Sultan Agung dari Banjar: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Alamnirvana (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Alamnirvana (bicara | kontrib)
Baris 1:
'''Sultan Agung bin Sultan Inayatullah''' adalah [[Sultan Banjar]] yang memerintah antara [[1663]]-[[1679]]. Raja ini sebelumnya dikenal dengan nama [[Pangeran Surya Nata II]] yang juga dijuluki [[Pangeran Dipati Anum]] ([[Pangeran Anom]]). Raja ini mengkudeta kemenakannya Sultan Amirullah Bagus Kusuma dengan bantuan [[suku Biaju]], memindahkan pemerintahan ke Sungai [[Pangeran, Banjarmasin Utara, Banjarmasin|Pangeran]], [[Banjarmasin]]. Suku Biaju (Dayak Ngaju) merupakan suku ibunya, suku ini mendiami sebelah barat Banjarmasin. Ia berkompromi politik dengan saudaranya yang sebapak yaitu [[Rakyatullah dari Banjar|Adipati Halid]] bin Sultan Inayatullah, yang memegang kembali pemerintahan di [[Martapura]] sampai [[1666]]. Ibunya berasal dari kalangan [[suku Biaju]] ([[Dayak Ngaju]]). Pada masa pemerintahannya dia banyak memiliki perkebunan lada di daerah pedalaman sehingga Dijk menyebut Pangeran Anom atau Pangeran Surya Nata II sebagai ''Koning yan het pepergebergte'' (raja dari pegunungan lada). Pada masa itu [[Kesultanan Banjar]] sedang mengalami zaman keemasannya sebagai penghasil komoditas lada yang diekspor ke luar negeri. Di masa itu para bangsawan yang juga sebagai saudagar dan pedagang lada mempunyai pasukan sendiri dan budak-budak yang dipersenjatai.
 
==SituasiSikap Anti VOC di Masa Sultan Agung==
Perebutan kekuasaan di Kesultanan Banjar pada abad ke-17 menghasilkan kompromi politik, [[Pangeran Ratu]] (Rakyatullah) tetap berkuasa di [[Martapura]], sedangkan [[Pangeran Surya Nata II]] (Sultan Agung) berkuasa di Banjarmasin. Martapura yang merupakan daerah tambang emas dan hasil kebun lada terletak di sebelah hulu dari Banjarmasin, sehingga cara ini dapat mematikan perdagangan Pangeran Ratu saingannya.
 
Baris 22:
Kemunduran Perdagangan di Indonesia Timur ini sebagai akibat dari taktik dan strategi Belanda yang selalu berusaha memperoleh monopoli perdagangan dengan menerapkan politik Divide et impera-nya.
 
Sikap Sultan Banjar yang anti VOC pada masa tersebut karena beberapa pertimbangan:
Diduga pula bahwa Sultan Banjarmasin memiliki pandangan, sebagai berikut :
# Hubungan dagang dengan Belanda, selalu diakhiri dengan peristiwa pembantaian dan permusuhan di kedua belah pihak.
# Dalam setiap perjanjian kontrak dagang, VOC selalu ingin monopoli, dan tidak memberi peluang terciptanya perdagangan bebas.
# Adat Istiadat orang orang Belanda, bertentangan dengan adat istiadat orang Banjar, sehingga lambat laun akan timbul konflik budaya.
 
Pertimbangan-pertimbangan tersebut, didasarkan atas kemungkinan dukungan dan kemufakatan [[Dewan Mahkota]], khususnya yang anti VOC.
 
Walau demikian, VOC terus menerus mencari peluang dan dukungan untuk bercokol di Banjarmasin, karena perdagangan VOC Kesultanan Banjarmasin tidak macet.
 
==Perdagangan Bebas==
Pertengahan abad ke- 17 Banjarmasin mengalami kemajuan dan kemakmuran yang pesat. Menurut Barra pada tahun [[1662]] ada 12 jung orang Melayu, Inggeris, Portugis mengangkut lada dan emas ke Makassar. Pelabuhaan Banjarmasin dipenuhi lebih dari 1000 perahu layar, baik perdagangan interinsuler maupun perdagangan inter-kontinental, karena kontrak perdagangan (monopoli) dengan VOC yang dilakukan tahun sebelumnya hanya merupakan kontrak kosong belaka.
 
Kesultanan Banjarmasin tidak terikat terhadap bangsa manapun juga dan lebih mengacu kepada Perdagangan bebas dimana semua bangsa boleh berdagang di Banjarmasin dan orang orang Banjar akan bebas pula melakukan hubungan dagang dengan bangsa bangsa lain. Tidak terikat kepada VOC-Belanda, EIC-Inggeris atau Portugis. Kesultanan Banjar memberikan keleluasaan kepada saudagar untuk berniaga, dan dengan sendirinya pertumbuhan ekonomi kesultanan akan meningkat, asalkan sistem sistem yang berlaku saat itu berfungsi.
 
Hasil dari perdagangan bebas tersebut, Banjarmasin mengalami kemakmuran yang pesat, dan akibatnya muncul kemelut politik istana seperti pergeseran dan perebutan kekuasaan, namun walau begitu, dilihat dari pihak luar negeri, kondisi Kesultanan Banjarmasin tetap utuh.