Moko (drum): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Helena Ang (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Helena Ang (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 10:
Asal-usul moko telah didokumentasikan dengan baik dimana pertukaran ide budaya melalui kontak komersial perdagangan yang berkelanjutan telah mengakibatkan penyaluran beberapa [[simbolisme]] seperti gendang [[perunggu]] ke [[Indonesia]] timur. Adapun jalur perdagangan yang menyalurkan simbolisme hingga jarak jauh di waktu periode tertentu adalah rute perdagangan tradisional kuno yang terbentang sepanjang [[Timur Tengah]] dan [[India]], jalur tersebut telah melalui [[Asia Tenggara]] dan berlanjut sampai ke [[Republik Rakyat Tiongkok|Cina]].<ref name=":1" />
 
Terdapat dua sumber penting dalam sejarah yang tercatat mempengaruhi penyaluran di Indonesia timur yaitu kerajaan kembar [[Kota Makassar|Makasar]] [[:en:Kingdom_of_Tallo|Gowa]]-[[:en:Kingdom_of_Tallo|Tallo]] pada abad ke-13 hingga 16 Masehi. Khusus kerajaan [[:en:Kingdom_of_Tallo|Tallo]] yang dominan dengan sektor [[Laut|maritim]] diketahui memiliki situs [[arkeologi]] yang ternyata mencatat semua kontak lama yang telah terjadi sepanjang sejarah. Dengan letaknya di semenanjung barat daya pulau [[Sulawesi]], Gowa-Tallo diketahui memiliki hubungan dagang yang ekstensif dengan kepulauan barat, dimana penyaluran gagasan dari barat daya Sulawesi difasilitasi hingga lebih jauh ke bagian timur [[Nusantara]]. Selain itu, adanya perjodohan yang tercatat terjadi antara penguasa Tallo dengan [[Kota Surabaya|Surabaya]] pun turut mendukung kemajuan pesat dalam penyaluran simbolisme ini. Hal ini dikarenakan posisi kota [[Kota Surabaya|Surabaya]] merupakan pelabuhan utama [[Majapahit|Kerajaan Majapahit]] (di ujung timur pulau Jawa) yang melayani perdagangan rempah internasional.<ref name=":1" /> Penguasa Tallo dikenal sering mengunjungi partner-partner dagang di kepulauan [[Kabupaten Ende|Ende]] ([[Kabupaten Flores Timur|Flores)]], Banda dan [[Kepulauan Nusa Tenggara|Nusa Tenggara]]. Permulaan inilah yang kemudian bergulir hingga situasi politik sosial wilayah timur terkait penggunaan [[simbolisme]] gendang perunggu berkembang. Fakta sejarah ini didukung dengan pengamatan bentuk fisik moko dimana pola hiasnya beragam tergantung zaman pembuatannya, bila diperhatikan seksama bentuknya mirip dengan benda-benda perunggu di [[Jawa|Pulau Jawa]] pada masa [[Majapahit|Kerajaan Majapahit]].<ref name=":2">{{Cite web|url=https://www.seputar-ntt.com/sejarah-moko-di-alor-ntt/|title=Sejarah Moko di Alor, NTT|last=|first=|date=10/11/2013|website=|access-date=}}</ref> Tradisi rakyat mencatat bahwa pedagang asing pada mulanya memperkenalkan moko yang rupanya dibawa dari perantara perdagangan Melayu-Cina yang bertautan langsung dengan situs produksi moko di masa fase [[:en:Dong_Son_culture|Dong Son]], [[Vietnam]] utara atau barat daya [[Republik Rakyat Tiongkok|Cina]]. Sementara di abad ke-19, moko mulai dibuatkan menggunakan bahan kuningan, yang sebagian besar dibuat di [[Kabupaten Gresik|Gresik]], [[Jawa Timur|Jawa TImur]] dan dibawa dalam peredaran oleh pedagang [[Jawa]] dan [[Sulawesi]].<ref name=":1" />
 
Secara umum, banyak suku tradisional di [[Pulau Alor]] percaya bahwa moko berasal dari tanah dan hanya dimiliki para bangsawan karena nilainya sangat tinggi. Namun pada masa terdahulu, moko telah difungsikan sebagai alat tukar ekonomi masyarakat pulau ini, bahkan sempat menyebabkan [[inflasi]] pada masa pemerintahan [[Hindia Belanda]] sehingga penguasa pun membuat sistem baru dengan membatasi peredaran moko di [[Pulau Alor]]. Di beberapa suku tradisional di Pulau Alor, moko juga digunakan sebagai gendang untuk mengiringi tarian adat selain sebagai mas kawin dan alat tukar pembayaran. Penggunaan ini pun disesuaikan dengan jenis dan keutuhan moko. Namun alat musik gong dan moko biasanya dimainkan untuk mengiringi tari-tarian tradisional seperti [https://www.indonesia-tourism.com/forum/showthread.php?48126-Lego-Lego-Dance-Original-Traditional-Dance-Alor-East-Nusa-Tenggara tarian lego-lego]. Dari aktivitas ini kemudian moko memiliki nilai sosial yang tinggi di kalangan masyarakat Alor hingga pada akhirnya daerah setempat dijuluki sebagai ‘Alor, Pulau Seribu Moko’. <ref name=":2" />