Kelong: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Labbiri (bicara | kontrib)
istilah penting
Labbiri (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
'''<nowiki>[[Kelong]]</nowiki>''' merupakan karya sastra sejenis puisi atau pantun Makassar. Kelong menjadi salah satu bentuk karya sastra klasik yang paling populer di kalangan masyarakat, terutama mereka yang berlatar belakang bahasa dan sastra Makassar. Jenis sastra ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, baik menyangkut bentuk maupun pengungkapan isinya.
{{Rapikan}}
'''<nowiki>[[Kelong]]</nowiki>''' merupakan karya sastra sejenis puisi atau pantun Makassar. Kelong menjadi salah satu bentuk karya sastra klasik yang paling populer di kalangan masyarakat, terutama mereka yang berlatar belakang bahasa dan sastra Makassar. Jenis sastra ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, baik menyangkut bentuk maupun pengungkapan isinya.
 
== Kajian ==
Dilihat dari sudut sosial budaya, eksistensi Kelong dan kegemaran masyarakat terhadap jenis <nowiki>[[sastra Makassar]]</nowiki> yang lain tidak terlepas dari fungsi umumnya sebagai produk sekaligus sebagai perekam budaya. Dalam kapasitasnya sebagai produk dan perekam budaya, Kelong sarat dengan <nowiki>[[nilai-nilai budaya]]</nowiki>, seperti nilai pendidikan dan keagamaan. Di samping itu, Kelong memiliki peranan atau fungsi yang sangat penting di dalam kehidupan masyarakat. Seperti halnya dengan karya sastra yang lain, Kelong juga memiliki peranan dalam membudayakan manusia (Zainuddin Hakim, 1998).
 
Penelitian tentang Kelong sudah ada beberapa buah, antara lain (1) ''Makassaarsch Hollandsch Woordenboek'' (1859) oleh Dr. B.F. Matthes, (2) Kelong Makassar Merupakan Salah satu Pencerminan Kepribadian <nowiki>[[Masyarakat  Makassar]]</nowiki> (1982) oleh Aburaerah Arief, (3) Sastra Lisan Puisi Makassar (1990) oleh Mustamin Basran, dkk., dan (4) Nilai Religi dalam Kelong Sastra Makassar (1993) oleh Nasruddin. (5) Kelong dan Fungsinya dalam Masyarakat oleh Zainuddin Hakim (1998).
 
Arief (1982) di dalam kajiannya hanya melihat Kelong sebagai salah satu jenis sastra Makassar yang mencerminkan watak dan kepribadian orang-orang Makassar, seperti pandangan tentang etos kerja dan pentingnya musyawarah dalam segala hal. Basran dkk.(1990) menganalisis puisi-puisi Makassar dari segi strukturnya. Sementara itu, Nasaruddin (1993) lebih memusatkan penelitiannya pada pengkajian nilai-nilai keagamaan yang tertuang dalam Kelong. Selanjutnya, Zainuddin Hakim (1998) memfokuskan penelitiannya pada fungsi kelong dalam masyarakat.
Baris 15 ⟶ 14:
Dengan pemahaman yang mendalam terhadap sastra Kelong ini, diharapkan dapat ditumbuhkan sikap positif terhadap karya sastra klasik ini sebagai bagian integral dari budaya nusantara, khususnya Sulawesi Selatan yang turut menyokong eksistensi kebudayaan nasional. Dengan demikian, upaya yang dilakukan ini merupakan dialog antarbudaya dan antardaerah yang salah satu fungsinya sebagai media dalam usaha mewujudkan generasi yang berwawasan keindonesiaan.
 
Pada akhirnya, sebagai bagian dari sastra nusantara, Kelong dapat dijadikan sarana penanaman dan <nowiki>[[penguatan nilai-nilai pendidikan karakter]]</nowiki> yang diharapkan dapat menuntun manusia untuk menemukan hakikat keberadaannya baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial di alam semesta ini.
 
== Fungsi dalam masyarakat ==
Baris 25 ⟶ 24:
 
=== Media pendidikan ===
Sebagai salah satu produk dan perekam budaya di satu sisi sekaligus sebagai bagian dari kekayaan rohani di sisi lain, Kelong dapat berperan sebagai sarana untuk mempertinggi budi pekerti seseorang. Salah satu peranannya ialah sebagai media pendidikan. Nilai-nilai pendidikan yang dituangkan di dalamnya, pada garis besarnya, dapat dipilah menjadi dua macam, yakni (1) <nowiki>[[nilai pendidikan yang bersifat keagamaan]]</nowiki> dan (2) <nowiki>[[nilai pendidikan yang bersifat sosial kemasyarakatan]]</nowiki>.
 
==== Keagamaan ====
Baris 227 ⟶ 226:
 
== 1) Makrifat ==
<nowiki>[[Makrifat]]</nowiki> termasuk salah satu istilah yang sangat popular di ilmu tasawuf. Makrifat berarti pengenalan. Jadi, pengenalan kepada Allah disebut makrifatullah yang merupakan jenjang tertinggi yang dicapai manusia di dalam mengesakan Allah. Orang-orang yang sudah sampai ke taraf yang demikian, dinding penghalang atau yang dalam ilmu tasawuf disebut “hijab”, sudah diangkat baginya. Akibatnya, dengan izin Allah, hal-hal yang bersifat abstrak atau trasendental merupakan sesuatu yang amat mudah bagi mereka untuk diketahui. Bait pertama, kedua, ketiga, kelima, dan ketujuh menggambarkan bahwa manusia harus mencari dan menemukan Tuhan yang pasti adanya.
 
Untuk menemukan-Nya manusia memerlukan media. Dan media yang paling tepat adalah melalui jalur ibadah, terutama salat, setelah sebelumnya sampai ke taraf makrifat. Untuk sampai ke taraf makrifatullah atau pengenalan kepada Allah itu ada langkah awal perlu dilalui yang berfungsi sebagai terminal trasnsit. Langkah awal yang dimaksud disebut  makrifatunnafsi atau pengenalan terhadap hakikat diri sendiri. Manusia perlu menyadari lebih dahulu eksistensinya, tujuan hidupnya, dan tugas-tugas yang harus diembannya. Hal ini tertuang dalam bait keempat dan kelima, khususnya bait kelima larik pertama dan kedua yaitu:
Baris 268 ⟶ 267:
 
''(Dari sana jua, asal kejadianmu, dan kepada-Nya, engkau akan kembali).''
 
 
 
Baris 277 ⟶ 275:
Dalam proses perjalanan kehidupannya, manusia melintasi lima macam alam. Kelima alam tersebut sangat berlainan situasi dan keadaannya.
 
(a) <nowiki>[[Alam Roh]]</nowiki>
 
Alam roh lazim dsebut dengan alam arwah. Alam ini merupakan tempat penantian pertama sebelum roh-roh itu bergabung dengan jasadnya. Alam ini juga disebut alam penampungan yang dalam bait kelima, larik keempat disebut pakrimpunganna nyawaya.
 
(b) <nowiki>[[Alam Kandungan]]</nowiki>
 
Setelah tinggal di alam roh, entah berapa lamanya, selanjutnya roh itu dipindahkan ke alam kandungan atau Alamul arham untuk dipadukan dengan jasadnya. Alam ini merupakan bengkel perakitan manusia yang bahan bakunya dari sperma laki-laki dan sel reproduksi wanita yang lazim disebut ovum. Pertemuan antara sperma dan ovum itu merupakan proses penciptaan jasmani manusia. Hal ini dapat menjadi jawaban terhadap pertanyaan yang terkandung dalam bait keempat, larik ketiga dan keempat di atas.
 
(c) <nowiki>[[Alam Dunia]]</nowiki>
 
Setelah tinggal beberapa bulan di alam kandungan, manusia dipindahkan lagi ke alam dunia. Alam ini merupakan tempat untuk bekerja. Artinya, semua manusia harus aktif bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik untuk hidup yang sekarang maupun untuk hidup di alam-alam selanjutnya. Inilah tugas pokok manusia di dunia. Hasil kerja di dunia ini sangat menentukan kehidupan seseorang untuk selanjutnya. Bahagia dan tidaknya seseorang di alam-alam yang akan datang sangat ditentukan oleh prestasi kerjanya di dunia. Prestasi kerja dalam bahasa agama di sebut amal (Ahsanu amalan).
Baris 330 ⟶ 328:
Manusia dibekali dengan akal dan nafsu. Dalam kegiatan operasionalnya keduanya selalu bertentangan dan selalu berebut untuk mengendalikan manusia. Akal mempunyai kecenderungan kepada hal-hal yang positif, sebaliknya nafsu (nafsu ammarah) selalu membawa kepada hal-hal yang negatif. Jika nafsu yang berkuasa, manusia cenderung melakukan pelanggaran, baik pelanggaran agama maupun pelanggaran susila. Pelanggaran atau dosa itu akan menggerogoti jiwa manusia. Semakin kerap dosa itu dilakukan, semakin kotor pula jiwa itu.
 
Untuk mengembalikan jiwa kepada bentuk kesuciannya, manusia harus bertobat kepada Tuhan. <nowiki>[[Tobat berfungsi sebagai penghapus dosa-dosa yang pernah dilakukan]]</nowiki>. Pentingnya tobat itu dikemukakan dalam bait kesepuluh, sebagai berikut.
 
''Anngaro-aroko tobak, ri gintingang tallasaknu, mateko sallang, na nusassalak kalennu.''
Baris 350 ⟶ 348:
''(Salat dan tawakallah, perbanyak amalanmu, pegang teguhlah ajaran gurumu).''
 
<nowiki>[[Salat merupakan tugas yang paling mendasar di dalam syariat Islam]]</nowiki>. Ibadah-ibadah yang lain bertumpu pada salat. Oleh karena itu, kualitas iman seseorang dapat terefleksi dari pelaksanaan salat. Dalam sebuah bait Kelong digambarkan sebagai berikut.
 
(1) ''Apai nuparek bokong''
Baris 559 ⟶ 557:
 
==== '''2. Bekerja dengan tekun''' ====
Salah satu syarat penting untuk mewujudkan kebahagiaan hidup adalah semangat kerja yang tinggi. Orang-orang tua dahulu, sejak dini, telah menanamkan semangat seperti itu kepada anak cucunya. Dengan semangat kerja yang tinggi, mereka mampu mengarungi samudera yang luas bahkan sampai ke Kepulauan Madagaskar (Afrika Selatan).
 
Resep apa yang ditawarkan orang-orang tua dahulu untuk menciptakan kebahagiaan, dapat dilihat dalam Kelong berikut ini.
Baris 597 ⟶ 595:
''Bekerja dengan tekun''
 
           Pada Kelong (8), baik pada bait pertama maupun pada bait kedua terdapat kata kunci, yaitu [[''reso'' dan ''sunggu]]''. Kata ''reso'' dalamkonsep budaya Makassar bermakna ‘bekerja dengan tekun’ Sedaangkan kata ''sunggu'' bermakna ‘bahagia, makmur, dan tenteram. Kata ''sunggu'' tersebut lebih mengacu kepada pemenuhan kebutuhan di bidang materi.
 
Berdasarkan konsep makna kedua kata tersebut, Kelong di atas dapat ditafsirkan seperti berikut.Untuk memenuhi kebutuhan hidup di bidang materi, landasannya adalah bekerja. Tanpa kerja keras, kerja cerdas, kebahagiaan dan kemakmuran tetap menjadi sebuah impian yang tak akan pernah terwujud.
Baris 646 ⟶ 644:
 
==== 3. Teguh dalam Pendirian ====
Teguh dalam pendirian dalam bahasa Makassar disebut <nowiki>[[tokdopuli]]</nowiki> yang dapat diartikan dengan tegas, berani, dalam kebenaran, setia pada keyakinan, dan taat asas. Kata lain yang dapat dipadankan dengan keteguhan adalah tantang atau istiqomah dalam bahasa agama.
 
Perhatikan beberapa bait Kelong berikut ini.
Baris 708 ⟶ 706:
 
Kembali dari tengah lautan
 
 
 
Baris 732 ⟶ 729:
 
''Pantang bergeser segigi sisir''
 
 
 
Baris 792 ⟶ 788:
 
''Menjadi milik orang lain.''
 
 
 
Baris 847 ⟶ 842:
 
''Ibunda tercinta''
 
 
 
Baris 859 ⟶ 853:
 
''Parruku ri simbolennu (Sikki, 1995:142)''
 
 
Pernyataan Kelong di atas, khususnya larik ketiga dan keempat, yaitu tassampe tompi parrukku ri simbolennu ‘nanti ususku tersangkut pada sanggulmu’ menggambarkan keberanian dan keteguhan hati di dalam memperjuangkan cita-cita suci, walaupun harus berhadapan dengan resiko yang berat (lange-lange ri cerak‘berenang dengan darah’).
Baris 968 ⟶ 963:
 
''Surga yang sebenarnya''
 
 
 
Baris 1.028 ⟶ 1.022:
 
''Ketenteraman di antara kita.''
 
 
Tolong-menolong dalam bidang materi, seperti dalam ungkapan sitanro-tanroipakik ‘nanti kita saling memberi’ atau dalam bidang jasa, seperti dalam ungkapan nakisilomo-lomoang ‘saling memudahkan urusan’ semuanya sangat penting untuk mewujudkan ketenteraman di dalam bermasyarakat.
 
== C. Kelong sebagai Media Hiburan ==
Salah satu fungsi Kelong yang sangat transparan adalah <nowiki>[[sebagai media hiburan]]</nowiki>. Fungsi hiburan yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah munculnya suasana senang dan tenteram yang disebabkan oleh penyampaian Kelong, baik didendangkan dengan iringan musik tertentu maupun disampaikan secara biasa.Biasanya Kelong disampaikan pada acara-acara keramaian tertentu, misalnya, pesta perkawinan, naik rumah baru, dan sunatan.Kelong yang disampaikan pada acara-acara seperti itu adalah Kelong yang diiringi dengan alat musik tertentu, misalnya Kelong yang berjudul Anging Mammirik dan Sulawesi Pakrasanganta.
 
Adapun Kelong yang disampaikan dengan cara biasa (tanpa alat musik dan kadang-kadang tidak didendangkan) lazimnya disampaikan pada waktu istirahat setelah melaksanakan suatu kegiatan. Di samping itu, Kelong seperti itu biasa digunakan sebagai bumbu pembicaraan untuk menghidupkan suasana agar tetap hidup, santai, dan akrab. Kadang-kadang pula diselingi dengan gelak tawa yang segar. Dalam acara peminangan, misalnya, Kelong sering muncul sebagai pembuka dan penghias pembicaraan.
Baris 1.142 ⟶ 1.137:
 
''Jemari pandai memasak''
 
 
 
Kelong di atas sering juga dilantunkan secara bergantian oleh kalangan muda-mudi.Artinya, bait pertama didendangkan oleh kaum remaja kemudian disambut oleh oleh remaja putri pada bait kedua.Suasana gembira seperti ini sekaligus dimanfaatkan oleh mereka untuk saling bertemu dan mengungkapkan isi hatinya. Untuk lebih menghangatkan suasana, Kelong-kelong yang lain sering pula disampaikan, khususnya untuk mengenal lebih jauh pribadi seseorang.
 
 
 
Baris 1.208 ⟶ 1.201:
 
''           Hanya belum dipetik.''
 
 
 
Baris 1.256 ⟶ 1.248:
 
''Aku pun demikian.''
 
 
 
Baris 1.263 ⟶ 1.254:
D. Kelong sebagai Pembangkit Semangat Juang
 
<nowiki>[[Semangat juang]]</nowiki> yang dimaksudkan dalam tulisan ini tidak hanya terbatas pada suasana perang, tetapi semangat juang dalam arti yang seluas-luasnya.Misalnya, dalam bidang usaha, membekali diri dengan ilmu pengetahuan, bahkan di dalam menghadapi liku-liku kehidupan ini, semangat juang sangat diperlukan. Tanpa semangat yang membara, usaha apapun yang dilakukan pasti tidak akan membawa hasil yang maksimal. Kenyataan telah membuktikan bahwa hanya dengan semangat juang yang membara yang disertai dengan kesadaran yang tinggi dan keterampilan yang memadai, seseorang dapat berhasil dalam segala hal.
 
Dalam kapasitasnya sebagai sastra daerah, Kelong mempunyai salah satu fungsi untuk mendorong semangat juang para pendukungnya. Seorang prajurit yang sedang dihinggapi rasa takut dan ragu-ragu, misalnya, tiba-tiba keberaniannya muncul menyongsong musuh dan berdiri di medan laga akibat satu dua bait Kelong.
Baris 1.401 ⟶ 1.392:
Kelong di atas merupakan ikrar para pejuang Kerajaan Gowa untuk bersama-sama menghadapi dan memerangi Belanda. Mereka bersumpah tidak akan mundur setapak pun dari bumi kerajaan Gowa. Mereka rela mati bersimbah darah di dalam membela kehormatan negerinya daripada hidup terjajah dan tidak bermakna apa-apa. Bagi mereka, gugur sebagai pahlawan itulah kematian yang paling indah, mate nisantanngi (mati disantani), mate nibungai (mati ditaburi dengan bunga), yang baunya harum semerbak sepanjang masa.
 
Pada bait ketiga dan keempat manna bukuja kutete, manna cerakja kulimbang (walau hanya tulang kutiti, walau harus melindungi lautan darah) dan teako mallak ribong, bata-bata rimariang (jangan takut pada bom, ragu-ragu pada meriam) merupakan ungkapan keberanian dan kesediaan berkorban. Di dalam Kelong tersebut sudah tergambar bahwa mereka memang sudah siap mati, bahkan rela hancur lebur terkena bom atau meriam. Jiwa kepahlawanan yang tinggi dan semangat juang yang tak akan pudar di dalam diri <nowiki>[[Sultan Hasanuddin yang digelar “Haantje Van het Osten]]</nowiki>”Osten” (Ayam Jantan dari timur) benar-benar merebak ke seluruh bala tentaranya.
 
Bait-bait Kelong di atas laksana air penyejuk di musim kemarau, atau laksana hujan yang menyirami rumput-rumput yang sedang sekarat.Dengan bait-bait Kelong seperti itu, mereka sadar, bangun, dan bangkit membela tanah airnya yang tercinta.Mereka berjuang dan berjuang terus sampai tetes darah yang terakhir hingga cita-cita mereka terwujud, yaitu tercapainya negeri yang merdeka, aman, dan makmur.Mantakle tonja ri borik maradekaya ‘aku tetap menuju negeri yang merdeka’.
Baris 1.553 ⟶ 1.544:
 
''                          Dan sasaran kasih sayangku''
 
 
 
Baris 1.627 ⟶ 1.617:
 
''           Pasti aku tak bahagia''
 
 
 
Baris 1.636 ⟶ 1.625:
 
== E. Kelong sebagai Produk dan Pelestari Budaya ==
Seperti telah dikemukakan pada pembahasan yang lalu (A) <nowiki>[[Kelong merupakan produk sekaligus sebagai perekam budaya]]</nowiki>. Disebut produk budaya karena Kelong merupakan hasil perenungan batin atau pemikiran yang cemerlang dari kelompok etnis Makassar yang berisi berbagai hal yang cukup bermanfaat di dalam kehidupan.Apa yang dituangkan dalam Kelong tentu merupakan refleksi atau potret serta gambaran pengalaman hidup penciptanya yang diwarnai oleh lingkup budayanya. Oleh sebab itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa untuk mengetahui pandangan dan falsafah hidup, pengetahuan, serta pemikiran orang-orang Makassar terhadap sesuatu, maka, Kelong merupakan salah satu yang dapat mengungkapkan hal tersebut.
 
Menurut Mangunwijaya (dalam Suyitno,1984:64) mengatakan bahwa jika seseorang akan mempelajari riak gelombang kehidupan sosial yang sesungguhnya di suatu zaman, ia harus membaca novel, roman, cerpen, atau puisi, dan bukannya membaca hasil seminar, lokakarya, dan semacamnya. Hal itu menunjukkan bahwa sastra dapat berfungsi sebagai hasil studi yang akurat.