Moko (drum): Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika |
Helena Ang (bicara | kontrib) Penambahan konten sejarah |
||
Baris 4:
Bentuk fisik moko yang seperti drum memiliki tinggi 80-120 centimeter dengan bagian tengah agak mengecil dengan [[diameter]] lubang sisi atas dan bawah sekitar 40-70 centimeter. Selain jenis ini, terdapat moko yang berdiameter 50-100 centimeter dan tinggi 50-250 centimeter. Masyarakat Alor menyebutnya sebagai nekara dimana objek ini jarang dibawa-bawa dan jarang dipakai sebagai mas kawin.<ref name=":0" /> Secara umum, kepemilikan Moko akan meningkatkan [[status sosial]] yang dianggap menghargai warisan [[leluhur]] meskipun tidak pernah dibuat langsung oleh masyarakat [[Kabupaten Alor|Alor]]. Oleh karena itu, penggunaan moko telah lama menjadi lambang status sebagai [[Kekuasaan|otoritas]] elit setempat serta simbol kesuburan sehingga lumrah dipakai sebagai alat mas kawin.<ref name=":1" />
<br />
== '''Sejarah''' ==
Asal-usul moko telah didokumentasikan dengan baik dimana pertukaran ide budaya melalui kontak komersial perdagangan yang berkelanjutan telah mengakibatkan penyaluran beberapa [[simbolisme]] seperti gendang [[perunggu]] ke [[Indonesia]] timur. Adapun jalur perdagangan yang menyalurkan simbolisme hingga jarak jauh di waktu periode tertentu adalah rute perdagangan tradisional kuno yang terbentang sepanjang [[Timur Tengah]] dan [[India]], jalur tersebut telah melalui [[Asia Tenggara]] dan berlanjut sampai ke [[Republik Rakyat Tiongkok|Cina]].<ref name=":1" />
Terdapat dua sumber penting dalam sejarah yang tercatat mempengaruhi penyaluran di Indonesia timur yaitu kerajaan kembar [[Kota Makassar|Makasar]] [[:en:Kingdom_of_Tallo|Gowa]]-[[:en:Kingdom_of_Tallo|Tallo]] pada abad ke-13 hingga 16 Masehi. Khusus kerajaan [[:en:Kingdom_of_Tallo|Tallo]] yang dominan dengan sektor [[Laut|maritim]] diketahui memiliki situs [[arkeologi]] yang ternyata mencatat semua kontak lama yang telah terjadi sepanjang sejarah. Dengan letaknya di semenanjung barat daya pulau [[Sulawesi]], Gowa-Tallo diketahui memiliki hubungan dagang yang ekstensif dengan kepulauan barat, dimana penyaluran gagasan dari barat daya Sulawesi difasilitasi hingga lebih jauh ke bagian timur [[Nusantara]]. Selain itu, adanya perjodohan yang tercatat terjadi antara penguasa Tallo dengan [[Kota Surabaya|Surabaya]] pun turut mendukung kemajuan pesat dalam penyaluran simbolisme ini. Hal ini dikarenakan posisi kota [[Kota Surabaya|Surabaya]] merupakan pelabuhan utama kerajaan Majapahit (di ujung timur pulau Jawa) yang melayani perdagangan rempah internasional.<ref name=":1" /> Penguasa Tallo dikenal sering mengunjungi partner-partner dagang di kepulauan Ende Flores, Banda dan Nusa Tenggara. Permulaan inilah yang kemudian bergulir hingga situasi politik sosial wilayah timur terkait penggunaan simbolisme gendang perunggu berkembang. Fakta sejarah ini didukung dengan pengamatan bentuk fisik moko dimana pola hiasnya beragam tergantung zaman pembuatannya, bila diperhatikan seksama bentuknya mirip dengan benda-benda perunggu di [[Jawa|Pulau Jawa]] pada masa [[Majapahit|Kerajaan Majapahit]].<ref name=":2">{{Cite web|url=https://www.seputar-ntt.com/sejarah-moko-di-alor-ntt/|title=Sejarah Moko di Alor, NTT|last=|first=|date=10/11/2013|website=|access-date=}}</ref> Tradisi rakyat mencatat bahwa pedagang asing pada mulanya memperkenalkan moko yang rupanya dibawa dari perantara perdagangan Melayu-Cina yang bertautan langsung dengan situs produksi moko di masa fase [[:en:Dong_Son_culture|Dong Son]], [[Vietnam]] utara atau barat daya [[Republik Rakyat Tiongkok|Cina]].
Di masa kini, banyak suku tradisional di [[Pulau Alor]] percaya bahwa moko berasal dari tanah dan hanya dimiliki para bangsawan karena nilainya sangat tinggi. Namun pada masa terdahulu, moko telah difungsikan sebagai alat tukar ekonomi masyarakat pulau ini, bahkan sempat menyebabkan [[inflasi]] pada masa pemerintahan [[Hindia Belanda]] sehingga penguasa pun membuat sistem baru dengan membatasi peredaran moko di [[Pulau Alor]]. Di beberapa suku tradisional di Pulau Alor, moko juga digunakan sebagai gendang untuk mengiringi tarian adat selain sebagai mas kawin dan alat tukar pembayaran. Penggunaan ini pun disesuaikan dengan jenis dan keutuhan moko. Namun alat musik gong dan moko biasanya dimainkan untuk mengiringi tari-tarian tradisional seperti [https://www.indonesia-tourism.com/forum/showthread.php?48126-Lego-Lego-Dance-Original-Traditional-Dance-Alor-East-Nusa-Tenggara tarian lego-lego]. Dari aktivitas ini kemudian moko memiliki nilai sosial yang tinggi di kalangan masyarakat Alor hingga pada akhirnya daerah setempat dijuluki sebagai ‘Alor, Pulau Seribu Moko’. <ref name=":2" />
== Referensi ==
|