Angulimala: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HaEr48 (bicara | kontrib)
→‎Perilaku: copyedit
HaEr48 (bicara | kontrib)
→‎Perilaku: copyedit dan agar lebih teliti/akurat dengan tulisan en.wp. silakan diperiksa atau diperbaiki kalau ada yang salah
Baris 160:
Cerita Angulimala menggambarkan bagaimana para penjahat dapat terpengaruh oleh lingkungan psikososial dan lingkungan fisik mereka.{{sfn|Kangkanagme|Keerthirathne|2016|p=36}} [[Psikologi analitis|Psikolog analitis]] Dale Mathers berteori bahwa Ahiṃsaka mulai membunuh karena [[pengartian (psikologi)|harga dirinya]] telah runtuh. Ia tak lagi diapresiasi sebagai orang yang bertalenta dalam hal akademik. Sikapnya dapat disimpulkan bahwa "Aku tak memiliki harga diri; maka dari itu aku bisa membunuh. Jika aku membunuh, itu membuktikan bahwa aku tak memiliki harga diri".{{sfn|Mathers|2013|page=127}} Dalam menyimpulkan kehidupan Angulimala, Mathers menulis, {{nowrap|"ia adalah ... seorang figur}} yang menjembatani pemberian dan pencabutan nyawa."{{sfn|Mathers|2013|page=129}} Senada dengan hal tersebut, dengan merujuk kepada konsep psikologi tentang [[luka moral]], teolog John Thompson mendeskripsikan Angulimala sebagai seseorang yang dikhianati oleh seorang sosok berpengaruh, tetapi berhasil memulihkan prinsip moralnya yang terkikis maupun masyarakat yang menjadi korbannya.{{sfn|McDonald|2017|p=29}} Para korban luka moral memerlukan seorang penyembuh dan komunitas yang berjuang bersama-sama tapi melakukannya dengan cara yang aman; demikian pula Angulimala dapat pulih dari luka moralnya karena Sang Buddha menjadi pemandu spiritualnya, serta komunitas [[biksu]] ([[Sangha]]) yang menuntun hidup dalam kedisiplinan, sabar menghadapi kesukaran.{{sfn|Thompson|2017|p=182}} Thompson kemudian berpendapat bahwa cerita Angulimala dapat dipakai sebagai [[terapi naratif]]{{sfn|McDonald|2017|p=29}} dan menyebut etika yang terdapat dalam cerita ini sebagai pertanggungjawaban yang menginspirasi. Cerita tersebut bukan tentang diselamatkan, tetapi lebih kepada menyelamatkan seseorang dengan bantuan dari orang lain.{{sfn|Thompson|2017|p=189}}
 
Ahli etika [[David Loy]] menulis secara ekstensif tentang cerita Angulimala dan implikasinya terhadap sistem keadilan. Ia meyakini bahwa dalam [[etika Buddhis]], satu-satunya alasan seorang pelanggar/penjahat dihukum adalah untuk memperbaiki tingkah laku mereka. Jika seorang penjahat seperti Angulimala telah sadar untuk mengubah perilakunya sendiri, maka tak ada alasan untuk menghukumnya, bahkan sebagai pengelakantindakan pencegahan. Selain itu, Loy berpendapat bahwa cerita Angulimala tak mengandung bentuk [[keadilan restoratif]] maupun [[keadilan transformatif|transformatif]], sehingga cerita tersebut dianggap sebagai contoh keadilan yang "cacat".{{sfn|Loy|2009|p=1247}} Di sisi lain, mantan politikus dan ahli kesehatan masyarakat [[Mathura Shrestha]] mendeskripsikanmenyebut cerita Angulimala "mungkin merupakan konsep pertama dari keadilan transformatif", merujuk kepada pertobatan Angulimala dari kehidupan lamanya sebagai perampok, dan pemaafan yang ia terima dari para kerabat korban.{{sfn|Shrestha|2007}} SebagaiDalam penulistulisannya soaltentang [[hukuman mati]], cendekiawan Damien Horigan menyatakan bahwa [[rehabilitasi (penologi)|rehabilitasi]] adalah tema utama dari cerita Angulimala, dan rehabilitasi yang telah disaksikan merupakan alasan Raja Pasenadi tidak menghukum Angulimala.{{sfn|Horigan|1996|p=282}}
 
Dalam ritual pra-kelahiran di [[Sri Lanka]], saat Sutta Aṅgulimāla dibacakan untuk wanita hamil, merupakan suatu adat istiadat di sana untuk menaruh benda-benda sebagai lambang kesuburan dan reproduksi di sekeliling wanita tersebut, yangseperti berbahan baku daripotongan pohon kelapa besertadan periuk tanah liat.{{sfn|Van Daele|2013|pp=100, 102–3}} Para cendekiawan menekankan bahwa dalam mitologi di Asia Tenggara, terdapat kaitan antara sosok haus darah dengan tema [[kesuburan]].{{sfn|Langenberg|2013|p=351}}{{sfn|Wilson|2016|p=289}} Penumpahan darah dapat ditemukan dalam tindak kekerasan dan juga kelahiran anak, yang menjelaskan mengapa Angulimala digambarkan sebagai pembunuh sekaligus penyembuh yang berkenaan dengan kelahiran.{{sfn|Wilson|2016|p=289}}
 
Terkait cerita saatpertemuan Sang Buddha bertemudengan Angulimala, tokoh [[feminisme|feminis]] Liz Wilson menyimpulkan bahwa cerita tersebut adalah contoh kerja sama dan saling ketergantungan antara lawan jenis: Sang Buddha dan ibu Angulimala sama-sama mencoba untuk menghentikannya.{{sfn|Wilson|2016|pp=295–6}} Hal senada diungkapkan Thompson, bahwa kaum ibu memainkan peran penting dalam cerita tersebut, merujuk pada bagian saat sang ibu berusaha untuk menghentikan Angulimala, serta pertolongan Angulimala terhadap seorang ibu yang akan melahirkan. Selain itu, baik Sang Buddha maupun Angulimala mengambil peran keibuan dalam cerita tersebut.{{sfn|Thompson|2017|p=184}} Meskipun banyak cerita India kuno yang menghubungkan kaum wanita dengan sifat-sifat bebal dan lemah, cerita Angulimala mengakui sifat-sifat kewanitaan, dan Sang Buddha bertindak sebagai penasihat bijak untuk menerapkan sifat-sifat tersebut dengan cara yang konstruktif.{{sfn|Thompson|2017|pp=185–6}} Meskipun demikian, Thompson tak menganggap cerita tersebut menganjurkan [[feminisme]], tetapi lebih berpendapat bahwa cerita tersebut mengandung [[etika kepedulian]] yang feminis, yang berakar kepada agama Buddha.{{sfn|Thompson|2017|p=188}}
 
== Dalam budaya modern ==
Baris 170:
Sepanjang [[sejarah agama Buddha]], cerita Angulimala telah digambarkan ke dalam berbagai bentuk kesenian,{{sfn|Analayo|2008|p=135}} beberapa di antaranya dapat ditemukan di [[museum]] dan [[Situs bersejarah|situs cagar budaya]] Buddha. Dalam budaya modern, Angulimala masih memainkan peran penting.{{sfn|Thompson|2015|p=164}} Pada tahun 1985, biksu Theravāda kelahiran [[Inggris]] [[Ajahn Khemadhammo]] mendirikan "Aṅgulimāla", sebuah organisasi pelayanan [[kapelan]] Buddhis di penjara di Inggris.{{sfn|Fernquest|2011}}{{sfn|Harvey|2013|p=450}} Organisasi tersebut diakui oleh pemerintah Inggris sebagai perwakilan resmi dari agama Buddha dalam segala urusan terkait [[lembaga pemasyarakatan]] di Inggris, dan menyediakan kapelan, layanan konseling, ajaran agama Buddha, dan meditasi kepada para tahanan di seluruh Inggris, [[Wales]], dan [[Skotlandia]].{{sfn|Fernquest|2011}} Nama organisasi tersebut merujuk kepada kekuatan transformasi yang dicontohkan dalam cerita Angulimala.{{sfn|Wilson|2016|p=286}}{{sfn|Thompson|2015|p=164}} Menurut situs web organisasi tersebut, "Cerita Angulimala mengajarkan kita bahwa peluang meraih pencerahan dapat terjadi dalam keadaan yang sangat ekstrem, bahwa orang-orang mampu dan melakukan perubahan, serta bahwa orang-orang sangat dipengaruhi oleh persuasi dan yang lebih penting ialah percontohan."{{sfn|Khemadhammo|2018}}
 
Dalam budaya populer, legenda Angulimala telah meraih perhatian luas. Cerita tersebut telah menjadi subjek utama dari sekurang-kurangnya tiga film.{{sfn|Thompson|2015|p=164}} Pada tahun 2003, sutradara asal [[Thailand]], [[Suthep Tannirat]] berupaya merilis film berjudul ''[[Angulimala (film 2003)|Angulimala]]''. Namun, lebih dari 20 organisasi Buddha [[Konservatisme|konservatif]] di Thailand melayangkan protes karena film tersebut dianggap menyimpang dari ajaran dan sejarah agama Buddha, serta menampilkan pengaruh [[Agama Hindu|Hindu]] dan [[teisme]] yang tak ditemukan dalam kitab-kitab Buddhis.{{sfn|Ngamkham 1|2003}} [[Penyensoran di Thailand#Film|Badan penyensoran film Thai]] menolak permintaan untuk mencekal film tersebut, dengan alasan bahwa film tersebut tak menyimpang dari ajaran Buddha. Mereka menyatakan bahwa sutradara telah memotong dua adegan berunsur kekerasan.{{sfn|Ngamkham 2|2003}} Kelompok-kelompok konservatif merasa tak senang dengan penggambaran Angulimala sebagai pembunuh brutal, tanpa menampilkan cerita yang menjelaskan mengapa ia menjadi penjahat semacam itu. Namun, Tannirat membela dirinya sendiri dengan berpendapat bahwa meskipun ia mengabaikan penafsiran dari ulasan para cendekiawan, ia mengikuti sumber-sumber Buddhis terdahulu secaradengan pastiteliti.{{sfn|Ngamkham 1|2003}} Pilihan Tannirat untuk memakai sumber sejarah awal saja, alih-alih cerita populer dari ulasan para cendekiawan, merupakan hal yang menimbulkan protes tersebut.{{sfn|Thompson|2015|p=164}}{{sfn|Thompson|2017|page=175 n.15}}
 
Angulimala juga menjadi subjek karya sastra.{{sfn|Thompson|2015|p=168}} Pada tahun 2006, aktivis perdamaian [[Satish Kumar]] menulis kembali cerita Angulimala dalam buku pendeknya ''The Buddha and the Terrorist''. Buku tersebut membahas tentang [[perang melawan terorisme]], dengan mereka ulang dan memadukan berbagai cerita tentang Angulimala, yang dideskripsikan sebagai ''teroris''.{{sfn|Thompson|2015|p=168}} Buku tersebut mempertegas cerita saat Sang Buddha menerima Angulimala dalam [[sangha]], yang secaraberakibat efektif menghindarkanterhindarnya hukuman dari Raja Pasenadi. Dalam buku Kumar, tindakan tersebut berujung pada kemarahan masyarakat, yang menuntut penahanan Angulimala dan Sang Buddha. Pasenadi mengadakan pengadilan terbuka di hadapan warga desa dan dewan kerajaan, agar majelis dapat memutuskan apa yang sebaiknya dilakukan terhadap kedua terdakwa. Namun pada akhirnya, majelis memutuskan untuk membebaskan keduanya, setelah Angulimala mengakui kejahatannya dan Pasenadi memberi pidato yang menegaskan pengampunan alih-alih hukuman.{{sfn|Thompson|2015|p=168}} Pelintiran cerita tersebut memberikan pemahaman berbeda terhadap Angulimala, yang tindak kekerasannya berujung pada pengadilan, serta masyarakat yang lebih adil dan tanpa kekerasan.{{sfn|Thompson|2015|p=169}} Sebagai penulis tentang pustaka Buddhis dan ulasan buku Kumar, Thompson membayangkan bahwa ''ahiṃsa'' dalam agama Buddha mungkin memiliki pemahaman yang berbeda menurut konteks yang berbeda, dan sering kali tak berarti diam secara pasif, atau ''tanpa kekerasan'' sebagaimana pemahaman pada umumnya.{{sfn|Thompson|2015|pp=172–3}}{{sfn|Thompson|2017|p=188}}
 
== Catatan penjelas ==