib, muncul juga usulan kesepakatan untuk memberikan wilayah Damaskus kepada al-Asyraf yang telah mengakui kedaulatan al-Kamil. An-Nasir Dawud menolak kesepakatan tersebut, terutama mengingat bahwa ia masih marah dengan gencatan senjata antara Dinasti Ayyubiyah dengan Tentara Salib.<ref name="Burns184"/> Pasukan Al-Kamil mengepung kota Damaskus untuk menegakkan usulan kesepakatan tersebut pada Mei 1229. Pengepungan tersebut sangat berdampak terhadap kehidupan kota, tetapi rakyat malah berpihak kepada an-Nasir Dawud dan mengecam perjanjian dengan Friedrich. Walaupun begitu, an-Nasir Dawud mengajak berdamai setelah satu bulan berlalu. Kota Damaskus kemudian diberikan kepada al-Asyraf, sementara an-Nasir Dawud mendapatkan wilayah baru yang berpusat di Karak.<ref name="Burns185">{{harvnb|Burns|2005|p=185}}</ref>
Sementara itu, [[Kesultanan Seljuk Raya|pasukan Seljuk]] bergerak menuju wilayah al-Jazira,<ref name="RichardBirrell322">{{harvnb|Richard|Birrell|1999|p=322}}</ref> sedangkan para keturunan
==== Perpecahan Syam-Mesir ====
Pemerintahan Al-Asyraf di Damaskus berjalan stabil, tetapi Al-Asyraf dan amir-amir lainnya di Syam ingin memerdekakan diri dari Kairo. Di tengah kericuhan tersebut, al-Asyraf meninggal dunia pada Agustus 1237 setelah mengidap penyakit selama empat bulan. Ia digantikan oleh saudaranya, [[as-Salih Ismail, Amir Damaskus|as-Salih Ismail]]. Dua bulan kemudian, pasukan Mesir yang dipimpin oleh al-Kamil mengepung Damaskus, tetapi as-Salih Ismail sudah menghancurkan daerah pinggiran kota tersebut agar pasukan al-Kamil tidak dapat menemukan tempat bernaung.<ref name="Burns186">{{harvnb|Burns|2005|p=186}}</ref> Pada tahun 1232, al-Kamil mengangkat putra sulungnya, [[as-Salih Ayyub]], sebagai penguasa Hisn Kayfa. Namun, setelah al-Kamil wafat pada tahun 1238, as-Salih Ayyub mempertentangkan pengangkatan adiknya [[al-Adil II]] sebagai sultan di Kairo. As-Salih Ayyub pada akhirnya berhasil menduduki kota Damaskus pada Desember 1238, tetapi kota tersebut lalu direbut kembali oleh pamannya as-Salih Ismail pada September 1239. Sepupu Ismail, an-Nasir Dawud, kemudian memerintahkan penahanan Ismail di Karak agar Ismail tidak dapat ditangkap oleh al-Adil II. Ismail bersekutu dengan Dawud, dan Dawud membebaskannya pada tahun berikutnya, sehingga ia dapat menyatakan dirinya sebagai sultan pengganti al-Adil II pada Mei 1240.
Pada awal dasawarsa 1240-an, as-Salih Ayyub melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang pernah mendukung al-Adil II, dan ia kemudian bertikai dengan an-Nasir Dawud. As-Salih Ayyub dan Ismail juga sama-sama mencoba mendapatkan dukungan dari Tentara Salib.<ref name="RichardBirrell328">{{harvnb|Richard|Birrell|1999|p=328}}</ref> Pada tahun 1244, as-Salih Ismail bersekutu dengan Tentara Salib, dan pasukan mereka berhadapan dengan pasukan gabungan antara as-Salih Ayyub dan Khwarezmia di [[Hirbiya]] di dekat Gaza. Maka meletuslah [[Pertempuran La Forbie]]. Pertempuran tersebut berhasil dimenangkan oleh as-Salih Ayyub, Tentara Salib terusir dari Yerusalem, dan kota
==== Kembalinya persatuan ====
Baris 188:
=== Sisa-sisa dinasti ===
Banyak amir Ayyubiyah di Syam yang dicela oleh Qutuz karena telah bersekutu dengan bangsa Mongol. Namun, al-Asyraf Musa
Penguasa Ayyubiyah yang terakhir di Hamat tutup usia pada tahun 1299, dan Hamat kemudian sempat dikuasai oleh Mamluk. Namun, pada tahun 1310, sultan Mamluk [[an-Nasir Muhammad]] memberikan Hamat kepada salah satu anggota Dinasti Ayyubiyah yang dikenal sebagai ahli geografi dan penulis, [[Abu al-Fida]]. Abu al-Fida wafat pada tahun 1331 dan digantikan oleh putranya, [[al-Afdal Muhammad|al-Afdhal Muhammad]]. Hubungan al-Afdhal Muhammad dengan Mamluk pada akhirnya memburuk, sehingga ia dicabut dari jabatannya pada tahun 1341 dan kota Hamat secara resmi dikuasai oleh Mamluk.<ref name="DumperStanley163">{{harvnb|Dumper|Stanley|2007|p=163}}</ref>
Baris 217:
[[Rumpun bahasa Kurdi|Bahasa Kurdi]] merupakan bahasa ibu penguasa-penguasa pertama Ayyubiyah, khususnya pada masa mereka ketika mereka bertolak dari Dvin. Sultan Salahuddin menuturkan bahasa Arab dan [[bahasa Kurdi]], dan tampaknya juga bisa berbicara [[bahasa Turki]].<ref name="Magill809">{{harvnb|Magill|1998|p=809}}</ref><ref name="France84">{{harvnb|France|1998|p=84}}</ref> Menurut Yasser Tabbaa, seorang antropolog yang mengkhususkan diri dalam bidang kebudayaan Islam [[abad pertengahan]], para penguasa Ayyubiyah yang memerintah pada abad ke-12 sudah jauh dari budaya Kurdi; tidak seperti para pendahulu mereka di Seljuk dan para penerus mereka di Mamluk, para penguasa Ayyubiyah telah "terarabisasi".<ref>{{harvnb|Tabbaa|1997|p=31}}</ref> Bahasa dan [[budaya Arab]]<ref name="Angold391">{{harvnb|Angold|2006|p=391}}</ref> menjadi unsur utama dalam jati diri mereka alih-alih bahasa dan budaya Kurdi.<ref name="FageOliver37-38">{{harvnb|Fage|Oliver|1977|pp=37–38}}</ref> Mereka sendiri sudah cukup terasimilasi ke dalam budaya Arab sebelum mereka mulai berkuasa, dan marga-marga Arab pun jauh lebih lazim daripada marga-marga non Arab di kalangan penguasa Bani Ayyubiyah. Beberapa pengecualiannya adalah marga non-Arab ''[[Turansyah]].'' Sebagian besar penguasa Ayyubiyah dapat menuturkan bahasa Arab secara fasih, dan beberapa dari antara mereka (seperti az-Zahir Ghazi, [[Al-Mu'azzam|al-Mu'azzam Isa]], dan amir-amir kecil di Hamat) merangkai puisi dalam bahasa Arab.<ref name="Humphreys189-190">{{harvnb|Humphreys|1977|pp=189–190}}</ref>
Arabisasi yang berlangsung di keluarga penguasa Ayyubiyah sangat berbeda dengan pasukan mereka yang tidak memiliki kesatuan budaya. Orang-orang Turki dan Kurdi mendominasi
Sebagian besar penduduk Syam pada abad ke-12 memeluk agama [[Islam Sunni]], dan
Di Yaman dan Hadramaut, sebagian besar penduduknya menganut agama [[Islam Syiah]] bermazhab [[Zaidiyah]]. Wilayah Mesopotamia Hulu dihuni oleh orang-orang Kurdi dan Turki yang beragama Islam Sunni, meskipun terdapat juga minoritas [[Yazidi]] dalam jumlah yang besar. Orang [[Yahudi]] tersebar luas di wilayah-wilayah Islam, dan sebagian besar kota Ayyubiyah memiliki komunitas Yahudi, karena orang Yahudi berperan penting dalam bidang perdagangan, produksi, keuangan, dan pengobatan. Di Yaman dan beberapa wilayah di Syam, orang Yahudi juga tinggal di permukiman pedesaan. Amir Ayyubiyah di Yaman pada tahun 1197–1202, al-Malik Mu'izz Isma'il, pernah mencoba memaksa orang Yahudi Aden masuk Islam, tetapi upaya ini dihentikan setelah sang amir menjemput ajalnya pada tahun 1202. Di kalangan Yahudi sendiri (terutama di Mesir dan Palestina) terdapat aliran minoritas yaitu [[Yahudi Karait|Karait]].<ref name="HouraniRuthven96-97"/>
Di Mesir, terdapat komunitas [[Kristen Koptik]], [[Melkit]], [[orang Turki|Turki]], [[orang Armenia|Armenia]], dan [[orang kulit hitam]] [[Afrika]]. Orang Armenia dan orang kulit hitam merupakan kelompok yang berjumlah yang besar di wilayah [[Mesir Hulu]]. Pada masa Bani Fatimiyah, kaum non-Muslim di Mesir pada umumnya hidup sejahtera kecuali pada masa pemerintahan Khalifah [[Al-Hakim bi-Amr Allah|al-Hakim]]. Namun, setelah Syirkuh menjadi wazir, dikeluarkan sejumlah titah yang merugikan penduduk non-Muslim. Setelah kedatangan pasukan ekspedisi Syam (yang terdiri dari orang [[Turk Oghuz]] dan Kurdi) ke Mesir, kelompok minoritas juga mengalami penindasan, baik yang beragama Islam maupun yang beragama lain.<ref name="Lev192"/> Insiden-insiden tersebut terjadi saat Syirkuh dan Salahuddin menjadi wazir di Fatimiyah.<ref name="Lev192"/>
Pada permulaan masa pemerintahan Salahuddin sebagai sultan di Mesir, berdasarkan masukan dari penasihatnya yang bernama Qadi al-Fadil, orang Kristen dilarang bekerja di bidang
Bani Ayyubiyah pada umumnya memberikan jabatan-jabatan tinggi di militer dan birokrasi kepada orang Kurdi, Turki, dan orang-orang dari [[Kaukasus]]. Tidak banyak hal yang diketahui mengenai para prajurit Ayyubiyah, tetapi jumlah pasukan berkuda Ayyubiyah biasanya berkisar pada angka 8.500 hingga 12.000. Kavaleri Ayyubiyah kebanyakan terdiri dari orang-orang Kurdi dan Turki yang terlahir bebas dan kemudian dibeli oleh para amir dan sultan sebagai budak militer atau ''mamluk''; pada awal masa kekuasaan Ayyubiyah, terdapat pula kontingen [[orang Turkmen|Turkmen]] dalam jumlah yang besar. Selain itu, terdapat pasukan pembantu Arab, bekas satuan-satuan Fatimiyah seperti pasukan yang terdiri dari [[orang Nubia]], serta kontingen-kontingen Arab yang terpisah (khususnya dari [[Banu Kinaniya|suku Kinaniya]], yang biasanya ditugaskan untuk mempertahankan Mesir). Pasukan Kurdi dan Turki kadang-kadang saling bersaing memperebutkan jabatan militer, dan menjelang akhir kekuasaan Ayyubiyah, jumlah pasukan Turki jauh lebih besar daripada Kurdi. Walaupun para sultan Ayyubiyah memiliki latar belakang Kurdi, mereka tetap berlaku adil terhadap kedua kelompok tersebut.<ref name="DalyPetry226">{{harvnb|Daly|Petry|1998|p=226}}</ref>
Baris 238:
Setelah berhasil mengusir Tentara Salib dari sebagian besar wilayah Syam, Dinasti Ayyubiyah memberlakukan kebijakan perdamaian dengan mereka. Perang melawan Tentara Salib juga sama sekali tidak menghentikan hubungan dagang dengan negara-negara Eropa. Malahan hubungan ekonomi di antara mereka bermanfaat bagi kedua belah pihak, khususnya dalam bidang pertanian dan perdagangan.<ref name="Ali37">{{harvnb|Ali|1996|p=37}}</ref>
Dinasti Ayyubiyah telah mengambil berbagai tindakan untuk meningkatkan produksi pertanian. Terusan-terusan digali untuk menyediakan irigasi di berbagai wilayah kekaisaran. Pembudidayaan [[tebu]] secara resmi didukung untuk memenuhi permintaan yang besar dari penduduk setempat maupun dari bangsa Eropa. Sementara itu, akibat Perang Salib, berbagai jenis tanaman dari wilayah Ayyubiyah menyebar ke Eropa, seperti [[wijen]], tanaman ''[[Ceratonia siliqua|
Faktor utama yang memperkuat industri dan perdagangan di Dinasti Ayyubiyah adalah ketertarikan bangsa Eropa terhadap barang-barang baru yang mereka temui saat sedang berhubungan dengan kaum Muslim. Komoditas-komoditas tersebut meliputi dupa, wewangian, dan tanaman aromatik dari [[Arabia]] dan [[India]], serta jahe, [[tawas]], dan [[aloe|lidah buaya]]. Bangsa Eropa juga tertarik dengan gaya busana dan perabotan yang baru. Permadani, karpet, dan [[dewangga]] yang dibuat di [[Timur Tengah]] dan [[Asia Tengah]] mulai diperkenalkan di [[dunia Barat]] berkat hubungan antara Tentara Salib dengan Ayyubiyah. Para peziarah Kristen yang mengunjungi Yerusalem kembali dengan membawa tempat penyimpanan pusaka buatan Arab. Selain itu, karya-karya seni dari timur yang terbuat dari berbagai macam bahan (seperti kaca, tembikar, emas, atau perak) bernilai tinggi di Eropa.<ref name="Ali37"/>
Permintaan dari Eropa terhadap produk-produk pertanian dan komoditas-komoditas industri telah menggairahkan perdagangan internasional. Dinasti Ayyubiyah berperan penting dalam hal ini, karena mereka menguasai jalur dagang di [[Laut Merah]] yang melewati pelabuhan-pelabuhan di Yaman dan Mesir.<ref name="Ali37"/> Walaupun Dinasti Ayyubiyah bekerja sama dengan [[Republik Genova]] dan [[Republik Venesia|Venesia]] di [[Laut Tengah]], kedua negara tersebut tidak dapat mengakses Laut Merah. Oleh sebab itu, Dinasti Ayyubiyah dapat memperoleh keuntungan dari perdagangan di [[Samudra Hindia]] tanpa
Seiring dengan perkembangan perdagangan internasional, asas-asas dasar kredit dan perbankan mulai dikembangkan. Para pedagang [[Yahudi]] dan Italia memiliki agen-agen perbankan di Syam yang melaksanakan transaksi bisnis. Wesel juga digunakan untuk bertransaksi, sementara uang disimpan di bank-bank di Syam. Kegiatan perdagangan dan industri telah memasok dana yang diperlukan oleh sultan-sultan Ayyubiyah untuk memenuhi kebutuhan perbelanjaan militer serta untuk pembangunan. Pada masa kekuasaan al-Adil dan al-Kamil, pemerintah sangat memperhatikan kondisi ekonomi negara. Al-Kamil bahkan sangat ketat dalam mengatur pengeluaran negara; konon saat ia menjemput ajalnya, ia meninggalkan kas yang nilainya setara dengan anggaran setahun penuh.<ref name="Ali38"/>
== Pendidikan ==
Para penguasa Ayyubiyah merupakan orang-orang yang terdidik dan mereka mendukung kegiatan belajar mengajar. Madrasah-madrasah dibangun di wilayah Ayyubiyah tidak hanya untuk mendidik siswa, tetapi juga untuk menyebarkan agama Islam Sunni. Menurut [[Ibnu Jubayr]], kota Damaskus pada masa pemerintahan Salahuddin memiliki 20 madrasah, 100 [[Pemandian umum|tempat pemandian]], serta biara-biara [[darwis]] [[Sufi]] dalam jumlah yang besar. Ia juga membangun madrasah-madrasah di Aleppo, Yerusalem, Kairo, Iskandariyah, dan berbagai kota di Hijaz. Banyak pula madrasah yang dibangun oleh para penerusnya. Bahkan istri para penguasa Ayyubiyah, para panglima, dan para bangsawan juga ikut mendirikan dan mendanai sejumlah lembaga pendidikan.<ref name="Ali38"/>
Meskipun para penguasa Ayyubiyah mengikuti [[mazhab]] [[Mazhab Syafi'i|Syafi'i]], mereka juga membangun madrasah-madrasah untuk keempat mazhab Sunni. Sebelum Bani Ayyubiyah berkuasa, tidak ada madrasah yang beraliran Hanbali dan Maliki di Syam, tetapi Bani Ayyubiyah kemudian mendirikan sekolah-sekolah khusus untuk mazhab-mazhab tersebut. Pada pertengahan abad ke-13, [[Bahauddin bin Syaddad|Ibnu Syaddad]] mendirikan 40 madrasah Syafi'i, 34 madrasah [[Hanafi]], 10 madrasah Hanbali, dan tiga madrasah Maliki di Damaskus.<ref name="Ali39">{{harvnb|Ali|1996|p=39}}</ref>
Setelah Salahuddin menegakkan kembali agama Sunni di Mesir, 10 madrasah didirikan di Kairo pada masa kekuasaannya, ditambah dengan 25 madrasah lainnya pada masa penguasa-penguasa setelah Salahuddin. Madrasah-madrasah tersebut didirikan di tempat yang penting dari segi ekonomi, politik, dan agama, khususnya madrasah yang terletak di al-
Selain dirintis oleh para penguasa, sejarah mencatat bahwa para pejabat tinggi di Dinasti Ayyubiyah membangun 26 madrasah di Mesir, Yerusalem, dan Damaskus. Rakyat jelata juga mendirikan sekitar 18 madrasah di Mesir, termasuk dua lembaga medis, padahal pembangunan madrasah oleh rakyat jelata merupakan hal yang tidak lazim pada masa itu. Sebagian besar madrasah di Dinasti Ayyubiyah mewajibkan guru dan siswanya untuk tinggal di asrama. Para guru di madrasah tersebut merupakan ahli
== Ilmu pengetahuan ==
Berkat dukungan yang diberikan oleh Dinasti Ayyubiyah, kegiatan intelektual kembali bangkit di wilayah yang dikuasai oleh Ayyubiyah. Para cendekiawan di Ayyubiyah sangat berminat pada bidang kedokteran, [[farmakologi]] (ilmu obat-obatan), dan [[botani]] (ilmu tanaman). Salahuddin membangun dua rumah sakit di Kairo yang mengikuti Rumah Sakit Nuri di Damaskus; rumah sakit tersebut tak hanya merawat pasien, tetapi juga menawarkan pendidikan medis. Banyak ilmuwan dan dokter yang telah berkiprah di Mesir, Syam, dan [[Irak]] pada zaman Ayyubiyah. Beberapa dari antara mereka adalah [[Moshe ben Maimon]] ("Maimonides"), [[Ibnu Jami]], [[Abdullatif al-Baghdadi (penulis abad pertengahan)|Abdullatif al-Baghdadi]], [[ad-Dakhwar]], [[Rasyidun as-Suri]], dan [[Ibnu al-Baithar]]. Beberapa cendekiawan mengabdi kepada keluarga penguasa Ayyubiyah secara langsung, dan bahkan ada juga yang menjadi dokter pribadi sultan.<ref name="Ali39-41">{{harvnb|Ali|1996|pp=39–41}}</ref>
== Arsitektur ==
[[Berkas:Firdaws Madrasa Courtyard.jpg|jmpl|ka|[[Madrasah Al-Firdaus]] didirikan pada tahun 1236 di kota [[Aleppo]] dengan dukungan dari [[Dhaifa Khatun]]]]
[[Berkas:Ayyubid Wall Al-Azhar Park Cairo 01-2006.jpg|jmpl|ka|Tembok Ayyubiyah di Kairo yang ditemukan selama pembangunan [[Taman Al-Azhar]], Januari 2006]]
Pencapaian arsitektur terbesar pada zaman Ayyubiyah adalah arsitektur militernya, ditambah dengan pembangunan madrasah-madrasah Sunni untuk memperkuat agama tersebut (khususnya di wilayah Mesir yang sebelumnya didominasi oleh Syiah). Perubahan terbesar yang diberlakukan oleh Salahuddin di Mesir adalah dengan menutup Kairo dan al-
Pada September 1183, pembangunan [[Benteng Kairo]] dimulai atas perintah dari Salahuddin. Menurut [[al-Maqrizi]], Salahuddin memilih [[Mokattam|Perbukitan Muqattam]] sebagai tempat pembangunan benteng tersebut karena udara di sana lebih segar daripada tempat lainnya di Kairo. Namun, pembangunannya tidak semata-mata didasarkan pada udara yang menyegarkan, tetapi untuk keperluan pertahanan. Tembok dan menara di bagian utara benteng tersebut kebanyakan dibangun pada masa kekuasaan Salahuddin dan al-Kamil.<ref name="Yeomans104-105"/> Pembangunan benteng tersebut diselesaikan pada masa kepemimpinan Al-Kamil. Ia memperkuat dan memperbesar beberapa menara yang sudah ada, seperti dua menara dari masa kekuasaan Salahuddin (Burg al-Haddad dan Burg al-Ramla) yang diperbesar dengan menutupinya dengan struktur berbentuk setengah lingkaran. Al-Kamil juga menambahkan beberapa menara berbentuk persegi yang berfungsi sebagai menara benteng. Menurut Richard Yeomans, struktur paling menakjubkan yang dibangun oleh al-Kamil adalah sejumlah menara benteng raksasa berbentuk persegi panjang yang berada di tembok utara.<ref name="Yeomans109-110">{{harvnb|Yeomans|2006|pp=109–110}}</ref> Perbentengan yang dibangun oleh al-Kamil memiliki ciri khas berupa batu-batuannya yang tampak menonjol, sementara menara-menara buatan Salahuddin memiliki bebatuan yang terlihat halus. Gaya bebatuan yang menonjol merupakan ciri khas benteng-benteng Ayyubiyah lainnya, seperti yang dapat ditemui pada [[Benteng Damaskus]] dan [[Busra]] di Syam.<ref name="Yeomans111"/>
|