Kota Pekanbaru: Perbedaan antara revisi

[revisi terperiksa][revisi terperiksa]
Konten dihapus Konten ditambahkan
k ←Suntingan 114.5.210.90 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Lord Yeager
Tag: Pengembalian
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 72:
|footnotes =
|wakil walikota=Ayat Cahyadi}}
'''Kota Pekanbaru''' ([[Jawi]]: كوتا ڤكنبارو) adalah [[ibu kota]] dan kota terbesar di Provinsi [[Riau]], [[Indonesia]]. Kota ini merupakan salah satu sentra ekonomi terbesar di Pulau Sumatra,<ref name="Kompas">{{cite book|last=|first=|authorlink=|coauthors=|editor=|others=|title=Profil daerah kabupaten dan kota|url=|edition=|year=2001|publisher=Penerbit Buku Kompas|location=|id=ISBN 979-709-054-X|doi =|pages= }}</ref> dan termasuk sebagai kota dengan tingkat pertumbuhan, migrasi dan urbanisasi yang tinggi.<ref>Darmawati, (2008), ''Determinasi Registrasi Penduduk di Kota Pekanbaru'', Teroka Riau, Vol. VIII, No. 2, hlm. 61-71.</ref> Kota ini berawal dari sebuah [[Pakan (pasar)|pasar (''pekan'')]] yang didirikan di tepi [[Sungai Siak]] pada abad ke-18. Hari jadi kota ini ditetapkan pada tanggal 23 Juni 1784. Kota Pekanbaru tumbuh pesat dengan berkembangnya industri terutama yang berkaitan dengan [[minyak bumi]], serta pelaksanaan [[otonomi daerah]].
 
Pekanbaru mempunyai satu [[bandar udara internasional]], yaitu [[Bandar Udara Sultan Syarif Kasim II]] dan terminal bus antar kota dan antar provinsi Bandar Raya Payung Sekaki, serta dua pelabuhan di [[Sungai Siak]], yaitu Pelita Pantai dan Sungai Duku. Saat ini Kota Pekanbaru sedang berkembang pesat menjadi kota dagang yang multi-[[etnik]], keberagaman ini telah menjadi modal sosial dalam mencapai kepentingan bersama untuk dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakatnya.<ref>Zaenuddin, Dundin, (2005), ''Modal sosial dalam pengembangan budaya sipil komunitas etnik: studi kasus di Kota [[Manado]], [[Sulawesi Utara]] & [[Pekanbaru]], [[Riau]]'', Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, ISBN 979-3673-69-9.</ref>
Baris 78:
== Sejarah ==
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM De Sultan van Siak met rijksgroten in de afdeling Bengalis oostkust van Sumatra TMnr 60012313.jpg|250px|jmpl|kiri|[[Sultan Siak|Sultan Syarif Hasyim]] beserta Dewan Menteri serta Kadi Siak tahun 1888.]]
Perkembangan kota ini pada awalnya tidak terlepas dari fungsi [[Sungai Siak]] sebagai sarana transportasi dalam mendistribusikan hasil bumi dari pedalaman dan dataran tinggi [[Minangkabau]] ke wilayah pesisir [[Selat Malaka]]. Pada abad ke-18, wilayah Senapelan di tepi Sungai Siak, menjadi [[Pakan (pasar)|pasar (''pekan'')]] bagi para [[Saudagar Minangkabau|pedagang Minangkabau]].<ref>Sejarah Daerah Riau, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, [[Departemen Pendidikan dan Kebudayaan]], 1977</ref> Seiring dengan berjalannya waktu, daerah ini berkembang menjadi tempat permukiman yang ramai. Hal ini tak lepas dari peran [[Sultan Siak]] ke 4 [[Alamuddin dari Siak|Sultan Alamuddin Syah]] yang memindahkan pusat kekuasaan Siak dari [[Mempura, Siak|Mempura]] ke [[Senapelan, Pekanbaru|Senapelan]] pada tahun 1762 demi untuk menghindari campurtangan Belanda ke dalam urusan keluarga kerajaan, setelah sebelumnya beliau berhasil menaiki tahta dengan menggeser keponakannnya [[Ismail dari Siak|Sultan Ismail]] dengan bantuan Belanda. Pekan yang beliau bangun di tempat ini kemudian didukung oleh akses jalan yang menghubungkan dengan daerah-daerah penghasil lada, gambir, damar, kayu, rotan, dan lain-lain. Jalan tersebut menuju ke selatan sampai ke [[Teratak Buluh, Siak Hulu, Kampar|Teratak Buluh]] dan [[Buluh Cina, Siak Hulu, Kampar|Buluh Cina]] dan ke barat sampai ke [[Bangkinang]] terus ke Rantau Berangin. Pengembangan pekan ini kemudian dilanjutkan oleh putranya [[Muhammad Ali dari Siak|Sultan Muhammad Ali]]. Di zamannya, pekan baru ini menjadi bandar yang sangat ramai sehingga lama kelamaan nama '''Pekanbaru''' lebih dikenal daripada Senapelan.<ref>{{cite book|last=Lutfi, dkk|first=Muchtar|authorlink=|coauthors=|title=Sejarah Riau|year=1999|publisher=Biro Bina Sosial Setwilda Tk. I Riau|location=|id= }}</ref><ref name="sejarah"/> Pada tanggal [[23 Juni]] [[1784]], berdasarkan musyawarah "Dewan Menteri" dari [[Kesultanan Siak]], yang terdiri dari [[datuk]] empat suku (Pesisir, Limapuluh, Tanah Datar, dan Kampar), kawasan ini dinamai dengan Pekanbaru, dan dikemudian hari diperingati sebagai hari jadi kota ini<ref>{{cite book|last=Samin|first=S.M.|authorlink=|coauthors=|title=Dari kebatinan senapelan ke Bandaraya Pekanbaru: menelisik jejak sejarah Kota Pekanbaru, 1784-2005|year=2006|publisher=Pemerintah Kota Pekanbaru bekerjasama dengan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Riau dan Penerbit Alaf Riau|location=|id= }}</ref><ref name="sejarah"/>.
 
Berdasarkan ''Besluit van Het Inlandsch Zelfbestuur van Siak'' No.1 tanggal [[19 Oktober]] [[1919]], Pekanbaru menjadi bagian [[distrik]] dari [[Kesultanan Siak]]. Namun pada tahun [[1931]], Pekanbaru dimasukkan ke dalam wilayah [[Kampar Kiri, Kampar|Kampar Kiri]] yang dikepalai oleh seorang ''controleur'' yang berkedudukan di Pekanbaru dan berstatus ''landschap'' sampai tahun [[1940]]. Kemudian menjadi ibu kota ''Onderafdeling Kampar Kiri'' sampai tahun [[1942]].<ref name="Diah">{{cite book|last=Diah|first=M.|authorlink=|coauthors=Siregar, J.; Dakung, S.,|title=Dampak modernisasi terhadap hubungan kekerabatan daerah Riau|year=1986|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah|location=|id= }}</ref> Setelah pendudukan [[Kekaisaran Jepang|Jepang]] pada tanggal [[8 Maret]] [[1942]], Pekanbaru dikepalai oleh seorang gubernur militer yang disebut ''gokung''.