Kadipaten Jipang: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
||
Baris 50:
Nama Jipang diberikan kepada daerah antara Gunung Kendeng dan pegunungan pesisir utara, yaitu daerah hulu Sungai Lusi atau Serang, yang sekarang bermuara di Laut Jawa di sebelah selatan Jepara. Mungkin dahulu kala sungai ini bermuara di sebuah selat yang dangkal, tempat Demak, Pati, dan Juwana, yang memisahkan Pulau Muria dan daratan Jawa. Daerah ini sekarang terletak di kabupaten-kabupaten Blora dan Bojonegoro, yang termasuk Karesidenan Rembang. Jipang konon nama sebagian dari daerah itu.
Daerah-daerah dan kerajaan-kerajaan ini berperan penting dalam legenda sejarah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam riwayat-riwayat diberitakan bahwa Blora ialah tempat tinggal seorang pandai dari zaman bahari, Arung Bondan namanya. Rupanya, ia seorang ahli bangunan, nenek moyang patih-patih dan pejabat-pejabat raja-raja di zaman kuno. Menurut beberapa pembawa cerita, Mendang Kamulan, sebuah negeri asal dalam dunia dongeng, terletak di daerah Blora ini. Bojonegoro konon tempat tinggal seorang putra raja, bernama Angling Darma, yang mengerti bahasa hewan. Matahun ialah nama salah satu “tanah mahkota” (langsung dikuasai raja) Kerajaan Majapahit pada abad ke-14, yang terletak di pedalaman Karesidenan Rembang yang sekarang. Tetapi, menurut Dr. Noorduyn, daerah itu tidak dapat seluruhnya disamakan dengan Kerajaan Jipang dahulu; nama kota Matahun belum dijumpai.
Ibu kota daerah yang sekarang, Rembang, terletak di pantai utara, antara Juwana dan Lasem. Lasem ialah nama salah satu “tanah mahkota” kerajaan Majapahit pada abad ke-14. Ada kemungkinan bahwa Gunung Lasem, yang sekarang terletak di garis pantai, lima abad yang lalu merupakan sebuah tanjung yang agak besar.
Daerah Rembang yang sekarang, yang membentang ke timur melewati Tuban, terkenal karena mehghasilkan kayu jati.
Berita Tome Pires tentang pembangunan kapal-kapal di kota pelabuhan Rembang menguatkan dugaan bahwa sudah sejak dahulu hutan-hutan di pedalaman mendatangkan hasil. Bahkan menurut perkiraan, sebelum zaman Islam di sana-sini sudah ditanam kayu jati untuk menjamin persediaan kayu yang bermanfaat ini.[5] Pada zaman Kompeni (VOC) dan pemerintahan Hindia Belanda, hutan-hutan jati di Rembang mendapat perhatian sepenuhnya. === Arya Penangsang dari Jipang ===
Menurut tambo Jawa, seperti diuraikan sebelum ini
Tetapi rupanya ia kemudian dikalahkan dan dibunuh dalam pertempuran melawan laskar perusuh Jawa dan dibunuh dalam pertempuran melawan laskar Jawa dari pedalaman, yaitu laskar Jaka Tingkir, penguasa Pajang. Jaka Tingkir bertindak untuk merebut kekuasaan Arya Penangsang atas Demak dengan alasan sebagai pembalas dendam, atas kematian Kiai Kalinyamat dari Jepara, ipar Susuhunan Prawata, yang telah menemui ajalnya juga karena perseteruan dengan Arya Panangsang. Akhirnya Jaka Tingkir, sebagai Raja Pajang, merubuhkan kedaulatan Kerajaan Demak.
Episode sejarah Jipang ini telah mendapat perhatian secukupnya dari Dr. Noorduyn.[7] Dengan tepat dinyatakannya bahwa tidak ada alasan untuk meragukan kebenaran sejarah tindakan kekerasan dan berakhirnya riwayat Arya Panangsang menurut cerita tutur Jawa, seperti dilakukan Prof. Berg sebelumnya. Suatu berita dalam sebuah surat berbahasa Belanda mungkin menyangkut pendekar Jipang yang semangat tempurnya menyala-nyala. Anehnya, masih lama juga ia hidup dalam cerita-cerita rakyat setempat. Orang masih percaya bahwa ia akan hidup kembali jika potongan-potongan tubuhnya, yang telah dipencarkan ke mana-mana pada waktu ia meninggal, dikumpulkan dan disatukan lagi. Cerita rakyat ini mungkin semula beredar di kalangan umat Islam yang masih menganggap bahwa cucu raja besar Raden Patah itu adalah pengganti tahta kerajaan di Demak yang sah.
=== Penguasa-penguasa Jipang dan Blora selanjutnya ===
Kekalahan dan kematian Arya Penangsang ternyata telah memaksa sanak saudaranya yang tidak ikut menjadi korban, menyingkir ke Surabaya dan Palembang. Dalam bagian berikut ini akan dibicarakan suatu pemberitaan yang berasal dari Palembang mengenai keturunan Jipang.
Sesudah Jipang direbut, raja Pajang menyerahkan wilayah itu kepada salah seorang anggota keluarganya untuk diperintah sebagai tanah/ daerah gaduhan, ‘pinjaman’. Sesudah raja mangkat dalam usia lanjut pada tahun 1587, Jipang dijadikan tempat tinggal putranya, Pangeran Benawa, karena kota Kerajaan Pajang telah diduduki oleh Senapati Mataram.
Pada dasawarsa terakhir abad ke-16 daerah Jipang juga jatuh ke bawah kekuasaan raja Mataram (1591). Pada tahun 1598, raja bahkan memerintahkan orang-orang dari Pajang membangun kembali ibu kota Jipang dengan kerja rodi. Pada waktu itu Jipang merupakan daerah perbatasan antara daerah raja Mataram dan Surabaya.
Pada abad ke-17 dan ke-18, Jipang dijadikan tempat kedudukan bupati yang mewakili raja-raja Kartasura dan Surakarta. Mereka menganggap dirinya keturunan Matahun. Dari sinilah berasal para patih Surakarta yang terkenal dalam abad ke-19, yang memakai nama Sasranagara dan Sasradiningrat.
Yang masih perlu dijelaskan ialah bahwa menurut daftar tahun kejadian yang disebut babad sangkala, pada tahun 1559 atau 1561 raja Pajang telah mengirim ekspedisi bersenjata ke Blora (yang disebut pamblora). Jika diperkirakan kemenangan atas Arya Panangsang dari Jipang terjadi pada tahun 1554, maka lima tahun kemudian di Blora, tidak jauh dari Jipang, masih juga terjadi pemberontakan melawan kekuasaan raja baru di Pajang. Tidak ada keterangan yang dapat menunjukkan apakah yang berkuasa di Blora adalah anggota-anggota jalur Jipang dari keturunan Demak pula; hal ini tidak mustahil.
=== Hubungan keturunan penguasa Jipang dengan Palembang ===
Nama Jipang tampak dicantumkan pada plakat yang diumumkan pada tanggal 1 September 1818 oleh komisaris Belanda Muntinghe, yang isinya menjamin bahwa bagi Palembang pemerintah Hindia Belanda akan mempertahankan undang-undang, terkenal dengan nama “Piagam Pangeran Jipang” (de wet, bekend onder de naam van Pejagem van dan Pangerang van Djiepan).[13] Dalam riwayat Palembang yang bersifat sejarah, berkali-kali terdapat kata-kata yang menunjuk pada hubungan dengan Jawa, khususnya dengan Jawa Timur.
Suatu undang-undang yang terkenal sebagai piyagem Pangeran ing Jipang tidak dikenal dalam kesusastraan Jawa. Yang pasti ialah bahwa di berbagai daerah Sumatera Selatan telah dipakai buku-buku hukum Jawa yang disusun di keraton raja-raja Demak. Salah satu di antaranya, yang paling
|