Saur Sepuh: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Kotak
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Agungsn (bicara | kontrib)
k Copy Paste from FB & Full Spoiler.
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Baris 1:
{{noref}}
{{for|sinetron adaptasi yang tayang pada tahun 2017|Saur Sepuh The Series}}
{{kegunaanlain|Saur Sepuh}}
Baris 9 ⟶ 8:
Perusahaan [[farmasi]] [[Kalbe Farma]] sebagai produsen obat-obatan ternama menjadi mitra utama dari serial ini. Dengan durasi 30 menit dipotong iklan produk obat-obatan, serial ini mampu menghipnotis para pendengarnya untuk berhenti beraktivitas, dan berkonsentrasi untuk mendengarkannya. Sandiwara radio ''Saur Sepuh'' memiliki banyak episode, dalam setiap episode ada 60 seri. Semua disiarkan setiap hari oleh berbagai stasiun radio.
 
== SinopsisTentang Kisah ini ==
 
'''Tokoh Brama Kumbara'''
 
Ia seorang pendekar yang menguasai berbagai ilmu kesaktian. Brama secara darah masih keturunan Raja Madangkara. Ayahnya bernama Darmasalira. Kakek Astagina, guru dan juga
kakek Brama ini dulunya pernah pula menjadi Raja Madangkara. Ibu Brama bernama Gayatri, yang sebenarnya adalah keturunan dari trah keluarga Kerajaan Madangkara. Ayah kandung Brama tewas dibunuh oleh perampok yang akan menyerang kampung mereka<nowiki> </nowiki>: Jamparing.
 
Setelah menjanda, Gayatri diperistri oleh Tumenggung Ardalepa, seorang bangsawan
dan pejabat dari Kuntala. Dari perkawinan ini, lahirlah Mantili, adik satu ibu lain ayah dari Brama.
 
Brama akhirnya menjadi Raja Madangkara karena dia jugalah yang memimpin pergerakan nasionalis Madangkara
melawan pasukan perang Kuntala. Dengan persekutuannya bersama beberapa
kerajaan kecil lain yang juga menjadi jajahan Kuntala, terbentuklah
pasukan perang Dewangga yang mampu menghancurkan Kuntala.
 
Brama kecil saat suasana perang dan melarikan diri
diselamatkan dan dididik langsung oleh Kakek Astagina, seorang pendekar
tua sakti yang sebenarnya merupakan kakeknya sendiri dan pernah menjadi
raja Madangkara. Dari kakek Astagina inilah Brama memperoleh banyak ilmu
kesaktian tingkat tinggi seperti Ajian Bayu Bajra, Tapak Saketi, Tikki
Ibeng, Malih Rupa dan ilmu pamungkas yang bernama Serat Jiwa (sebelum
akhirnya kelak setelah menjadi raja, Brama kembali menciptakan ilmu baru
yang kesaktiannya diatas serat jiwa, bernama Lampah Lumpuh)
 
Guru Brama
hanya seorang yaitu Kakek Astagina. Tidak ada guru lain di luar itu.
Apalagi punya guru seorang wanita bernama Sekar Tanjung!
 
Dari semua
ilmu kesaktian yang dimiliki oleh kakek Astagina, hanya satu ilmu yang
tidak mau diwarisi oleh Brama, yaitu aji kentut semar.
 
Brama
memiliki pedang biru yang merupakan warisan Kakek Astagina kepada
Panglima Bernawa. Pedang biru ini memiliki kembaran yaitu Pedang Merah.
Pedang Biru sendiri bukan pedang pusaka yang terlalu hebat seperti
digambarkan dalam sinetron Brama Kumbara 2013. Pedang biru hanyalah
pedang biasa yang diberikan kekuatan sakti oleh Kakek Astagina.
 
Manakala
pedang biru dan pedang merah disatukan, keduanya akan patah. Di dalam pedang biru terdapat gulungan kertas yang berisi silsilah Raja Raja Kerajaan Madangkara dan di dalam pedang merah terdapat surat dari Kakek Astagina (Raja ketiga Kerajaan Madangkara). Dari
gulungan inilah kelak Brama mengetahui identitas dirinya sebagai salah
satu keturunan raja Madangkara yang sah.
 
Brama
memimpin pasukan revolusi bersama dengan Gotawa dan orang-orang yang
satu tujuan dengan mereka. Perjuangan kemerdekaan Madangkara ini
didukung penuh oleh Tumenggung Ardalepa dan Gayatri, ayah angkat dan ibu
kandung Brama.Ardalepa adalah seorang pejabat Guntala yang
sebenarnya membenci penjajahan dan penzaliman terhadap rakyat kecil.
Oleh sebab itulah, Ardalepa justru dekat dengan rakyat Madangkara.
 
Seperti juga
Ardalepa, sosok Brama sangat dekat dengan rakyat Madangkara, semua
orang mengasihinya. Hubungan baiknya secara pribadi sebagai seorang
pendekar dengan para tokoh rimba persilatan membuat Brama laksana sosok
yang ditakuti oleh kawan maupun lawan. Begitupula hubungan diplomatik
kerajaan yang ia bangun terhadap kerajaan tetangga sangat baik.
Madangkara tidak pernah terlibat konflik dengan kerajaan manapun
disekitarnya seperti Pajajaran, Tanjung Singguruh, Niskala, Sumedang
Larang, Ajong Kidul, Selimbar, Majapahit dan sebagainya. Bahkan senopati
Ranggaweni dari kerajaan Pajajaran merupakan salah satu sahabat
dekatnya.
 
Sosok Brama
Kumbara sebagai seorang pejuang kemerdekaan Madangkara dibagian awal
cerita sandiwara radio ini akhirnya harus berhadapan dengan kesaktian
milik Tumenggung Gardika dari Kuntala. Brama kalah dalam pertarungan
itu. Gardika ternyata menguasai ajian Serat Jiwa. Sebuah ajian kegidjayaan tertinggi saat itu. Sementara Brama sendiri sama sekali belum menguasainya. Dengan kondisi yang terluka parah,
Brama diselamatkan oleh Rajawali raksasa sahabatnya dan ia digodok dalam
Kolam Lumpur Bergolak yang terdapat di Goa Pantai Selatan. Kemudian, Di dalam Goa Pantai Selatan tersebut, Brama tidak sengaja menemukan kitab Ajian Serat Jiwa di dalam sebuah peti batu tempat yang biasa digunakan oleh Kakek Astagina bersemedi. Ajian Serat Jiwa sendiri ternyata merupakan sebuah ajian yang diciptakan oleh Kakek Astagina bersama dua orang saudara seperguruannya. Akhirnya Brama berhasil menguasai Ajian Serat Jiwa sampai tingkat 10 yang merupakan tingkat tertinggi Ajian Serat Jiwa.
 
Gardika yang
juga menguasai Ajian Serat Jiwa sampai tingkat 10 akhirnya kembali
bertempur melawan Brama, tetapi dalam duel maut berikutnya itu
Gardikalah yang tewas…. tubuhnya hancur menjadi tepung. Meski Ajian
Serat Jiwa yang mereka gunakan ada dalam tingkatan yang sama, Brama
lebih unggul berkat keputihan niatnya dalam menggunakan ilmu tersebut.
Memang
saat itu Kitab Ajian Serat Jiwa tersebar luas dan banyak pendekar mampu
menguasainya, namun kebanyakan tidak bisa menguasai sampai tingkat
tertinggi. .
 
Misalnya
diceritakan juga tentang sosok Miranti Si Kelabang Hitam yang menjadi
musuh Mantili, menguasai ilmu serat jiwa hanya sampai tingkat 2, Jasiun
salah seorang yang ikut memperebutkan Pedang Setan setelah dicuri Dewa
Maut dan direbut oleh Ki Naga hanya sampai tingkat 4, Mantili sendiri
hanya sampai tingkat 6, Harnum dan Pramitha (kedua istri Brama Kumbara)
maupun Patih Kandara (yang kelak menjabat menggantikan Patih Gotawa
dijaman pemerintahan Prabu Wanapati) hanya sampai tingkat 8, Soma
Wikarta (salah satu murid utama Mantili dari padepokan gunung wangsit)
hanya sampai tingkat 9.
 
Hanya Brama,
Jaka Lumayung (kakak seperguruan Brama), Gardika, dan tentu saja Kakek
Astagina serta dua saudara seperguruannya sendiri yang menguasai sampai tingkat 10. Nenek Lawu, guru
Lasmini yang sempat menjadi musuh Brama dan Mantili, hanya menguasai
intisari Ajian Serat Jiwa saja namun ia tidak menguasai ilmu serat jiwa
itu sendiri.
 
Ketika
ia sudah menjadi raja Madangkara, kelak makam kakek Astagina yang ada
digoa pantai selatan, dipugar oleh Brama hingga menjadi pesanggrahan.
Dalam proses pembuatan pesanggrahan ini yang diketuai oleh Tumenggung
Ajisanta, sempat diganggu oleh gerombolan setan merah yang merupakan
orang-orang sewaan Kuntala yang dendam dengan Madangkara. Pada peristiwa itu,
Brama sampai pada puncak murkanya sehingga berubah menjadi raksasa Buto
Agni.
 
Amarah Brama
yang meledak-ledak atas hancurnya goa pantai selatan ini akhirnya bisa
dipadamkan oleh Mantili, adik kandung Brama lain ibu, setelah ia
menangis dikaki Buto Agni.
 
Setelah
peristiwa ini, pengerjaan pesanggrahan kramat di goa Pantai Selatan itu
diteruskan dibawah pengawasan langsung Patih Gotawa dan Panglima
Ringkin, panglima perang Madangkara. Sementara Brama Kumbara sendiri
bersama Mantili mengejar pelaku perusakan.
 
Kisah
perselisihan Brama bersama tokoh-tokoh Madangkara dengan orang-orang
Kuntala yang dendam atas kekalahan kerajaannya itu terus berlanjut
sampai kemudian mengantarkan pertemuan Brama pada Kijara dan Lugina.
Keduanya murid-murid utama Panembahan Pasupati dari gunung saba.
 
Panembahan
Pasupati adalah keturunan adipati Natasuma yang menguasai ilmu Waringin
Sungsang. Sebuah ilmu kedigjayaan yang mampu mengalahkan ajian Serat
Jiwa tingkat 10. Dari pertemuan ini Brama untuk kedua kalinya setelah ia
melawan Gardika diawal kemerdekaan Madangkara, kembali menemui
kekalahan.
 
Tapi tidak
butuh waktu lama bagi Brama untuk mendapatkan teknik mengalahkan aji
Waringin Sungsang. Ia bahkan berhasil menemukan titik lemah ilmu itu. Dengan melihat pertarungan antara ular saba dan burung srigunting, dimana ular saba yang menggunakan teknik aji Waringin Sungsang berhasil dikalahkan oleh burung srigunting. Akhirnya Brama menemukan sebuah teknik. Teknik itu dinamainya ilmu Srigunting. Ilmu ini nantinya
diajarkan Brama pula kepada Mantili untuk menghadapi Lugina dan
Lasmini.
 
Namun Brama
tidak puas bila hanya bisa menemukan titik lemah aji waringin sungsang
saja tanpa membuat orang yang menggunakannya dijalan yang salah bisa
bertobat. Akhirnya, Brama menemukan ilmu baru bernama Lampah Lumpuh.
Melalui ilmu inilah nantinya Brama berhasil mengalahkan orang-orang dari
Gunung Saba seperti Kijara dan Lugina.
 
Setelah
kekalahan telaknya dari Brama, Kijara dan Lugina akhirnya berbalik
menjadi orang-orang yang paling melindungi Brama dari semua ancaman.
Terakhir keduanya diceritakan tewas terbunuh oleh Biksu Kampala yang
datang dari Tibet untuk menjajal ilmu Brama.
 
Setelah mewariskan singgasananya pada Wanapati, Brama kemudian mengundurkan diri ke goa pantai selatan sampai wafatnya.
 
'''Tentang Rajawali Sakti'''
 
Burung
Rajawali raksasa ini dikenal sewaktu Brama masih kecil, ketika
digembleng oleh Kakek Astagina di Gua Pantai Selatan. Ketika Brama
bersama Kakek Astagina sedang berbincang di tepi pantai, mereka
dikejutkan oleh kedatangan seekor rajawali raksasa yang terbang melintas
di depan mereka. Sejak pertama jumpa itu, Brama sudah ‘jatuh cinta’
dan ingin terbang naik rajawali. Tentu saja itu tak ditanggapi serius
oleh Kakek Astagina, “Ya, moga-moga saja rajawali itu mau membawamu
terbang….” katanya; tetapi sekaligus Kakek pun memperingatkan agar jangan
membuat masalah dengan binatang besar dan kuat itu karena bisa
berbahaya.
 
Beberapa
kali mereka melihat rajawali itu melintas. Suatu ketika karena saking
penasarannya, Brama yang sudah bertambah besar itu bersuit memanggil
rajawali itu. Rajawali cilingukan, lalu datang menyerang. Terjadi
pertarungan sengit dan kemudian Brama ‘menclok’ di punggung rajawali
itu dibawa terbang tetapi tetap kokoh bertahan. Akhirnya Rajawali itu
‘menyerah’… ia tak lagi menyerang, lalu pergi setelah terbang berputar
tenang seolah memberi penghormatan. Sejak itu pun mereka bersahabat…
Brama dapat memanggil rajawali dengan suitannya dan Rajawali itu pun
menjadi tunggangannya.
 
Disini kisah
pertemuan Brama dan burung rajawalinya itu memiliki kemiripan dengan
versi sinetron versi 2013, hanya saja disana sosok Kakek Astagina
diubah menjadi Sekar Tanjung.
 
ilustrasi pribadi atas sosok Brama yang sedang menunggang burung rajawali
 
Di kemudian
hari, dalam tapa semedinya, Brama mengenali Rajawali Saktinya itu
sebagai titisan Dewa Brahma. Brama pernah memberikan sebuah kendi wasiat
pada Bongkeng, salah satu abdi terbaik Mantili. Dimana ketika kendi itu
dilempar, akan bermunculan rajawali-rajawali kecil yang bisa
menyelamatkan Bongkeng dari bahaya.
 
Tokoh
<nowiki> JAKA LUMAYUNG </nowiki>: Ini adalah kakak seperguruan Brama. Jaka Lumayung merupakan putra dari Ki Arya Gandar Sametan yang merupakan saudara seperguruan Kakek Astagina, guru Brama. Jaka Lumayung ini kemudian hari, mendirikan dan memimpin
Padepokan Serat Jiwa di kerajaan Pajajaran. Ia pernah datang bersama
Brama ke Gunung Saba untuk menjajal Ajian Waringin Sungsang pada
Panembahan Pasupati, guru dari Kijara dan Lugina, dan hasilnya, Jaka
Lumayung kalah. Brama kemudian menemukan Ilmu Lampah-Lumpuh di
perguruan milik Jaka Lumayung ini, Jaka Lumayung juga yang dengan setia
merawat Brama dalam proses penciptaan ilmu barunya itu di Pajajaran.
Dibawah pengawasan Jaka Lumayung, Brama bersemedi seraya berpuasa selama
40 hari lamanya.
 
KELABANG
HITAM: Nama aslinya adalah Miranti. Dia adalah musuh besar Mantili waktu
muda. Miranti pernah mengobrak-abrik Padepokan Gunung Wangsit milik
Mantili dan mencuri Kitab Ajian Serat Jiwa di perguruan itu dengan
bersekongkol dengan murid Mantili yang bernama Soma Wikarta. Mantili
pernah dihajar kalah oleh Kelabang Hitam dengan Ajian Serat Jiwa tingkat
2. Dalam pertarungan itu, Mantili nyaris tewas. Ia diselamatkan oleh
Jaka Lumayung, kakak seperguruan Brama Kumbara. Dibawah asuhan Jaka
Lumayung, Mantili lalu memperdalam Ajian
Serat Jiwanya sampai tingkat 3, dan dengan ilmu itu akhirnya ia dapat
membinasakan Si Kelabang Hitam. Sampai akhir hidupnya, Mantili menguasai
Ajian Serat Jiwa hanya sampai tingkat 6 saja, terakhir ia menggunakan
ilmu ini ketika berhadapan dengan Mariba, seorang pendekar dari Gunung
Saba yang hendak memperkosa dan mengambil pedang setan miliknya. Mantili
juga pernah dikalahkan oleh Kijara dan Lugina yang memiliki ilmu
Waringin Sungsang.
 
KANDARA:
Ia orang Guntala yang berhasil menyusup ke Madangkara dan menjadi
pejabat di sana, bahkan sampai menjadi Patih di Madangkara pada generasi
kedua (yaitu setelah Brama mangkat dan digantikan oleh putra kandungnya
dari Harnum yang bernama Wanapati).
 
Kandara
mengadu domba Prabu Wanapati dengan Pangeran Paksi Jaladara, putra
Mantili dan Gotawa. Sempat terjadi perang saudara di antara keduanya.
Untung bisa didamaikan oleh Raden Bentar dan Garnis, dua anak angkat
Brama dari istri keduanya, Pramitha. Patih Kandara ini menguasai Ajian
Serat Jiwa Sampai tingkat ke 8. Kandara akhirnya tewas melawan Soma
Wikarta, mantan murid Mantili yang pernah berkhianat dimasa Klabang
Hitam, yang menguasai Ajian Serat Jiwa sampai tingkat 9.
 
'''Kisah perjalanan cinta Brama Kumbara:'''
 
Utari, ia adalah cinta pertama Brama. Ia seorang gadis pendekar yang bertemu
dengan Brama sewaktu bersama-sama memberantas kelelawar siluman di Desa
Halimun. Mereka akhirnya bersama-sama dalam pergerakan ‘nasionalis’
Madangkara. Sayang, kemudian dia tewas dalam salah satu pertempuran…
Utari ini adalah puteri dari Panglima Bernawa, salah satu panglima
perang kerajaan Madangkara sebelum dijajah oleh Guntala.
 
Lama
kemudian, Brama bertemu dengan Dewi Harnum, gadis bangsawan dari kerajaan Niskala, yang juga seorang pendekar dan
petualang. Dewi Harnum, sosok pendekar wanita yang cantik jelita, muda belia, centil, ceplas ceplos dalam bertutur kata, namun baik hati dan berbudi luhur. Dewi Harnum sangat mencintai Brama dan ikut menyertai Brama dalam pengembaraannya mengejar Gardika dan Kendala. Namun pada saat itu, Brama hanya menggagap Dewi Harnum sebagai adik.
 
Disaat
bersamaan, Brama juga bertemu dengan seorang janda bangsawan dari
Sadeng bernama Pramitha yang mempunya anak laki-laki kecil bernama
Bentar. Ia pernah diselamatkan oleh Brama ketika sedang dikejar oleh tentara Majapahit yang ingin menjadikannya istri. Sebagai ungkapan terima kasih pada Brama yang telah menyelamatkannya, Pramitha
selanjutnya ingin mengabdi pada Brama dan ikut dengan Brama dalam pengembaraannya bersama Harnum
sebagai pendekar.
 
Selain
Bentar, Pramitha juga punya anak perempuan yang usianya lebih tua dari
Bentar. Ia bernama Garnis. Tapi dalam peristiwa penyerbuan Majapahit
yang dipimpin oleh Adityawarman ke kerajaan Sadeng itu, Garnis
terpisah dari ibunya. Kelak, setelah Brama diceritakan undur diri dari
jabatannya selaku raja dan mangkat, Garnis akan datang kemadangkara
bersama tunangannya yang bernama Arya Widura guna menjumpai Pramitha dan
Bentar.
 
Kisah
berlanjut dengan jatuh hatinya Pramitha pada Brama sebagaimana juga
Harnum mencintai Brama. Kelembutan, keanggunan, kedewasaan, kematangan dan sifat keibuan Dewi Pramitha membuat Brama jatuh hati padanya juga. Karena persahabatan yang erat antara Pramitha - Harnum dan mengetahui
bahwa sahabatnya juga mencintai orang yang dicintainya, maka ketika
Pramitha dilamar oleh Brama, Pramitha lah yang mensyaratkan agar Brama juga
menikahi Harnum. Karena Pramitha tahu bahwa Brama sebenarnya juga mencintai Dewi Harnum. Jadilah Brama beristeri dua, dan keduanya diangkat
menjadi Permaisuri sampai Brama diceritakan wafat. Ia tidak pernah punya
selir.
 
Selain
Utari, Harnum, dan Pramitha, ada wanita lain sebenarnya yang pernah
mengisi hati Brama. Namanya adalah Doria, gadis cantik berjiwa
petualang. Dari Doria inilah Brama menerima Sepasang Gelang Marmer
Putih yang selalu melekat ditangan Brama dan menjadi salah satu senjata
pusaka Madangkara.
 
'''Kisah cinta Mantili-Gotawa-Samba-Widati'''
 
Mantili pada
mulanya menjadi kekasih Raden Samba, seorang bangsawan dari Kerajaan
Sanggam. Mereka berdua bersama hendak merintis pengembangan Padepokan
Gunung Wangsit yang didirikan oleh Mantili. Mereka memang saling
mencintai, tetapi juga sering bertengkar karena dua-duanya sama-sama muda
dan keras.
 
Raden Samba
memiliki ilmu yang aneh yang bernama Rongrong, ia bisa menembus tanah.
Pada suatu ketika, Raden Samba dan Mantili berkenalan dengan seorang
janda muda dan kaya bernama Widati, yang dulu merupakan isteri Juragan
Anom. Sebuah perjumpaan biasa, bermula dari menolong roda pedati yang
terperosok, sampai kemudian mengadakan perjalanan bersama. Sebagai
catatan, Widati digambarkan sebagai seorang perempuan yang muda dan cantik, semacam janda kembang.
 
Ketika
Mantili dan Samba bersama dua punakawannya Merid dan Bongkeng yang di
ikuti oleh Widati mengejar Miranti si Kelabang Hitam kesebuah pulau
terpencil, perahu yang mereka tumpangi telah di lubangi oleh penjualnya
yang ternyata ulah dari anak buah miranti.Di tengah gelombang tinggi
dan angin kencang, perahu Mantili terbalik dan para penumpangnya
berenang menyelamatkan diri. Mantili terdampar di pantai sendirian,
sedangkan di lain tempat, merid harus menarik bongkeng yang pingsan ke
tempat kering. Sementara itu, Raden samba dan Widati terseret ombak
hingga terdampar di sebuah gua di pinggir pantai.
 
Entah siapa
mulai menggoda atau memang saling menggoda dan juga saling tergoda,
dalam keadaan terdampar itu, terjadilah ‘perselingkuhan’ antara Raden
Samba dan Widati. Ketika mengetahui hal itu, tentu saja Mantili murka…
untunglah Brama berhasil meredam suasana sehingga tidak terjadi
pertumpahan darah. Akhirnya, Raden Samba pun menikah dengan Widati.
Mereka kemudian tinggal di Kadipaten Gunalaga. Setelah berjalan sekian
lama, hubungan antara Raden Samba dan Mantili serta Brama sendiri tetap
bersahabat baik.
 
Ketika
Mantili dalam situasi ‘galau’ itu, orang yang sering hadir menemani
adalah Gotawa, seorang pejuang nasionalis Madangkara yang sebenarnya
juga sudah lama bersama Brama dalam perjuangan menegakkan kembali
Madangkara. Kebersamaan itu pun lama-lama menumbuhkan cinta, bukan cinta
yang romantis memang… tetapi perjumpaan pribadi yang cocok: Gotawa sangat
mengagumi Mantili yang cantik dan perkasa itu, tetapi juga sangat
menghormatinya, dan sebagai orang yang memang lebih tua ia mau mengalah
dan bisa ‘ngemong’ watak Mantili yang keras dan meledak-ledak.
 
Mantili
merasa menemukan sosok orang yang tenang dan dewasa, mampu mengimbangi
sifat-sifatnya, dan sungguh memenuhi kriteria sebagai pria yang baik
seperti sosok kakaknya, Brama Kumbara.
 
Brama yang
memergoki kekariban mereka dan tahu betul bahwa hanya orang seperti
Gotawa yang dapat mengimbangi sifat-sifat Mantili adiknya, tentu saja
mendukung dan mendorong pula perjodohan mereka. Akhirnya mereka pun
menikah, dari perkawinannya lahirlah Pangeran Paksi Jaladara atau Raden
Paksi Jaladara.
 
Kisah
persahabatan antara Mantili sebagai istri dari patih Gotawa dengan Raden
Samba, mantan kekasih lamanya akan berlanjut ketika Raden Samba atas
izin dari istrinya, Widati, membantu Mantili menemukan kembali Pedang
Setannya yang hilang dicuri setelah penyerbuan Wirya Kumandra yang
mengakibatkan Gotawa terluka dan Dewa Maut yang berhasil mencuri pedang
itu.
 
Di antara
keduanya tidak pernah terlibat perselingkuhan apapun, hubungan mereka
setelah keduanya berkeluarga adalah murni persahabatan. Raden Samba juga
dalam proses pencarian pedang setan ini pernah menyelamatkan Mantili
yang hampir tewas dihajar oleh Lugina dengan ajian Waringin Sungsang.
 
Adapun sosok
Patih Gotawa, dia sebenarnya jika dilihat dari sejarah awal Saur
Sepuh, berusia lebih tua dari Brama. Ia mantan senopati Madangkara
sebelum diserang oleh Guntala. Gotawa merupakan adik seperguruan dari
panglima Bernawa. Ketika Madangkara jatuh ditangan Guntala, Gotawa
menyamar menjadi seorang pengusaha sambil terus menghimpun kekuatan
di antara pemuda-pemuda Madangkara guna mengobarkan pembrontakan terhadap
Guntala.
 
Brama
sendiri memanggil Gotawa awalnya dengan sebutan paman. Usia Gotawa
setidaknya sebaya dengan Tumenggung Ardalepa, ayah kandung Mantili.
Gotawa menguasai ilmu Tatar Bayu yang membuatnya bisa berlari sangat
cepat seiring angin.
 
Gotawa
adalah sosok orang yang sangat setia, dan kesetiaannya itu akan terbukti
dengan pengabdiannya yang tulus sebagai patih pada Brama Kumbara.
 
'''Tentang Pedang Setan dan Pedang Perak'''
 
Tentang
latar belakang Pedang Setan, ia asal mulanya milik komplotan Pedang
Setan yang selalu menebar teror. Kesaktian Pedang Setan yaitu pedang ini
bisa mengeluarkan asap berbau busuk seperti bangkai yang memabokkan
lawan. Selain itu, Pedang Setan sangat kuat, sehingga jarang-jarang ada
pedang yang tahan beradu melawan Pedang Setan ini.
 
Brama yang
berhasil menumpas komplotan penjahat ini, kemudian membawa Pedang Setan
dan memberikannya kepada Mantili, adiknya yang memang sangat berbakat
memainkan pedang. Mantili memang kurang berbakat dalam hal penguasaan
ilmu kadigdayaan, tetapi sangat berbakat dalam ilmu tangan kosong dan
sangat mahir dalam memainkan pedang.
 
Maka, ketika
Mantili mendapatkan pedang pusaka yang dahsyat dan langka ini, bisa
dikatakan ia menjadi singa bersayap saja. Mantili menjadi terkenal
sebagai pendekar pedang sejati, pendekar pedang nomor satu. Ada suatu
rahasia yang diketahui Brama dan disampaikan pada adiknya, sehingga
hanya Mantili sendiri yang bisa memainkan pedang pusaka dengan sempurna,
tanpa mabok dan sama sekali tidak terganggu oleh aroma busuk asap
beracun si Pedang Setan.
 
Kemasyuran
nama ini mendatangkan rasa penasaran pada seorang pendekar pedang kelas
wahid, bernama Taji Barnas yang dikenal dengan sebutan Si Pedang Perak.
Ia seorang pendekar pedang yang sangat sakti pula, mempunyai pedang
pusaka bernama Pedang Perak, yang mengeluarkan cahaya yang sangat
menyilaukan mata. Si Pedang Perak menantang Si Pedang Setan, untuk
membuktikan siapa yang layak mendapat sebutan pendekar pedang sejati
atau pendekar pedang nomor satu.
 
Awalnya
tantangan itu tidak ditanggapi, karena sebenarnya mereka sama-sama tokoh
golongan putih dan memang tidak saling memiliki persoalan, tetapi
lama-lama akhirnya dilayani juga. Mantili berlatih pedang dibawah
pengawasan patih Gotawa dengan cara menatap matahari, sebab pedang
perak milik taji barnas terkenal dengan cahaya yang bisa membutakan
mata. Singkat cerita, setelah keduanya mempersiapkan diri dengan latihan
bagaimana menghadapi senjata dan kesaktian lawan, akhirnya duel pun
dilaksanakan. Pertempuran di bawah sinar purnama itu begitu dahsyat dan
berimbang. Namun akhirnya Mantili yang unggul. Taji Barnas Si Pedang
Perak tewas dalam pertarungan adu ilmu pedang tingkat tinggi itu.
 
Taji Barnas
mewariskan pedang pusakanya kepada Mantili. Tapi sekian waktu senjata
itu hanya tersimpan saja tanpa terpakai. Sampailah pada suatu peristiwa,
Pedang Setan Hilang, dicuri oleh Dewa Maut. Dari tangan Si Dewa Maut,
pedang direbut oleh Ki Naga, direbut lagi oleh Jasiun, dan kemudian
jatuh ke tangan Mariba. Mariba, yang masih saudara seperguruan Kijara
dan Lugina inilah yang berlatih keras untuk bisa menggunakan Pedang
Setan dan kemudian berhasil pula memainkannya.
 
Dari
peristiwa itu, akhirnya Mantili mencoba untuk menguasai Pedang Perak
secara sempurna. Hebatnya, pedang perak ini tidak akan rusak atau patah
ketika diadu dengan Pedang Setan milik Mantili. Dalam sebuah pertempuran
dikademangan Cempaka, akhirnya Mantili berhasil merebut kembali pedang
setannya dan membunuh Mariba.
 
'''Raden Paksi Jaladara dan Prabu Wanapati'''
 
Kedua tokoh
ini muncul setelah Brama mundur dari cerita Saur Sepuh. Kehadiran Paksi
Jaladara dan Wanapati merupakan epik kedua dari sandiwara radio tersebut
yang menceritakan perjalanan generasi kedua tokoh-tokoh sakti
Madangkara.
 
Sayangnya
diawal berkuasanya Wanapati menggantikan Brama, ia sudah terlibat
konflik dengan Paksi Jaladara. Konflik ini pada dasarnya bukan bersumber
dari kedua tokoh ini secara langsung akan tetapi berkat konspirasi dari
Patih Kandara yang mendampingi Wanapati di Madangkara.
 
Raden Paksi
mewarisi watak dan keahlian bermain pedang dari ibunya, Mantili. Punya
cita-cita menjadi panglima perang angkatan bersenjata kerajaan
madangkara. Demi mewujudkan cita-citanya ini dia sering melatih olah
kanuragan dan latihan perang dengan para pemuda Madangkara di kadipaten
jamparing. Kegiatannya ini kemudian dijadikan gosip oleh patih kandara
yg mengadu pada prabu wanapati bahwa raden paksi sedang menyusun
kekuatan untuk memberontak.
 
Prabu
wanapati mewarisi watak Harnum sang ibunda yang kalem dan polos. Dia
lebih menyukai ilmu tata pemerintahan daripada olah kanuragan. Namun
karena usianya msh sangat muda, ia menjadi makanan empuk bagi hasutan
patih kandara yang licik.
 
Raden
Bentar, ia putra tiri dari Brama. Anak kandung Pramitha dan Adipati
Sadeng. Meski begitu, Bentar lebih banyak mewarisi sifat-sifat brama.
Arif bijaksana dan sakti mandraguna. Dia jadi penengah dan pendamai
dalam kemelut perang saudara Madangkara pada episode Sengketa Tanah
Leluhur.
 
Atas
konspirasi dari Patih Kandara, Raden Bentar dipindahkan oleh prabu
Wanapati dari Kadipaten Jamparing menuju kekadipaten Singkur. Raden
Bentar sendiri pernah terluka parah diserang oleh Patih Kandara dengan
ajian Serat Jiwanya dalam usahanya mendamaikan prabu Wanapati putera
Brama dengan Paksi Jaladara putra Mantili. Kemudian dibantu oleh ibunya,
Pramitha, Bentar mempelajari ajian Lampah Lumpuh digoa pantai selatan
ditemani juga oleh rajawali raksasa milik Brama.
 
Selanjutnya
dalam cerita Saur Sepuh sesudahnya, Raden Bentar diceritakan berguru
dengan Biksu Kampala dari Tibet hingga menguasai ilmu Angin Es, Ikatan
Roh dan Salju Menyiram Bumi.
 
Patih
Kandara sendiri pada episode perang saudara itu akhirnya dikalahkan oleh
paman Soma Wikarta, bekas murid Mantili yang dulu pernah berkhianat dan
bersekutu dengan Miranti si Klabang Hitam dalam mencuri kitab Ajian
Serat Jiwa dipadepokan Gunung Wangsit milik Mantili. Patih Kandara yang
menguasai ajian Serat Jiwa tingkat 8 kalah dan tewas oleh Soma yang
menguasai ajian Serat Jiwa tingkat 9. Diepisode ini diceritakan pula
tentang pertobatan dari Soma atas sikap-sikapnya yang keliru dimasa lalu
pada Mantili. Pertobatannya itu diterima oleh Pramitha dan Bentar yang
kemudian menjadi jembatan bagi Soma untuk menjalin hubungan baik kembali
kepada tokoh-tokoh Madangkara lainnya.
 
Tokoh
Garnis, seperti ditulis pada bagian atas, adalah putri pertama dari
Pramitha dan Adipati Sadeng. Ia seorang pendekar pedang sebagaimana
Mantili. Ia pernah mengembara ke Majapahit untuk menuntut balas pada
patih Gajah Mada atas kematian ayahnya dalam penyerangan Majapahit ke
Sadeng. Tapi niatnya itu dibatalkan setelah kemudian ia bertemu dengan
Pramitha dan Bentar di Madangkara.
 
Tokoh Garnis
pertama kali keluar dalam episode Sengketa Tanah Leluhur. Ia menjadi
salah satu tokoh sentral yang ikut mewarnai kisah Saur Sepuh pada
generasi keduanya.
 
Adapun
mengenai Lasmini, ia adalah tokoh kontroversial dari Pamotan. Ia pernah
menjadi kekasih dari Tumenggung Bayan yang merupakan abdi Bhre
Wirabhumi ketika memberontak pada prabu Wikrama Wardhana di Majapahit.
Tumenggung Bayan tewas ditangan Brama yang menyaru menjadi Satria
Madangkara karena Tumenggung Bayan telah membunuh Tumenggung Adiguna
utusan Brama kepada Pamotan.
 
Lasmini
kemudian bersama Jamali sahabat akrabnya, mencari Brama untuk menuntut
balas. Namun ketika bertemu, ia malah jatuh hati pada Brama. Karena
cintanya ditolak oleh Brama, Lasmini akhirnya melampiaskan kekesalannya
dengan Mantili, Gotawa dan Harnum. Ketiganya berhasil dirobohkannya
dengan Aji Sirep Megananda.
 
Syahdan
setelah ia ditundukkan oleh Brama dalam sebuah adu kesaktian yang
mengembalikan Mantili, Gotawa dan Harnum, kelak Lasmini kembali membuat
keributan di Madangkara. Disini ia berhasil ditundukkan oleh Mantili
dan diusir keluar dari Madangkara. Jamali sendiri kemudian mengabdi di
Madangkara sebagai seorang tumenggung. Ia pernah menemani Brama melawat
kesalah satu desa yang terkena endemi penyakit berbahaya. Jamalipun
pernah menjadi saksi hidup kekalahan Panglima Ringkin dan Senopati Indra
Kumala yang menguasai ajian serat jiwa dan tapak saketi dari Kijara dan
Lugina yang menguasai ilmu Waringin Sungsang.
 
Jauh
berselang waktu kemudian, diceritakan pula bahwa Lasmini menemukan sosok
Brama pada diri raden Bentar. Ia kemudian mendekati Bentar yang usianya
sebenarnya jauh dibawah Lasmini. Dengan berbagai pendekatannya, Lasmini
berhasil memikat Bentar. Keduanya sempat terlibat skandal asmara. Hanya
sayangnya, kisah cinta ini justru mendapat pertentangan langsung
dari Mantili. Di matanya Lasmini benar-benar seorang wanita penggoda. Ia
tak rela Bentar dipermainkan cintanya. Mantili, di mata Lasmini adalah
perempuan yang sok kuasa dan terlalu jauh berprasangka tentang cintanya
kepada Bentar, lelaki muda yang sungguh kini merenggut hatinya. Bagi
Lasmini, Mantili adalah penghalang; di mata Mantili, Lasmini adalah
perempuan jalang yang harus disingkirkan. Perseteruan dua wanita
pendekar pun semakin dalam dan membakar dada.
 
Singkat cerita, Lasmini
yang cintanya terlunta-lunta akhirnya jatuh di pelukan hartawan tua,
Juragan Basra. Disangkanya kebahagiaan akan dapat diraihnya dengan
bermodalkan harta. Tapi harapannya sia-sia. Hidup bersama tanpa cinta
ternyata tak memberi kebahagiaan yang dicarinya. Mereka berselisih dan
bertengkar. Pertengkaran memuncak ketika Lasmini hendak pergi, ikut
boyong rakyat Pajajaran ke Galuh. Bagi Juragan Basra, ini bukan
kepergian biasa… Lasmini pasti hanya cari alasan untuk meninggalkannya.
 
Marah, tak
rela ditinggal tetapi juga tak bisa menahan kepergian, Juragan Basra pun
gelap mata. Ia menyuruh anak buahnya membinasakan Lasmini… lebih baik
ditinggal mati sekalian daripada ditinggalkan pergi ke entah tujuan.
Anak buah Juragan Basra tak mampu menandingi ilmu silat Lasmini. Tapi
mereka bukan orang bodoh dan pula bukan pendekar yang mengandalkan ilmu
kesaktian saja. Dengan licik mereka menyerang menggunakan serbuk
beracun. Lasmini roboh… dan lelaki-lelaki berandal itu pun akhirnya
secara beramai-ramai memperkosanya, sebelum kemudian membunuhnya dengan
jalan melempar kejurang.
 
Dalam
hitungan detik tubuhnya menyentuh dasar jurang, datanglah seorang nenek
tua yang menolong Lasmini yang tak berdaya. Nenek Lawu, pendekar sakti
mandraguna menolongnya, bahkan kemudian menggemblengnya dengan ilmu-ilmu
yang luar biasa. Jurus yang langka dan digjaya, melempar kembang
anggrek jingga sebagai senjata rahasia. Berbekal ilmu sakti, Lasmini
mengamuk menuntut balas pada lelaki-lelaki yang menginjak-injak harga
dirinya.
 
Setelah
kematian gurunya, Lasmini turun gunung… kemunculannya untuk menuntut
balas menggegerkan Pajajaran. Para pendekar yang penasaran pun banyak
yang berjatuhan. Madangkara pun tersulut rasa penasaran. Dikirimlah dua
jawara Madangkara, Atang Subali dan Gatra Denawa, sepasang pendekar
cambuk yang perkasa. Jurus Anggrek Seratus tersapu habis oleh dua jawara
Madangkara yang memang perkasa. Tapi Lasmini kini adalah pendekar pilih
tanding. Anggrek Seribu, jurus andalan ilmu Anggrek Jingga
dikeluarkannya. Dua jawara pun roboh tak berdaya, cambuk mereka terlepas
ketika Lasmini denga jeli dan cepat membidik pergelangan tangan mereka.
Kehebohan demi kehebohan terus berkembang seiring munculnya pendekar
perempuan yang bersenjatakan anggrek jingga, Si Kembang Gunung Lawu.
Lasmini pun semakin dikejar dan diburu.
 
Kembali
terulang nasib Lasmini: menjadi yang terpinggirkan, terusir dan kalah
oleh kenyataan. Ia yang semula turun gunung sebagai pendekar sakti
mandraguna, yang siap menuntut balas terhadap para penghinanya, kini
terpaksa menyingkir karena begitu banyak pendekar yang memusuhinya.
 
Di Gunung
Lawu, rumah gurunya, saat kepedihan begitu dalam menyiksanya, tak
sengaja ia menemukan sebuah Kitab Pusaka, suatu ilmu yang belum
diwariskan oleh gurunya, Ilmu Sinar Dewata atau yang kemudian lebih
dikenal dengan sebutan Ajian Cipta Dewa, ilmu yang bersumberkan pada
penggabungan intisari Ajian Serat Jiwa, intisari Ajian Waringin
Sungsang, dan intisari Ilmu Lampah-Lumpuh. Penuh harapan, Lasmini pun
mempelajari kitab ilmu sakti gurunya. Dan begitu berhasil menguasai
Cipta Dewa, pertama-tama ingin dijajalnya kesaktian baru ini dengan
menantang Sang Mahaguru Padepokan Gunung Saba, Panembahan Pasopati.
Cipta Dewa memang luar bisa, Sang Panembahan yang digjaya itu pun tewas
karenanya.
 
Target
berikutnya dari Lasmini adalah Mantili. Dalam sebuah pertempuran hebat,
Mantili pun roboh tak berdaya menghadapi Ajian Cipta Dewa. Kalau saja
bukan karena Bentar menghalanginya, pastilah Mantili akan tewas saat itu
juga. Tapi nasib Lasmini selalu demikian, terulang dan terulang: ketika
kemenangan seolah telah diraih, saat itu juga ia terlempar ke jurang
kegagalan. Ilmu sakti berhasil dikuasanya. Pendekar yang begitu tersohor
pun roboh tewas di tangannya. Mantili musuh bebuyutannya pun berhasil
ditumbangkannya… tetapi ia terusir oleh lelaki yang begitu dicintainya,
“Bibi jahat… Bibi jahat… Bibi Lasmini telah membunuh Bibi Mantili… Bibi
jahat…. pergiiiiiii… pergiiiiiii….!”
 
Dipandang
jahat atau pun jalang oleh orang yang memang membencinya seperti
Mantili, Lasmini memang tertusuk hatinya tetapi itu tidaklah apa-apa,
malahan memacu semangatnya untuk membalas pada saatnya. Tapi dibenci
oleh orang yang dicintai dan sebenarnyalah sungguh pula mencintainya, ah
itu jauh lebih berat dan menyakitkan rasanya…. Lasmini… Lasmini…
beginilah yang terus terjadi, wanita yang ingin mereguk kebahagian
sederhana saja, tetapi selalu tersingkir dan terlempar jauh begitu apa
yang dicari seolah sudah nyaris teregam di tangannya.
 
Raden Bentar
berduka. Memang, di bibir ia mengusir Bibi Lasmini yang dicintainya.
Tapi dalam hati ia sebenarnya sangat merindukannya. Kegalauan sang
pangeran muda pun meresahkan para sesepuh Madangkara. Berbagai upaya
dilakukan untuk menghiburnya, tetapi juga sekaligus untuk menjauhkan
Lasmini dari hatinya.
 
Terpetiklah
berita, seorang puteri pejabat Pajajaran, Tumenggung Gitanyali, konon
sangat cantik dan sedemikian mirip dengan Lasmini. Dengan dalih
mengundang menghadiri acara Kerajaan, Sang Tumenggung bersama
keluarganya diundang. Tujuannya, agar Raden Bentar bisa diperkenalkan
dengan Dewi Anjani, agar hatinya segera bisa melupakan Lasmini. Anjani
adalah seorang perempuan terhormat, puteri seorang Tumenggung dari
Kerajaan yang besar. Jauh lebih layak daripada Lasmini yang di kalangan
para sesepuh Madangkara dianggap tak lebih dari seorang petualang cinta
yang sedang memperdaya seorang remaja muda yang masih hijau soal cinta.
 
Mereka pun
akhirnya diperkenalkan. Raden Bentar pun terpesona pada Dewi Anjani yang
begitu mirip dengan Lasmini yang merenggut cinta pertamanya. Tapi
sebenarnyalah, Bentar tak sungguh jatuh cinta. Ia hanya menemukan
bayang-bayang Lasmini dalam diri gadis muda yang sedemikian mirip dengan
perempuan yang dicintanya.
 
Siapakah
Dewi Anjani itu? Bagaimana ia bisa demikian mirip dengan Lasmini? Konon
ceritanya, ia sebenarnyalah anak gadis dari Lasmini sendiri.
Dikisahkanlah latar belakangnya. Dulu, tampillah Lasmini sebagai seorang
pendekar muda yang berbekal setingkatan ilmu kependekaran berteguh
membela keadilan dan kebenaran. Sekawanan perampok dihajarnya,
kocar-kacir tak berdaya. Tapi di tengah kebanggaan itu, tampillah
sahabat para perampok itu, seorang pendekar yang lebih tinggi ilmunya,
Si Tombak Iblis yang keji. Lasmini roboh di tangannya. Si Tombak Iblis
pun ingin memperkosanya.
 
Lasmini tak
berdaya. Tapi di saat genting itu, muncullah seorang prajurit muda yang
tampan dan perkasa. Seorang punggawa pasukan tombak, Punggawa Gitanyali
namanya. Pendekar tombak bertemu pimpinan prajurit tombak, beradu ilmu.
Si Tombak Iblis tak berdaya, takluk di depan sang prajurit muda perkasa.
Orang muda, tampan, punya jabatan, punya kesaktian…. sungguh bisa
menjadi sandaran kebahagiaan. Lasmini pun akhirnya menerima pinangan
sang punggawa. Mereka hidup bahagia sampai kemudian Lasmini melahirkan
seorang bayi mungil yang cantik, puterinya, Anjani… Dewi Anjani namanya.
Tapi kebahagiaan yang baru datang, selalu kemudian pergi.
 
Tak kerasan
karena jiwa petualangnya terbatasi tembok-tembok istana, membuat
Lasmini sering cekcok dengan Gitanyali suaminya. Puncaknya, mereka
berpisah. Gitanyali tetap dengan pengabdiannya untuk negara, kemudian
menikahi gadis keraton juga yang dari dulu sebenarnya sudah
memperhatikannya tetapi tak pernah mendapat perhatiannya. Anjani pun
hidup dalam asuhan Gitanyali bersama isterinya yang barul. Sementara
Lasmini pergi merantau, pergi bersama hatinya yang terluka… sampai
kemudian ia bertemu Tumenggung Bayan, harapan barunya… tetapi kekasihnya
itu pun kemudian tewas di tangan Brama Kumbara. Kebahagiaan seolah tak mau datang, hanya menggodanya, begitu tertangkap langsung buyar dan kembali ia terlontar ke sepi derita.
 
Kehebatan
Lasmini dan sepak terjangnya yang selalu membuat ulah dimana-mana dengan
ilmu cipta dewanya akhirnya membuat Brama Kumbara turun tangan, dari
titik inilah selanjutnya Garnis, sebagai salah satu tokoh Madangkara
digambarkan telah ditemui oleh Brama yang secara khusus keluar dari tapa
semedinya dipengasingan guna mewariskan ilmu Cipta Dewi. Sebuah ilmu
dahsyat gabungan dari Ajian Serat Jiwa, Lampah Lumpuh dan juga Cipta
Dewa milik Lasmini. Ditangan Garnis, Lasmini yang sebelumnya berilmu
hebat akhirnya menemui kekalahan telak.
 
O.iya, ada
dua tokoh lagi yang belum diceritakan disini. Dua punakawan yang selalu
mengiringi perjalanan Mantili dan Raden Samba semasa mengelana sebagai
sepasang pendekar yang mengejar Miranti si Klabang Hitam. Nama keduanya
adalah Merid dan Bongkeng.
 
Baik Merid
maupun Bongkeng tidak punya ilmu silat apalagi kesaktian apapun.
Keduanya adalah dua punakawan yang biasa menghibur dan membantu
membawa-bawa barang di dalam pengembaraan tersebut. Kelak, setelah Raden
Samba menikah dengan Widati, Bongkeng mempunyai usaha sendiri
dikadipaten Gunalaga dibawah kerajaan Sanggam dan sukses menjadi seorang
saudagar. Merid tetap mengikuti Samba dan Widati.
 
Inilah kisah