Sejarah kelapa sawit di Indonesia: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
→Era Kemerdekaan: update pertambahan luas perkebunan 1980-2006 |
ubah sistematika (perusahaan perkebunan tertua masuk sub judul Era Hindia Belanda |
||
Baris 24:
Hingga tahun 1940 total area luas perkebunan kelapa sawit di Hindia Belanda telah mencapai 100.000 hektare yang dimiliki oleh 60 perusahaan. Kapal-kapal tanker berisikan minyak kelapa sawit terus-menerus dikirim dari Aceh, Asahan, dan Lampung menuju Rotterdam, Belanda, untuk memenuhi kebutuhan pabrik sabun dan margarin di Eropa.<ref name=":5" />
=== Perkebunan kelapa sawit tertua ===▼
== Era pendudukan Jepang ==▼
Pada zaman pendudukan Jepang (1942-1945), perkebunan kelapa sawit Indonesia menurun tajam. Jumlah lahan perkebunan kelapa sawit menyusut 16% yang membuat produksi minyak sawit anjlok menjadi 56 ribu ton pada tahun 1948/1949, padahal pada tahun 1940, Indonesia dapat mengekspor sebanyak 250 ribu ton dan baru meningkat kembali menjadi 200 ribu ton pada tahun 1950-an.<ref>{{Cite web|url=https://gapki.id/news/1283/sekilas-perjalanan-sawit-di-indonesia|title=Sekilas Perjalanan Sawit di Indonesia|last=|first=|date=2016-09-09|website=Indonesian Palm Oil Association (GAPKI IPOA)|language=id|access-date=2020-04-04}}</ref>▼
==== Sime Darby Plantation ====▼
Ketika itu, Jepang juga mengambil alih penguasaan perkebunan-perkebunan di Sumatra Timur dari pengusaha-pengusaha kecil, sehingga mengubah struktur kepemilikan. Oleh Jepang, hasil kelapa sawit bukan untuk diekspor namun untuk memenuhi kebutuhan perang. Sayangnya, blokade yang dilakukan pasukan Sekutu terhadap kapal-kapal Jepang di Selat Malaka membuat Jepang tidak bisa mengirim hasil kelapa sawit hingga menumpuk di gudang-gudang perkebunan.<ref name=":8" />▼
== Era Kemerdekaan ==▼
Pada era kemerdekaan, pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan Jepang, termasuk perusahaan perkebunan. Namun, proses nasionalisasi ini belum mampu meningkatkan produksi kelapa sawit secara besar-besaran mengingat masih terjadinya beberapa pemberontakan di daerah dan keterbatasan pengetahuan petani.<ref name=":5" />▼
Jumlah perusahaan Belanda yang dinasionalisasi pada awalnya adalah perusahaan perkebunan tembakau berjumlah 38 perusahaan, kemudian ditambah lagi 205 perusahaan perkebunan dengan mayoritas adalah perkebunan karet, disusul teh, kopi, tebu berikut pabrik gulanya, kelapa, kelapa sawit, cengkih dan lain sebagainya. Pada tahun 1960, pemerintah Indonesia kembali menasionalisasi 22 perusahaan perkebunan pala. Seluruh perusahaan perkebunan hasil nasionalisasi kemudian disatukan di bawah Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) Baru yang berdiri pada tahun 1957.<ref name=":9">{{Cite web|url=https://historia.id/politik/articles/inilah-bidang-bidang-usaha-yang-dinasionalisasi-6joz1|title=Inilah Bidang-bidang Usaha yang Dinasionalisasi|last=|first=|date=|website=Historia|language=id|access-date=2020-04-08}}</ref>▼
PPN-Lama yang berjumlah 40 perusahaan perkebunan yang dinasionalisasi pada September 1950, kemudian digabungkan dengan PPN-Baru di bawah naungan Badan Pimpinan Umum Perusahaan Perkebunan Negara (BPU-PPN) dengan pembagian berdasarkan komoditas, yakni karet, gula, tembakau, dan aneka tanaman, dengan total keseluruhan 88 PPN. Pada tahun 1967, BPU-PPN dibubarkan dan pemerintah mengubah status perusahaan perkebunan PPN menjadi perseroan terbatas dengan membaginya menjadi PT Perkebunan (PTP) I hingga PT Perkebunan IX dan selanjutnya dipisahkan menjadi PTPN I hingga PTPN XIV.<ref name=":9" /> ▼
PT Perkebunan Nusantara I adalah perusahaan hasil nasionalisasi dari perusahaan perkebunan swasta milik Hindia Belanda dan Jepang. Perusahaan hasil nasionalisasi ini diberi nama PPN Kesatuan Aceh berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 142 tahun 1961 dan berganti nama menjadi PNP-1 berdasarkan PP No 14 Tahun 1968. Baru pada 2 Mei 1981, perusahaan berganti nama menjadi PT Perkebunan-I dan menjadi PT Perkebunan Nusantara I pada tanggal 14 Februari 1996, hasil penggabungan PT Perkebunan I, PT Cot Girek Baru, PT Perkebunan V dan PKS Cot Girek PT Perkebunan IX.<ref>{{Cite web|url=https://ptpn1.co.id/tentang-kami|title=Sejarah PTPN 1|last=|first=|date=|website=PTPN1.co.id|access-date=4 April 2020}}</ref>▼
Setelah Indonesia merdeka, perkembangan pesat perkebunan kelapa sawit baru terjadi pada tahun 1980-an. Pada awal tahun 1980-an, luas perkebunan kelapa sawit baru mencapai 200.000 hektare, yang umumnya adalah kebun-kebun peninggalan kolonial [[Hindia Belanda]]. Melalui program [[Perkebunan Inti Rakyat]] (PIR) Transmigrasi dan program kredit Pengembangan Besar Swasta Nasional (PBSN), perkebunan kelapa sawit berkembang pesat.<ref name=":0" />▼
Pemerintah mengembangkan empat tipe program Perkebunan Inti Rakyat, yakni pertama, PIR khusus dan lokal tersebar di 12 provinsi pada tahun 1980. Hasilnya tercipta lahan perkebunan kelapa sawit baru seluas 231.535 hektare, terdiri atas 67.754 hektare perkebunan inti dan 163.781 hektare perkebunan plasma. Kedua adalah program PIR Transmigrasi yang dimulai pada tahun 1986 di 11 provinsi. Program ini menghasilkan perkebunan kelapa sawit baru seluas 566 ribu hektare terdiri atas 70% perkebunan plasma dan 30% berupa perkebunan plasma. Ketiga adalah program PIR Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (PIR-KKPA) dengan melibatkan 74 Koperasi Unit Desa. Keempat adalah PIR Revitalisasi Perkebunan yang dimulai pada tahun 2016 melalui PMK No 117/PKM.06/2006 dengan memberikan subsidi bunga kredit untuk pengembangan energi nabati dan revitalisasi perkebunan rakyat. Program PIR ini menghasilkan peningkatan area perkebunan kelapa sawit milik rakyat dari 6 ribu hektare pada tahun 1980 menjadi 5,81 juta hektare tahun 2019.<ref>{{Cite web|url=https://www.wartaekonomi.co.id/read278735/pir-sawit-sejarahnya-gimana-sih|title=PIR Sawit? Sejarahnya Gimana, Sih?|date=2020-03-30|website=Warta Ekonomi|language=id|access-date=2020-04-06}}</ref>▼
Program Pengembangan Besar Swasta Nasional (PBSN) dirintis pada tahun 1977 dan terbagi menjadi tiga tahapan, yakni PBSN I periode 1977-1981, PBSN II periode1981-1986 dan PBSN III periode 1986-1990.<ref>{{Cite web|url=https://sawitindonesia.com/industri-minyak-sawit-indonesia-berkelanjutan-bagian-xxv/|title=Industri Minyak Sawit Indonesia Berkelanjutan (Bagian XXV)|last=|first=|date=2018-09-16|website=Majalah Sawit Indonesia|language=id|access-date=2020-04-03}}</ref>▼
Luas lahan perkebunan sawit pada tahun 1979-1980 tercatat masih 289.526 hektare yang didominasi oleh perusahaan perkebunan besar. Luas lahan tersebut kemudian bertambah menjadi 5,958 juta hektare pada tahun 2006, dengan rincian perkebunan rakyat seluas 2.120.338 hektare, perkebunan besar negara seluas 696.699 hektare, dan perkebunan besar swasta seluas 3.141.02 hektare. Adapun produksi CPO yang dihasilkan mencapai 14,2 juta ton.<ref>{{Cite web|url=https://www.kppu.go.id/docs/Positioning_Paper/sawit.pdf|title=Evaluasi Kebijakan Perkebunan Kelapa Sawit|last=|first=|date=|website=KPPU.go.id|access-date=10 April 2020}}</ref>▼
▲== Perkebunan kelapa sawit tertua ==
▲=== Sime Darby Plantation ===
Kehadiran Sime Darby Plantation terjadi pada tahun 1907, ketika Crosfield, Lampard & Co, mengakuisisi lahan perkebunan di Malacca, Selangor, dan Perak, seluas 6.673 hektare dan mengakuisisi lahan perkebunan Begerbang di Sumatra. Sebelumnya, Harrisons & Crosfield mengakuisisi Pataling Company, perusahaan perkebunan karet di Selangor, pada tahun 1903. Pada tahun yang sama, Guthrie & Co kemudian bekerja sama dengan Scott & Co mendirikan perusahaan patungan bernama Guthrie and Company Ltd dengan modal sebesar RM 1 juta.<ref>{{Cite web|url=http://www.simedarbyplantation.com/corporate/history/1900--1999|title=History|website=Sime Darby Plantation|language=en|access-date=2020-04-10}}</ref>
Pada tahun 1910, William Middleton Sime, Henry d'Esterre Darby dan Herbert Milford Darby mendirikan Sime, Darby & Co di Malacca. Pada tahun 1912, Guthrie menjadi agen perkebunan di Borneo (Kalimantan) dan Sumatra, termasuk perusahaan asuransi, bank, distributor sepeda motor, mobil dan Singapore Electric Tramway Company. Baru pada tahun 1920, Guthrie and Co mengakuisisi lahan perkebunan di Mengkibol, Johor, dan menanaminya dengan kelapa sawit.<ref>{{Cite web|url=http://www.simedarby.com/company/history|title=History {{!}} Sime Darby Berhad|website=www.simedarby.com|access-date=2020-04-10}}</ref>
==== Socfin Indonesia ====
Perusahaan perkebunan yang kini bernama Socfin Indonesia (Socfindo) didirikan pada tahun 1908 oleh seorang teknisi agronomi asal Belgia bernama Adrien Hallet (1867-1925). Setelah sukses menjadi pengusaha perkebunan di Kongo, Afrika, Hallet memutuskan pergi ke Malaysia. Di negeri tersebut, Hallet mendirikan perusahaan bernama La Compagnie du Selangor pada tahun 1906.<ref name=":7">{{Cite web|url=https://www.socfin.com/en/key-dates|title=Key dates Socfin|last=|first=|date=|website=www.socfin.com|language=en|access-date=2020-04-05}}</ref>
Baris 66 ⟶ 44:
Di Indonesia, perusahaan ini kemudian terkena nasionalisasi pada tahun 1965. Baru pada tahun 1968, PT Socfin Indonesia berdiri melalui kerja sama patungan antara Plantation Nord Sumatra (PNS Ltd) sebesar 60% dan Republik Indonesia sebesar 40%. Setelah itu, Socfindo baru kembali membuka lagi area perkebunan baru di Sumatra Utara, yakni di Bangun Bandar/Tanjung Maria dan Aek Loba/Padang Pulo (1970), Aek Pamienke (1979), dan Tanah Gambus/Lima Puluh (1982).<ref name=":6" />Kepemilikan saham tersebut kembali berubah menjadi PNS Ltd 90% dan Republik Indonesia sebesar 10% pada tahun 2001.<ref name=":6" />
==== PP London Sumatra Indonesia ====
Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia (dikenal dengan Lonsum) berdiri pada tahun 1906 oleh Harrisons & Crosfield Plc yang berbasis di London, Inggris. Meski sudah memiliki diversifikasi perkebunan tanaman karet, teh, dan kakao, Lonsum pada awal kemerdekaan masih mengkonsentrasikan lini bisnisnya pada tanaman karet, sedangkan kelapa sawit baru mulai produksi pada tahun 1980-an.<ref name=":3">{{Cite web|url=https://www.londonsumatra.com/content.aspx?code=10000000|title=Profil Lonsum|last=|first=|date=|website=www.londonsumatra.com|access-date=2020-04-04}}</ref>
Pada tahun 1994, Harrisons & Crosfield menjual 100% kepemilikan sahamnya di Lonsum kepada PT Pan London Sumatra Plantation. Indofood Agri Resources Ltd melalui PT Salim Ivomas Pratama kemudian menguasai Lonsum pada Oktober 2007.<ref name=":3" />
==== Bakrie Sumatera Plantations ====
{{Lihat juga|Bakrie Sumatera Plantations}}
[[Berkas:Schöma CFL45B (4872 A).jpg|jmpl|Sebuah gerbong kereta api tipe Schoma CFL45B (4872A) melintasi jalur kereta api peninggalan kolonial Hindia Belanda di perkebunan kelapa sawit PT Bakrie Sumatera Plantations, di Bunut, Kecamatan Kota Kisaran Barat, Asahan, Sumatra Utara.]]
Baris 83 ⟶ 61:
Perusahaan memiliki lima pabrik pengolahan kelapa sawit, berkapasitas 225 metrik ton, masing-masing dua pabrik di Sumatra Uatra, satu pabrik di Sumatra Barat, dan dua pabrik di Jambi. Selain itu ada lima pabrik pengolahan oleo chemical, yakni satu pabrik pengolahan Fatty Acid FSC berkapasitas 52.800 metrik ton per tahun di Tanjung Morawa, Sumatra Utara dan empat pabrik pengolahan fatty acid di Kuala Tanjung, Sumatra Utara, yakni fatty acid I berkapasitas 99 ribu metrik ton/tahun, pabrik pengolahan fatty alcohol I berkapasitas 33 ribu metrik ton/tahun, pabrik pengolahan fatty acid II berkapasitas 82.500 metrik ton/tahun, dan pabrik pengolahan fatty alcohol II berkapasitas 99 ribu metrik ton/tahun.<ref name=":2" />
▲== Era pendudukan Jepang ==
▲Pada zaman pendudukan Jepang (1942-1945), perkebunan kelapa sawit Indonesia menurun tajam. Jumlah lahan perkebunan kelapa sawit menyusut 16% yang membuat produksi minyak sawit anjlok menjadi 56 ribu ton pada tahun 1948/1949, padahal pada tahun 1940, Indonesia dapat mengekspor sebanyak 250 ribu ton dan baru meningkat kembali menjadi 200 ribu ton pada tahun 1950-an.<ref>{{Cite web|url=https://gapki.id/news/1283/sekilas-perjalanan-sawit-di-indonesia|title=Sekilas Perjalanan Sawit di Indonesia|last=|first=|date=2016-09-09|website=Indonesian Palm Oil Association (GAPKI IPOA)|language=id|access-date=2020-04-04}}</ref>
▲Ketika itu, Jepang juga mengambil alih penguasaan perkebunan-perkebunan di Sumatra Timur dari pengusaha-pengusaha kecil, sehingga mengubah struktur kepemilikan. Oleh Jepang, hasil kelapa sawit bukan untuk diekspor namun untuk memenuhi kebutuhan perang. Sayangnya, blokade yang dilakukan pasukan Sekutu terhadap kapal-kapal Jepang di Selat Malaka membuat Jepang tidak bisa mengirim hasil kelapa sawit hingga menumpuk di gudang-gudang perkebunan.<ref name=":8" />
▲== Era Kemerdekaan ==
▲Pada era kemerdekaan, pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan Jepang, termasuk perusahaan perkebunan. Namun, proses nasionalisasi ini belum mampu meningkatkan produksi kelapa sawit secara besar-besaran mengingat masih terjadinya beberapa pemberontakan di daerah dan keterbatasan pengetahuan petani.<ref name=":5" />
▲Jumlah perusahaan Belanda yang dinasionalisasi pada awalnya adalah perusahaan perkebunan tembakau berjumlah 38 perusahaan, kemudian ditambah lagi 205 perusahaan perkebunan dengan mayoritas adalah perkebunan karet, disusul teh, kopi, tebu berikut pabrik gulanya, kelapa, kelapa sawit, cengkih dan lain sebagainya. Pada tahun 1960, pemerintah Indonesia kembali menasionalisasi 22 perusahaan perkebunan pala. Seluruh perusahaan perkebunan hasil nasionalisasi kemudian disatukan di bawah Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) Baru yang berdiri pada tahun 1957.<ref name=":9">{{Cite web|url=https://historia.id/politik/articles/inilah-bidang-bidang-usaha-yang-dinasionalisasi-6joz1|title=Inilah Bidang-bidang Usaha yang Dinasionalisasi|last=|first=|date=|website=Historia|language=id|access-date=2020-04-08}}</ref>
▲PPN-Lama yang berjumlah 40 perusahaan perkebunan yang dinasionalisasi pada September 1950, kemudian digabungkan dengan PPN-Baru di bawah naungan Badan Pimpinan Umum Perusahaan Perkebunan Negara (BPU-PPN) dengan pembagian berdasarkan komoditas, yakni karet, gula, tembakau, dan aneka tanaman, dengan total keseluruhan 88 PPN. Pada tahun 1967, BPU-PPN dibubarkan dan pemerintah mengubah status perusahaan perkebunan PPN menjadi perseroan terbatas dengan membaginya menjadi PT Perkebunan (PTP) I hingga PT Perkebunan IX dan selanjutnya dipisahkan menjadi PTPN I hingga PTPN XIV.<ref name=":9" />
▲PT Perkebunan Nusantara I adalah perusahaan hasil nasionalisasi dari perusahaan perkebunan swasta milik Hindia Belanda dan Jepang. Perusahaan hasil nasionalisasi ini diberi nama PPN Kesatuan Aceh berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 142 tahun 1961 dan berganti nama menjadi PNP-1 berdasarkan PP No 14 Tahun 1968. Baru pada 2 Mei 1981, perusahaan berganti nama menjadi PT Perkebunan-I dan menjadi PT Perkebunan Nusantara I pada tanggal 14 Februari 1996, hasil penggabungan PT Perkebunan I, PT Cot Girek Baru, PT Perkebunan V dan PKS Cot Girek PT Perkebunan IX.<ref>{{Cite web|url=https://ptpn1.co.id/tentang-kami|title=Sejarah PTPN 1|last=|first=|date=|website=PTPN1.co.id|access-date=4 April 2020}}</ref>
▲Setelah Indonesia merdeka, perkembangan pesat perkebunan kelapa sawit baru terjadi pada tahun 1980-an. Pada awal tahun 1980-an, luas perkebunan kelapa sawit baru mencapai 200.000 hektare, yang umumnya adalah kebun-kebun peninggalan kolonial [[Hindia Belanda]]. Melalui program [[Perkebunan Inti Rakyat]] (PIR) Transmigrasi dan program kredit Pengembangan Besar Swasta Nasional (PBSN), perkebunan kelapa sawit berkembang pesat.<ref name=":0" />
▲Pemerintah mengembangkan empat tipe program Perkebunan Inti Rakyat, yakni pertama, PIR khusus dan lokal tersebar di 12 provinsi pada tahun 1980. Hasilnya tercipta lahan perkebunan kelapa sawit baru seluas 231.535 hektare, terdiri atas 67.754 hektare perkebunan inti dan 163.781 hektare perkebunan plasma. Kedua adalah program PIR Transmigrasi yang dimulai pada tahun 1986 di 11 provinsi. Program ini menghasilkan perkebunan kelapa sawit baru seluas 566 ribu hektare terdiri atas 70% perkebunan plasma dan 30% berupa perkebunan plasma. Ketiga adalah program PIR Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (PIR-KKPA) dengan melibatkan 74 Koperasi Unit Desa. Keempat adalah PIR Revitalisasi Perkebunan yang dimulai pada tahun 2016 melalui PMK No 117/PKM.06/2006 dengan memberikan subsidi bunga kredit untuk pengembangan energi nabati dan revitalisasi perkebunan rakyat. Program PIR ini menghasilkan peningkatan area perkebunan kelapa sawit milik rakyat dari 6 ribu hektare pada tahun 1980 menjadi 5,81 juta hektare tahun 2019.<ref>{{Cite web|url=https://www.wartaekonomi.co.id/read278735/pir-sawit-sejarahnya-gimana-sih|title=PIR Sawit? Sejarahnya Gimana, Sih?|date=2020-03-30|website=Warta Ekonomi|language=id|access-date=2020-04-06}}</ref>
▲Program Pengembangan Besar Swasta Nasional (PBSN) dirintis pada tahun 1977 dan terbagi menjadi tiga tahapan, yakni PBSN I periode 1977-1981, PBSN II periode1981-1986 dan PBSN III periode 1986-1990.<ref>{{Cite web|url=https://sawitindonesia.com/industri-minyak-sawit-indonesia-berkelanjutan-bagian-xxv/|title=Industri Minyak Sawit Indonesia Berkelanjutan (Bagian XXV)|last=|first=|date=2018-09-16|website=Majalah Sawit Indonesia|language=id|access-date=2020-04-03}}</ref>
▲Luas lahan perkebunan sawit pada tahun 1979-1980 tercatat masih 289.526 hektare yang didominasi oleh perusahaan perkebunan besar. Luas lahan tersebut kemudian bertambah menjadi 5,958 juta hektare pada tahun 2006, dengan rincian perkebunan rakyat seluas 2.120.338 hektare, perkebunan besar negara seluas 696.699 hektare, dan perkebunan besar swasta seluas 3.141.02 hektare. Adapun produksi CPO yang dihasilkan mencapai 14,2 juta ton.<ref>{{Cite web|url=https://www.kppu.go.id/docs/Positioning_Paper/sawit.pdf|title=Evaluasi Kebijakan Perkebunan Kelapa Sawit|last=|first=|date=|website=KPPU.go.id|access-date=10 April 2020}}</ref>
== Perkebunan kelapa sawit terbesar ==
|