Sebelum melakukan ekspedisi perburuan kepala manusia, para ''emali'' akan meminta perlindungan dari dewa perang melalui perantaraan Adu Siraha Horö agar mendapatkan kepala yang banyak.<ref>{{Cite web|url=https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=1714|title=Adu Siraha Horo|last=|first=|date=|website=Warisan Budaya Takbenda Indonesia|access-date=18 Februari 2020}}</ref> Pedang yang digunakan untuk berburu adalah ''tolögu'' milik bangsawan dari [[Kabupaten Nias Selatan|Nias Selatan]]. Pada sarung pedang tersebut dilengketkan ''ragö,'' yaitu sebuah bola rotan yang dihiasi dengan benda-benda berkekuatan magis. Benda-benda itu dipercaya dapat megalirkan kekuatan dan memberikan kekebalan kepada pemiliknya dan menembus ilmu kebal yang dimiliki oleh lawan. Kemudian, setelah berburu, para emali akan kembali berdoa agar mereka bersih dari dosa akibat perburuan tersebut.<ref>{{Cite web|url=https://regional.kompas.com/read/2017/04/29/19000041/patung.pembersih.dosa.dahulu.dipakai.pemburu.kepala.manusia.di.nias|title=Patung Pembersih Dosa, Dahulu Dipakai Pemburu Kepala Manusia di Nias Halaman all|last=Halawa|first=Hendrik Yanto|date=29 April 2017|website=KOMPAS.com|language=id|access-date=18 Februari 2020|media=Kompas Cyber Media}}</ref> Para budak, terlebih jika berbuat salah, juga dapat dikorbankan untuk mendapat ''binu''.{{Sfn|Beatty|1992|p=286|ps="The ritual category of binu, the victim of human sacrifice or head-hunting, has sometimes been mistakenly translated as 'slave'. As a rule, only slaves captured or purchased outside the village could be sacrified."}}{{Sfn|Sonjaya|2008|p=132|ps="Sawuyu yang berbuat kesalahan bisa dipenggal untuk bekal kubur tuannya jika meninggal."}}
=== Pelaksanaan ===
Para ''emali'' bergerilya kemenjelajahi kampung-kampung yang jauh untuk mencari mangsa. Periode saat mereka berburu disebut ''bawa nemali.'' Jika ''mangai binu'' didasarkan balas dendam, maka ''emali'' melakukan tebasan ke tubuh lawan menggunakan ''tolögu'', mulai dari pangkal leher sebelah kiri lalu secara diagonal mengarah ke bagian bawah ketiak sebelah kanan. Tebasan ini menyisakan kepala dan bagian tangan kanan yang masih menyatu. Setelah berhasil, merekaMereka akan pulang dengan membawa hasil tangkapan dengan menenteng potongan kepala di pundak. ‘Hasil tangkapan’ diletakkan di bahu para emali, sambil memegangsementara tangan kanan korban dan dan mendekapkannyadidekapkan ke dada.<ref name=":2">{{Cite web|url=https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=6821|title=Emali|last=|first=|date=|website=Warisan Budaya Takbenda Indonesia|access-date=17 Februari 2020}}</ref> Terkadang, 'pemesan' ''binu'' menyuruh ''emali'' untuk menangkap lawannya hidup-hidup untuk kemudian dipenggal di atas batu ''awina''. Para emali diberi upah sebesar enam ekor babi berukuran lima ''alisi.{{efn|name=alisi}}''{{Sfn|Sonjaya|2008|p=67b|ps="Bahkan ada binu yang ditangkap hidup-hidup dan baru dipenggal di atas awina dengan disaksikan orang banyak. (...) Harganya sangat mahal, yakni 6 x 5 alisi babi."}}
[[Berkas:Tolögu.jpeg|jmpl|Tolögu, pedang yang digunakan dalam berburu kepala|pra=Special:FilePath/Tolögu.jpeg]]
=== Status sosial ===
Jumlah ''binu'' yang diperoleh oleh seseorang akan menentukan [[status sosial]]nya seorang lelaki. Terlebih jika dia ingin meminang seorang wanita, dia harus mempersembahkanmenunjukkan kepala musuhburuannya kepada keluarga calon mempelai perempuanistri. SemakinKeberhasilannya banyakmendapatkan jumlah''binu'' kepalaakan yangdikaitkan ditunjukkandengan dikeberhasilan depanorang calontua mertua,dan maka semakin berharga lelaki tersebut. Bahkan, bukan hanya pelaku saja yang layak bangga, tetapi juga leluhur-leluhurnya, karenadalam dianggapmembesarkan berhasil melahirkan keturunan hebatdia. KaitanHal antaraini kewajibanmenjadikan memuliakantradisi leluhurini danajang keinginanpeningkatan menyandang identitasstatus sosial tinggidiri seolah-olahsendiri menjadidan justifikasi bagi tradisi manguni binu di Niaskeluarga.<ref name=":0">{{Cite web|url=https://www.liputan6.com/lifestyle/read/2508078/kisah-emali-pemburu-kepala-manusia-untuk-teman-di-alam-kubur|title=Kisah Emali, Pemburu Kepala Manusia untuk Teman di Alam Kubur|last=Liputan6.com|date=2016-05-27|website=liputan6.com|language=id|access-date=2020-02-17}}</ref>
=== Fondasi bangunan ===
== Peningalan ==
Kedatangan para [[misionaris]] Nias memberi [[Fangesa Sebua|kesadaran kepadamenyadarkan]] masyarakat]] untuk tidak lagi melanjutkan tradisi ini. Namun, pemenggalan kepala dengan motif perebutan [[harga diri]] masih terjadi.{{Sfn|Afif|2018|p=183c|ps="(...), pemenggalan kepala saat ini lebih banyak disebabkan oleh pertikaian dalam mempertahankan harga diri."}} Sonjaya dalam bukunya ''Melacak batu menguak mitos'' menceritakan bahwa dia masih mendengar berita pembunuhan dengan kepala korban dibelah di Gomo hingga tahun 2008.{{Citation-needed}} Ketakutan akan ''emali'' di zaman dulu juga menyisakan kebiasaan pada beberapa penduduk. Beberapa keluarga melarang anak-anak kecil bermain di luar rumah pada malam hari dan beberapa pemuda Nias selalu membawa senjata tajam ketika keluar rumah di malam hari sebagai bentuk kewaspadaan.{{Sfn|Afif|2018|p=183b|ps="Hal ini juga bisa dilihat dari cara para lelaki dewasa di Nias ketika akan berpergian di malam hari. Mereka selalu membawa senjata tajam untuk jaga diri."}}
Ketakutan akan ''emali'' juga masih dirasakan beberapa penduduk. Beberapa keluarga melarang anak-anak kecil bermain di luar rumah pada malam hari dan beberapa pemuda Nias selalu membawa senjata tajam ketika keluar rumah di malam hari sebagai bentuk kewaspadaan.{{Sfn|Afif|2018|p=183b|ps="Hal ini juga bisa dilihat dari cara para lelaki dewasa di Nias ketika akan berpergian di malam hari. Mereka selalu membawa senjata tajam untuk jaga diri."}}
Beberapa tengkorak dari Nias dikumpulkan oleh para penjelajah [[Eropa]] seperti [[Elio Modigliani]] dan menjadi koleksi museum.{{Sfn|Puccioni|2016|p=29|ps="Ia juga memboyong 26 tengkorak manusia, kenang-kenangan yang dibelinya dari pemburu kepala, yang saat itu dipandang sebagai benda yang sangat berharga bagi Museum Nasional Antropologi dan Etnografi di Florence."}}
Beberapa [[Hoho|kisah]] tentang perburuan kepala menyebar di masyarakat Nias.
Di Nias selatan, terdapat kisah tentang Awuwkha yang [[menhir]] kuburnya berdiri di [[Sifalago Gomo, Boronadu, Nias Selatan|Sifalagö Gomo]]{{Sfn|Sonjaya|2008|p=63|ps="Di antara batu-batu itu, yang paling menarik perhatian saya adalah sebuah behu berukuran sangat besar. (...) Oleh karena ukurannya yang besar itu, saya sangat tertarik untuk menelusuri asal-usulnya. (...), bernama Awuwukha.}}{{Sfn|Horor|2011|p=80|ps="Menhir Awuwukha merupakan situs yang terbuat dari batu."}} Dituturkan bahwa seorang pemuda tinggal bersama ibu dan tujuh orang saudaranya di [[Börönadu]] sekitar seratus lima puluh tahun lalu.{{Sfn|Afif|2018|p=176|ps="Menurut Sonjaya (2008:63), Awuwukha hidup sekitar lima generasi (setiap generasi sama dengan 25 tahun) lalu. Sementara menurut Thomsen (dalam Zebua, 2008), Awuwukha hidup jauh lebih lama, yaitu sekitar tujuh generasi yang lalu."}} Pada suatu hari, seorang pemuda dari kampung Susua mengajak warga Börönadu untuk menghadiri pelaksanaan pesta ''owasa'' di kampung mereka. Saat melewati rumah Awuwukha, ibu Awuwukha meneriaki pemuda tersebut dengan menghina kemaluannya. Pembawa pesan tersebut marah dan memukulkan kemaluannya ke tiang rumah. Ia lalu kembali ke Börönadu dengan keadaan masih marah. Beberapa hari kemudian, dia datang lagi ke Börönadu bersama serombonganbeberapa orangpemuda kampungnya untuk menuntaskanmembalas kemarahannya dengan membakar rumah sang pemuda dan saudaranya. Mereka juga membakar lumbung padi milik Laimba,seorang tokoh adat masyarakatbernama BörönaduLaimba. Si pemuda hanya bisa menyaksikan kejadian tersebut tanpa berbuat apa-apa.<ref name=":1" /> Di depan ibunya, pemuda tersebut bersumpah akan menuntut balas dengan memenggal kepala orang-orang yang terlibat dalam pembakaran tersebut. Meski tidak disetujui ibunya dan Laimba, dia nekat pergi untuk menuntutmemenuhi balasjanjinya kemenuju Susua. Beberapa hari kemudian, diasi pemuda pulang dengan membawa karung berisi belasan kepala manusia. diHal dalamini karung yang kemudian ditunjukkannya padamembuat Laimba. Ternyata Laimba tidak berkenan. Ia sebenarnya menghendaki musuhnya hidup-hidup karena takut jika kejadian tersebut akan memicuterjadi pertumpahan darah lanjutanselanjutnya. PendudukPara penduduk Susua merencanakanmenyusun pembunuhanrencana terhadapuntuk dirinyamembunuh sang pemuda, namun selalu gagal karena kekuatannya dalam bertarung. Kehebatan si pemuda tersebut kemudianpun tersiar sampai kedi seluruh penjuru Nias. Kehebatannyadan itu kemudiandia dikukuhkan sebagai tokoh melalui upacara ''owasa'', upacara tertinggi di masyarakat Nias. dan diaDia diberi gelar ''Awuwukha'' yang berarti 'jurang yang terjal'.{{Sfn|Sonjaya|2008|p=65|ps="Awuwukha adalah gelar yang diperoleh saat penyelenggaraan pesta tersebut. Nama itu berarti "jurang yang terjal" (...)"}} JikaPerkataan seseorang yang telah menunaikan ''owasa'', setiapsecara perkataannyaotomatis dengan sendirinyaakan menjadi hukum. Sejak saat itu, setiap perkataan Awuwukha harus diikuti, bahkan sampai menjelang kematiannya.<ref name=":1" /> SebelumMenjelang meninggalkematiannya, Awuwukha berpesan bahwa ia ingin ditemanidikuburkan olehbersama lima orang yang akan melayaninya di alam kubur. Masing-masing bertugas menyiapkan minum, menyiapkan makanan, membuat [[Tradisi bersirih|sirih pinang]], memijat, dan menjagai kuburnya. Anak-anaknya segera mencarikan lima kepala untuk penguburan Awuwukha.{{Sfn|Afif|2018|p=179|ps="Hal ini berarti anak-anak Awuwukha harus melakukan mangai binu, karena tak kuasa menolak wasiat leluhur."}}<ref name=":1" />
Sementara itu, di Nias bagian utara terdapat kisah tentang bersaudara Gondiu dan Latitia. Gondiu lahir di Boto Niha Yöu, sementara Latitia di Mazingö. Ketika mereka beranjak dewasa, mereka berselisih dan berencana untuk saling memburu kepala. Pada suatu hari, mereka berjanji untuk berduel di Gunung Botombawo yang terletak di tengah pulau. Mereka saling menyerang dari jarak jauh namun gagal. Ketika mereka berdua mendekat untuk saling menyerang lagi, entah bagaimana, tubuh mereka saling menempel sehingga tidak dapat bergerak. Mereka memutuskan untuk berdamai dan beristirahat. Mereka kemudian menanam pinang dan sirih untuk membuat campuran yang bisa dikunyah. Tanaman tesebut berbuah lebat dan mereka berhenti memburu kepala dengan beralih profesi sebagai petni.{{Sfn|Modigliani|1980|p=212-213|ps=}}
<references />
== Daftar Pustaka ==
{{Refbegin}}
{{Cite book|url=http://archive.org/details/kitabajayibalhin00buzu|title=Kitāb ʻajāyib al-Hind|last=Shahriyār|first=Buzurg bin|last2=Lith|first2=P. A. van der (Pieter Antonie)|last3=Devic|first3=L. Marcel|date=1883|publisher=Leide : Brill|others=Getty Research Institute|isbn=|location=|pages=|language=fr|ref={{sfnref|Shahriyār|Lith}}|url-status=live}}
{{Cite book|title=Famareso ngawalö huku föna awö gowe nifasindro (megalithkultur) ba danö Nias|last=Thomsen|first=M. G. T.|date=1976|publisher=Banua Niha Keriso Protestan (BNKP)|isbn=|location=Gunungsitoli|pages=|language=nia|ref={{sfnref|Thomsen|1976}}|url-status=live}}
[[Kategori:Nias]]
|