Jawanisasi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
kTidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
Baris 17:
</ref>
 
Akan tetapi, istilah "Penjawaan" tidak semata digunakan untuk menggambarkan proses ke luar, tetapi juga proses ke dalam. Istilah ini dapat pula menggambarkan adopsi dan asimilasi pengaruh sosial-budaya asing ke dalam unsur-unsur budaya Jawa. Berbagai pengaruh asing ini "dijawakan", yaitu ditafsirkan dan diterapkan sesuai dengan kerangka acuan, gaya, kebutuhan, dan kondisi sosial-budaya Jawa. Penerapan [[wiracarita]] Hindu (seperti [[Ramayana]] dan [[Mahabharata]]) dan unsur-unsur budaya [[Hindu]]-[[Buddha]] dari [[India]] pada abad ke-5 sampaihingga abad ke-15 di Jawa, dan kemudian penerapan ajaran [[Islam]] yang diperkenalkan oleh [[Wali Songo]] ke dalam budaya Jawa pada abad ke-15, adalah contoh yang jelas dari proses ini.
 
Penggalakan dan penyebaran unsur-unsur budaya Jawa, seperti [[bahasa Jawa]], arsitektur, [[Masakan Jawa|seni kuliner]], [[kebaya]], [[batik]], [[wayang]], [[gamelan]] dan [[keris]] juga dapat dilihat sebagai perwujudan dari proses Jawanisasi. Migrasi orang Jawa untuk menetap di luar tanah air tradisional mereka di [[Jawa Tengah]], [[Yogyakarta]], dan [[Jawa Timur]] ke daerah-daerah lain di Indonesia ([[Sumatra]], [[Kalimantan]], [[Papua Barat|Papua]], dll.dan lain-lain), [[Semenanjung Malaya]] (khususnya [[Johor]]), atau [[Suriname]], juga merupakan faktor penyumbang proses Jawanisasi.
 
== Perwujudan ==
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Wajangfiguur van karbouwenhuid voorstellende een pauzeteken TMnr 4551-27.jpg|jmpl|ka|Ekspresi budaya Jawa, seperti [[wayang]] dan [[gamelan]] sering kali dipergunakan untuk mempromosikan keunggulan budaya Jawa.]]
Hegemoni atau dominasi budaya Jawa ini bisa terwujud dalam berbagai aspek. Seperti fisik melalui penyebaran permukiman diaspora Jawa di luar tanah air tradisional mereka di Jawa. Dalam aspek spiritual dan perilaku, proses Jawanisasi meliputi penerapan budaya dan nilai-nilai Jawa; seperti obsesi akan kehalusan dan keanggunan (Jawa: ''alus''), sopan santun, ketidaklangsungan, enggan berterus terang, pengendalian emosional, dan perhatian akan status sosial seseorang. Nilai-nilai Jawa menjunjung tinggi keselarasan dan keteraturan tatanan sosial, mereka membenci konflik langsung dan perselisihan. Nilai-nilai Jawa ini sering disebarkan melalui ekspresi budaya Jawa, seperti [[tari Jawa]], [[gamelan]], [[wayang]] dan [[batik]] sebagai kebudayaan nasional Indonesia. Hal ini juga yang diperkuat melalui kepatuhan terhadap [[adat]] Jawa seperti menerapkan adat Jawa dalam upacara [[slametan]], [[satu suro]], [[sekaten]], upacara pernikahan, dan [[naloni mitoni]].
 
Dalam aspek bahasa, seperti penggunaan [[Bahasa Jawa|bahasa]], istilah, idiom, dan kosakata Jawa di luar wilayah bahasa tradisional Jawa. Misalnya, kini lazim bagi warga Indonesia menggunakan istilah Jawa untuk menyapa orang lain, seperti ''Mas'' (terhadap laki-laki sebaya atau yang sedikit lebih tua) atau ''Mbak'' (untuk perempuan). Hal ini kini dianggap lazim di ibu kota [[Jakarta]], yang sebelumnya memiliki padanan dialek lokal Betawi seperti ''Abang'' dan ''None'' atau ''Mpok''. Tetapi fenomena meluasnya pengaruh budaya Jawa secara masif ini, semisal penggunaan sapaan ''Mas'' dan ''Mbak'' ini menimbulkan kekhawatiran di ranah ber[[bahasa Melayu]], [[bahasa Batak|Batak]], dan [[bahasa Minangkabau|Minangkabau]] di [[Sumatra]] yang menganggapnya sebagai bentuk Jawanisasi dan penjajahan budaya.
 
Dalam sosial dan politik, contoh Jawanisasi dirasakan seperti [[Presiden Indonesia]] yang selalu berasal dari [[suku Jawa]] (dengan pengecualian [[BJ Habibie]]). Juga tuduhan atas dominasi politik Jawa dalam tubuh administrasi pemerintahan, pegawai negeri sipil, [[TNI]] dan Polri, serta sifat-sifat Jawa dalam budaya politik Indonesia.
 
== Sejarah awal ==
Baris 33:
Pulau [[Jawa]] telah menjadi panggung [[sejarah Indonesia]] selama berabad-abad, dan [[orang Jawa]] sebagai [[Suku bangsa di Indonesia|kelompok etnis]] terbesar telah mendominasi lanskap sosial dan politik [[Indonesia]] pada masa lampau maupun masa kini.
 
Pada tahap awal, budaya Jawa sangat dipengaruhi oleh peradaban [[Hindu]]-[[Buddha]] dari India. Contoh dari proses ini adalah sejumlah besar kata serapan dari [[bahasa Sanskerta]] ke dalam [[Bahasabahasa Jawa Kuno]], dan Jawanisasi dari wiracarita Hindu India seperti [[Ramayana]] dan [[Mahabharata]] ke dalam versi Jawanya, serta menggabungkan dewa lokal seperti [[Semar]] dan [[Punakawan]] ke dalam kisah [[Wayangwayang purwa]] Purwa Jawa. Proses mengadopsi pengaruh Hindu ini digambarkan sebagai Sanskertanisasi Jawa dan Jawanisasi dari Bharata.<ref>{{cite web
|url =http://epress.anu.edu.au/austronesians/austronesians/mobile_devices/ch15.html
|title =Chapter 15. Indic Transformation: The Sanskritization of Jawa and the Javanization of the Bharata
Baris 45:
</ref> Berseminya sastra klasik Jawa misalnya dicontohkan dengan digubahnya karya sastra ''[[Kakawin Ramayana]]'' dan ''[[Arjunawiwaha]]''.
 
Contoh-contoh awal Jawanisasi adalah perluasan kesenian Jawa [[Sailendra]] — dikembangkan dalam abad ke-8 sampaihingga abad ke-9 di Jawa Tengah — yang memengaruhi estetika di [[Sriwijaya]], seperti ditemukan pada [[seni Buddhis]] di Sumatra, Thailand Selatan, dan semenanjung Malaya. Meskipun awalnya menyerap pengaruh dari India, seperti mencontoh seni [[Gupta]] dan [[Amarawati]], serta pengaruh Pallawa dari India Selatan, kesenian Sailendra Jawa pada gilirannya memengaruhi seni dan estetika di kawasan Asia Tenggara.
 
Pada periode klasik awal, selama [[Kerajaan Medang]] periode Jawa Timur pada abad ke-10, terjadi perluasan pengaruh Jawa ke [[Bali]]. Putri dari Jawa Timur, [[Mahendradatta]], menjadi permaisuri Raja [[Udayana]] Warmadewa dari Bali. Hal ini menandakan meningkatnya pengaruh Jawa atas Bali. Selama masa pemerintahan [[Airlangga]], Bali sedikit-banyak menjadi bagian dari kerajaan Hindu Jawa Timur.
 
Perluasan [[Singhasari|Kerajaan Singhasari]] melalui [[Ekspedisi Pamalayu]] pada abad ke-13 pada masa pemerintahan [[Kertanegara]] telah memperkuat pengaruh Jawa di Nusantara, khususnya atas Bali dan [[Kerajaan Melayu]] di pantai Timur Sumatra. Pada tahun 1200, Mpu Jatmika dari Jawa mendirikan Kerajaan Hindu [[Kerajaan Negara Dipa|Negara Dipa]] di tepi sungai Tapin, ini adalah awal dari tumbuhnya pemerintahan bergaya Jawa di Kalimantan Selatan.
 
Diikuti oleh ekspansi [[Majapahit|Kemaharajaan Majapahit]] sekitar abad ke-14, Nusantara menyaksikan kembali ekspansi Jawa. Mungkin selama periode ini beberapa unsur budaya Jawa, seperti [[gamelan]] dan [[keris]], menyebar dan diperkenalkan ke pulau-pulau di luar Jawa, seperti Sumatra, Semenanjung Malaya, dan Kalimantan. Selama era ini, kota [[Banjarmasin]] di [[Kalimantan Selatan]] dan [[Sukadana]] di Kalimantan Barat telah ditetapkan sebagai koloni Jawa sebagai negeri bawahan Majapahit. Pada tahun 1400, Negara Dipa digantikan oleh Kerajaan Hindu [[Negara Daha]]. Pengaruh Jawa dapat dilihat pada seni, budaya, dan busana [[orang Banjar]] yang menunjukkan gaya Jawa.
 
Juga selama periode terakhir dari Majapahit pada abad ke-15, unsur gaya asli [[Austronesia]] pra-Hindu Jawa dihidupkan kembali, seperti yang ditunjukkan dalam bentuk candi [[Candi Sukuh]] dan [[Candi Cetho]]. Gaya patung dan relief tokoh wayang yang kaku, dan struktur [[piramida bertingkat]] menggantikan bentuk candi klasik Hindu yang menjulang. Ini kebalikan dari proses [[Indianisasi]], yang juga disebut "Jawanisasi" prototipepurwarupa Hindu-Budha pada kesenian Jawa.<ref>{{cite web
|url =http://books.google.co.id/books?id=CFW1tNel8m0C&pg=PA71&lpg=PA71&dq=Javanization&source=bl&ots=E4SrD0Pago&sig=RwZThSnQGDtcE-B6E7m45cItOBk&hl=id&sa=X&ei=QcN7Ut7CFIHBrAfe8YCYBQ&ved=0CE4Q6AEwBjgK#v=onepage&q
|title =From Majapahit and Sukuh to Megawati Sukarnoputri: Continuity and Change in Pluralism of Religion, Culture and Politics of Indonesia from the XV to the XXI Century
Baris 69:
Setelah jatuhnya Majapahit, [[Kesultanan Demak]] menggantikan hegemoninya di Sumatra Selatan dengan menunjuk bupati Jawa untuk memerintah [[Palembang]]. Pada awal abad ke-17, [[Kesultanan Palembang]] didirikan oleh Ki Gede ing Suro, ningrat Jawa yang melarikan diri dari intrik politik Demak setelah kematian Trenggana Sultan Demak. Kesultanan Palembang dikenal sebagai paduan dari berbagai budaya; Melayu, Jawa, Islam, dan Tionghoa. Proses Jawanisasi kehidupan istana Kesultanan Palembang terlihat jelas dalam penyerapan kata-kata dan kosakata Jawa ke dalam [[bahasa Musi|bahasa Melayu dialek Palembang]], seperti ''wong'' (orang) dan ''banyu'' (air).
 
Pengaruh dan ide-ide asing seperti agama dan kepercayaan, kadang-kadang secara sadar dan sengaja mengalami perubahan dan adaptasi, menjadi "dijawakan" agar dapat diterima oleh khalayak Jawa. Contoh-contoh seperti proses yang terjadi pada abad ke-15 dijuluki sebagai "[[Islamisasi]] Jawa dan Jawanisasi Islam". [[Wali Songo]] seperti [[Sunan Kalijaga]] diketahui menggunakan ekspresi seni budaya Jawa seperti [[gamelan]] dan wayang untuk menyebarkan ajaran Islam. [[Wayang#Wayang sadatSadat|Wayang sadat]] adalah varian dari wayang yang digunakan dalam tablightablig dan [[dakwah]] untuk menyebarkan pesan-pesan Islam. Contoh lain Jawanisasi Islam di Jawa adalah pembangunan atap tumpang bertingkat pada masjid Jawa. Pada masjid Jawa awalnya tidak terdapat kubah, menara, melainkan mengadopsi pertukangan kayu bangunan [[pendopo]] dan atap meru — seperti yang berasal dari seni arsitektur Jawa pra-Islam sebelumnya. Contoh dari masjid jenis ini adalah [[Masjid Agung Demak]] dan [[Masjid AgungGedhe Kauman]] Yogyakarta.
 
[[Kesultanan Mataram]] pada masa pemerintahan [[Sultan Agung]] yang ambisius, di paruh pertama abad ke-17, budaya Jawa semakin diperluas. Sebagian besar ke wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur. Ekspedisi militer Mataram di kerajaan Jawa Timur seperti Surabaya dan Pasuruan, memperluas pengaruh budaya Jawa Mataraman. Ekspansi Mataram meliputi wilayah [[orang Sunda|Sunda]] di dataran tinggi [[Priangan]], dari Galuh Ciamis, Sumedang, Bandung, dan Cianjur. Selama periode inilah, orang-orang Sunda mulai terpapar dan menyerap lebih lanjut budaya Jawa ''[[Kejawen]]''. [[Wayang Golekgolek]] adalah kesenian wayang versi Sunda yang banyak menyerap pengaruh budaya Wayang[[wayang Kulit Jawakulit]]. Budaya yang dimiliki bersama seperti [[gamelan]] dan [[batik]] juga berkembang. Mungkin pada saat itulah [[bahasa Sunda]] mulai mengadopsi tingkat unggah-ungguh kehalusan istilah dan kosakata untuk menunjukkan kesopanan, sebagaimana tecermin dalam [[bahasa Jawa]]. Selain itu, [[aksara Jawa]] juga digunakan untuk menulis bahasa Sunda sebagai ''cacarakanCacarakan''.
 
Iman [[Katolik]] sebagai contoh, juga menggunakan kosakata dan kerangka acuan Jawa dengan menggunakan istilah '' "Romo"'' (Jawa: ''bapak'') untuk merujuk [[Pastor]] Katolik. Penyebaran ajaran Katolik juga menggunakan seni wayang tradisional untuk menyebarkan pesan mereka, seperti [[Wayang#Wayang wahyu|wayang wahyu]], digunakan untuk menceritakan kisah Injil. Dalam arsitektur, gereja Katolik juga mengadopsi gaya arsitektur Jawa dan untuk gereja mereka, seperti [[Gereja Ganjuran]] di Bantul, Yogyakarta, yang membangun candi untuk Yesus dalam gaya [[candi]] Jawa kuno. Contoh lain termasuk [[Gereja Pohsarang]] di Kediri yang dibangun dalam arsitektur tradisional Jawa.
 
Selama periode kolonial [[Hindia Belanda]], terdapat sejumlah orang Jawa yang bermigrasi ke [[Suriname]] sebagai pekerja perkebunan. Di Nusantara, orang Jawa juga bermigrasi ke beberapa tempat seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Johor di Semenanjung Malaya. Daerah-daerah seperti [[DKI Jakarta]], [[Jawa Barat]] utara dan [[Lampung]] juga diketahui dihuni sejumlah besar pendatang Jawa. Bahkan beberapa tempat di luar Jawa memiliki nama Jawa atau "Kampung Jawa", misalnya [[Kampung Jawa, Tondano Utara, Minahasa|Kampung Jawa]] di Tondano, Sulawesi Utara, dan [[Tanah Jawa, Simalungun|Tanah Jawa]] di Simalungun, Sumatra Utara. Bahkan di [[Bangkok]], [[Thailand]], terdapat Kampung Jawa yang dihuni keturunan para pengukir dan pengrajin Jawa yang dibawa Raja [[Chulalongkorn]] hijrah ke Thailand pada tahun 1896.<ref>{{cite web|title=Keramahan Khas Indonesia ala Kampung Jawa di Tengah Kota Bangkok |author=Fajar Pratama|date=1 Maret 2013|publisher=detikNews |url=http://news.detik.com/read/2013/03/01/080705/2182890/10/1/keramahan-khas-indonesia-ala-kampung-jawa-di-tengah-kota-bangkok|accessdate=1 Januari 2014}}</ref>
Baris 79:
== Sejarah modern ==
[[Berkas:Pernikahan Jawa-Javanese Wedding 2011 Bennylin 24.jpg|jmpl|lurus|Identitas budaya Jawa diperkuat melalui adat dan upacara tradisional, seperti pernikahan adat Jawa]]
Setelah [[revolusi Indonesia]] (1945–1949) dan kemerdekaan Indonesia, banyak simbol nasional Indonesia yang berasal dari warisan [[Majapahit]], sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa pada ke-14 sampaihingga abad ke-15. [[Bendera Indonesia]] menampilkan warna Majapahit, merah dan putih, semboyan nasional [[Bhinneka Tunggal Ika]] dan ideologi negara [[Pancasila]] juga menunjukkan warisan Majapahit. Bapak pendiri Indonesia, terutama [[Soekarno]] memang menggali ke sejarah Indonesia untuk mencari filsafat dan kearifan lokal untuk merumuskan kebangsaan baru bangsa Indonesia. Tentu saja, budaya Jawa sebagai salah satu elemen yang paling berpengaruh dalam budaya Indonesia turut menyumbangkan pengaruhnya.
 
Selama rezim Orde Baru [[Soeharto]] (1966–1998), budaya politik Indonesia agak dianggap telah "dijawakan". Tingkat administrasi juga diatur dalam gaya dan idiom Jawa, seperti ''[[kabupaten]]'' dan ''[[desa]]'', istilah yang awalnya tidak akrab di beberapa provinsi di Indonesia, seperti [[Sumatra Barat]] (menggunakan istilah "nagari") dan [[Papua]] (menggunakan istilah "distrik"). Dalam kehidupan politik Indonesia pasca-kemerdekaan, istilah "Jawanisasi" digunakan untuk menggambarkan proses di mana [[orang Jawa|etnis Jawa]] dan individu yang dijawakan, secara bertahap menjadi mayoritas dan tidak proporsional dari elite pemerintahan di era pasca-kemerdekaan Indonesia.<ref>{{cite web
Baris 93:
</ref>
 
Setelah masa kemerdekaan, Indonesia lazim menerapkan [[neologisme]] untuk penamaan baru, dengan menggunakan kata serapan dari bahasa [[Sanskerta]] melalui perantara bahasa Jawa Kuno ([[Bahasabahasa Kawi]]). Maka dinamailah kota [[Jayapura]] untuk menggantikan nama "SukarnapuraSoekarnapura" (yang digunakan [[Demokrasi Terpimpin]] untuk nama baru kota "Hollandia") karena kebijakan anti-Soekarno Orde Baru. Demikian pula dengan nama seperti [[Pegunungan Jayawijaya]], [[Penghargaan Kalpataru]], [[Bintang Mahaputra]], Piala [[Adipura]], serta istilah yang memiliki asal Sanskerta-Jawa seperti adibusana, lokakarya, dasawarsa, pranala, unggah, unduh, dan lain-lain.
 
== Kritik ==
[[Berkas:Suharto and wife in Javanese attire.jpg|jmpl|lurus|[[SuhartoSoeharto]] dan istri, [[Tien SuhartoSoeharto|Tien]], dalam busana tradisional Jawa. Pemerintahannya yang otoriter dikecam sebagai "Penjawaan" politik Indonesia.]]
 
Isu Jawanisasi telah menjadi isu sensitif yang penting dalam persatuan nasional [[Indonesia]]. Dominasi Jawa dianggap tidak hanya pada ranah budaya, tetapi juga sosial, politik dan ekonomi. Rezim [[Orde Baru]] [[SuhartoSoeharto]] dikritik telah sedemikian rupa menjawakan politik Indonesia selama puluhan tahun. Dalam perspektif politik, administrasi, wewenang dan pelayanan sipil, proses Jawanisasi ini kadang-kadang dianggap negatif karena mengandung unsur-unsur terburuk dari budaya Jawa, seperti kekakuan hierarki sosial, [[otoritarianisme]], dan kesewenang-wenangan. Sebuah kecenderungan yang kadang-kadang disebut sebagai "[[Kesultanan Mataram|Mataramisasi]]" dan "[[feodalisme|feodalisasi]]", disertai dengan kegemaran memamerkan status sosial dan keangkuhan,<ref>{{cite web
|url =http://books.google.co.id/books?id=i4RKmz2aJiEC&pg=PA51&lpg=PA51&dq#v=onepage&q&f=false
|title =Chapter 3. Javanization, Inside Indonesian Society: Cultural Change in Java
Baris 113:
Program [[transmigrasi]] yang memindahkan masyarakat dari pulau Jawa yang padat penduduk ke pulau-pulau lain di Indonesia, seperti [[Sumatra]], [[Kalimantan]], [[Sulawesi]], dan [[Papua]], juga dikritik telah mempercepat proses Jawanisasi Indonesia. Masalah ini juga diperkeruh dengan isu-isu ketimpangan pembangunan, kecemburuan di mana pulau-pulau lainnya merasa tidak puas dengan pembangunan dan kesejahteraan sosial di wilayah mereka, berbeda dengan pembangunan infrastruktur dan distribusi kekayaan yang tampaknya terfokus di Jawa.
 
Namun, kini di era otonomi daerah, tidak relevan untuk menghubungkan program transmigrasi terhadap isu-isu Jawanisasi, karena proses migrasi juga dilakukan secara internal di Jawa, atau dalam provinsi tertentu.<ref>{{cite web
|url =http://bto.depnakertrans.go.id/trans_update/artikel.php?aid=247
|title =Transmigrasi Enyahkan Paradigma Jawanisasi
Baris 122:
|accessdate =6 November 2013
}}
</ref> Misalnya di Indonesia Timur seperti di [[Maluku]] dan Papua, sebagian besar kaum pendatang berasal dari Sulawesi ([[Bugis]]-Makassar dan [[Buton]]) dan Maluku itu sendiri, dan bukan dari Jawa. Program transmigrasi harus secara hati-hati mencermati potensi ekonomi, serta dampak sosial dan budaya di daerah tersebut. Hal ini juga didasarkan pada kenyataan bahwa provinsi yang membuka diri untuk [[pluralisme]] dan menerima pemukim antarprovinsi biasanya berkembang lebih cepat dibandingkan dengan mereka yang mengisolasi diri. Hal yang juga penting untuk dicatat, bahwa Jawa itu sendiri telah menarik kaum perantau dan pekerja dari seluruh nusantaraNusantara, maka dengan demikian demografi Jawa tidaklah homogen.
 
== Lihat juga ==