Orang Indo: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k clean up, replaced: atau pun → ataupun |
k Bot: Memperbaiki referensi kosong, menggunakan nama referensi untuk menghindari duplikat, (FAQ) |
||
Baris 32:
Mereka dapat dipisahkan dalam dua kelompok: '''''trekkers''''' dan '''''blijvers'''''. ''Trekkers'' (atau masa kini disebut [[ekspatriat]]) adalah orang Eropa yang segera berkeinginan kembali ke Eropa setelah tugasnya selesai dan ''blijvers'' adalah mereka yang mampu beradaptasi, lalu menetap di Hindia Belanda. Blijvers ini banyak yang beristri orang setempat (dijuluki ''Nyai'', seperti dalam legenda [[Nyai Dasima]]) atau orang [[Tionghoa]]. Kedua kelompok ini juga berbeda orientasinya. Para trekkers cenderung mempertahankan nilai-nilai Eropa (barat) sehingga selalu eksklusif dan elitis, sementara para blijvers cenderung meleburkan diri ke dalam nilai-nilai lokal, meskipun mereka tetap merupakan representasi kultur Eropa. Namun, orang Belanda secara keseluruhan pada umumnya lebih banyak terserap dalam nilai-nilai setempat daripada sebaliknya.<ref>Osborne M 2004. ''Southeast Asia: An Introductory History''. Allen & Unwin Australia. hal 53</ref>
Mereka inilah yang menjadi inti masyarakat kelas menengah berciri kosmopolitan di Batavia pada masa itu. Orang-orang ini takut mandi, suka minum-minum (arak Batavia terkenal terbaik di seluruh Asia), dan suka bertaman. Contoh dari orang Eropa-Indonesia adalah [[Pieter Elberfeld]] (Erberfeld, menurut Vlekke<ref name="
Pengaruh VOC sebenarnya hanya kuat di Batavia, sebagian Jawa, serta di Maluku & Minahasa. Di wilayah-wilayah ini mulai muncul perbedaan kelas sosial berdasarkan warna kulit, meskipun belum dilembagakan secara hukum. Masyarakat Eropa dan keturunannya menempati kawasan terpisah dari kelompok lainnya. Di dalam masyarakat ini juga mulai terjadi segregasi. Kaum trekkers serta blijvers yang tidak memiliki darah campuran (disebut "Belanda totok") menganggap dirinya lebih "tinggi" daripada mereka yang memiliki darah campuran. Kaum campuran (''miesling'') ini biasanya dipekerjakan di kantor-kantor dagang untuk membantu tugas-tugas pencatatan atau lapangan. Pendidikan mereka kurang diperhatikan dan banyak bergaul dengan para budak. Sebagai akibatnya, mereka banyak menyerap budaya lokal dan kurang memiliki kemampuan ber[[bahasa Belanda]] yang memadai. Bahkan tercatat bahwa pada akhir abad ke-18 banyak keturunan Belanda/Eropa yang lebih fasih berbahasa kreol-Portugis atau Melayu Pasar daripada bahasa Belanda. Dari mereka ini kemudian muncul dialek bahasa Belanda yang khas: [[Indisch Nederlands]], dan sejenis bahasa kreol yang dikenal sebagai [[bahasa Pecok]]. Pada masa ini pula sejumlah budak lokal yang dibebaskan dan kemudian memeluk agama Kristen lambat-laun ikut terserap dalam masyarakat Eropa-Indonesia.
|