Drumblek: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 15:
Keseriusan latihan dari warga Desa Pancuran membuahkan hasil ketika tampil dalam acara Hari Ulang Tahun ke-41 Republik Indonesia. Drumblek dari Desa Pancuran menarik perhatian para penonton, bahkan sampai sekarang menjadi peserta yang dinantikan oleh masyarakat setiap diadakan berbagai acara kesenian di Kota Salatiga.{{sfnp|Humas Sekretariat DPRD Kota Salatiga|2014|p=22|ps=}} Saat itu, drumblek hadir untuk pertama kalinya sebagai wujud apresiasi terhadap kesenian rakyat. Didik dan warga Desa Pancuran ingin menciptakan sebuah inovasi baru, sekaligus memperkenalkan budaya Kota Salatiga melalui drumblek.{{sfnp|Susanto|2016|p=75|ps=}}
 
[[Berkas:Barisan Theklek Drumblek Gempar.jpg|al=|jmpl|280x280px|Barisan ''theklek'' Drumblek Gempar ketika tampil dalam festival kesenian Kota Salatiga tahun 1990-an ({{harvnb|Supangkat|2014||p=32}}).]]
Dengan mengenakan kostum ala kadarnya dan ''theklek'' (bahasa Jawa: sandal yang berasal dari kayu), Drumblek Tinggal Kandas mengusung tema yang berbau politik, tetapi dikemas tidak terlalu vulgar, yaitu “jika tak dapatku sumbangkan bunga pada bangsa, sebutir pasir pun jadi”.{{sfnp|Rohman|2019|p=14|ps=}} Ciri tersebut mengantarkan warga Desa Pancuran meraih penghargaan dari [[Museum Rekor Dunia Indonesia|MURI]] (Museum Rekor Dunia Indonesia) untuk kategori pawai menggunakan ''theklek'' dengan peserta terbanyak.{{sfnp|Supangkat|2014|p=16|ps=}} Desa Pancuran kemudian tidak hanya dikenal sebagai pencetus drumblek saja, tetapi juga dikenal sebagai barisan ''theklek'' sebagai ciri khasnya''.{{sfnp|Supangkat|2014|p=8|ps=}}''