Kesultanan Jailolo: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k memperbaiki sumber ISSN dan menambah url ke rujukan Jurnal |
k Menambah teks dan pranala dalam |
||
Baris 1:
{{sedang ditulis}}
'''Kesultanan Jailolo''' adalah salah satu
Kesultanan Jailolo adalah satu-satunya kesultanan di [[Maluku Utara]] yang pusat pemerintahannya berada di [[Pulau Halmahera]].{{Sfn|Amir dan Utomo|(2016)|p=149.|ps="Keempat kerajaan di Maluku Utara masing-masing berpusat di sebuah pulau kecil yang berjajar di sebelah barat Halmahera. Hanya Jailolo yang berpusat di Halmahera."}} Kesultanan Jailolo
== Keagamaan ==
Kesultanan Jailolo mulai mengenal agama Islam setelah menjalin kerja sama perdagangan dengan para pedagang dari Pulau Jawa. Selain itu, masyarakat Jailolo mulai beragama Islam setelah [[Zainal Abidin dari Ternate|Sultan Zainal Abidin]] kembali dari [[Kedatuan Giri]] dan mulai berdakwah di Kepulauan Maluku. Agama Islam semakin berkembang di Kesultanan Jailolo setelah [[Selat Malaka]] menjadi jalur perdagangan yang menghubungkan para pedagang [[Bangsa Arab|Arab]] dengan wilayah [[Indonesia Timur]] secara langsung.{{Sfn|Jalil, Laila Abdul|(2017)|p=204.|ps="Masuknya Islam ke Jailolo tidak terlepas dari adanya hubungan Jawa dengan Maluku pada masa lampau dan ditambah lagi dengan peranan Sultan Zainal Abidin salah seorang Sultan Ternate yang belajar Islam ke Giri dan melanjutkan dakwahnya di Kepulauan Maluku. Selain itu, peranan Selat Malaka sebagai pintu gerbang masuknya pedagang pedagang asing ke Nusantara menyebabkan terjadinya kontak bangsa Arab dengan penduduk Nusantara terutama ke wilayah Indonesia Timur. Adanya Hubungan Jawa dengan Maluku mendorong berkembangnya pertumbuhan masyarakat muslim khususnya di Jailolo."}}
Kesultanan Jailolo merupakan salah satu pusat perkembangan kekuasaan [[Islam]] yang paling awal di Maluku Utara. Masyarakat Jailolo mulai meninggalkan pemikiran primitif sejak Islam diterapkan dalam kehidupan sosial dan politik.{{Sfn|Handoko, Wuri|(2014)|p=100.|ps="Kerajaan Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan di Maluku Utara, dianggap sebagai pusat kekuasaan Islam, karena di wilayah inilah Islam pertama kali berkembang. (...). Jika kehadiran Islam dianggap sebagai kekuatan transformatif, telah memberdayakan masyarakat untuk keluar dari paham-paham primitif, serta dianggap mampu memberikan andil terhadap perubahan penting di bidang sosial dan struktur politi, maka di wilayah
Maluku, wilayah-wilayah pusat kekuasaan Islam seperti yang disebutkan diawal, dapat dikatakan mewakili anggapan itu."}} Kesultanan Jailolo menjalankan [[syariat Islam]] dalam kehidupan masyarakatnya. [[Al-Qur'an]] dan nasihat para leluhur menjadi sumber hukum utama dalam menjalankan hubungan sosial. Kehidupan masyarakat sepenuhnya diatur oleh adat yang dikenal sebagai [[Adat Se Atorang]].{{Sfn|Junaidi, Muhammad|(2009)|p=232.|ps="Sebagai kerajaan islam, maka kepada empat kerjaan Moloku Kie Raha masing-masing menjaga empat pilar dalam Islam yakni Jailolo menjaga syariat, Tidore menjaga tarekat, Bacan menjaga hakikat, Dalam praktek kehidupan masyarakat sehari-hari, hubungan sosial mengacu pada aturan adat yang mengatur kehidupan dikenal dengan Adat Se Atorang. Aturan adat bersumber dari falsafah leluhur dan Al-Qur'an."}}
Kesultanan Jailolo bekerja sama dengan Kesultanan Tidore, Kesultanan Ternate, dan Kesultanan Bacan dalam menyebarkan Islam di Maluku Utara. Mereka menyebarluaskan tentang syariat, [[tarekat]], hakikat dan [[makrifat]] Islam kepada masyarakat Maluku.{{Sfn|Kader, Abdurrahman|(2018)|p=1—2.|ps="Secara historis di Maluku Utara pernah beridiri empat kesultanan yang ter-nama sekitar abad XVI-XVIII yang kita ke-nal Tidore, Ternate, Bacan dan Jailolo. Keempat kerajaan ini menjalankan empat pilar agama yakni syari`at, thariqat, hakikat dan ma`rifat. Dengan pembagian tugas masing-masing maka Kesultanan Tidore menegakan dan menyebarluaskan pendidikan ilmu thariqat. Namun secara harfiah keempat kesultanan ini menegakan empat pilar agama tersebut dan menyebar-luaskan kepada semua warga masyarakat khusus yang beragama Islam."}} Peran masing-masing kesultanan diatur pada tahun 1322 dalam Persekutuan Moti. Urusan tarekat diserahkan kepada Kesultanan Tidore. Kesultanan Ternate diberi tanggung jawab dalam urusan syariat. Urusan hakikat diberikan kepada Kesultanan Bacan. Sedangkan Kesultanan Jailolo menerima tanggung jawab dalam urusan makrifat. Pada masa ini, perkembangan tarekat sangat pesat dengan disertai pembangunan masjid-masjid. Tarekat-tarekat yang berkembang yaitu [[Tarekat Alawiyyah|Alawiyah]], [[Tarekat Qodiriyah|Qadiriyah]], dan [[Tarekat Naqsyabandiyah|Naqsabandiyah]]. Masing-masing tarekat ini beribadah pada masjid yang terpisah, tetapi tetap saling menghormati dan rukun.{{Sfn|Amir dan Utomo|(2016)|p=155.|ps="banyaknya masjid di Tidore melambangkan suburnya aliran tarekat yang tidak lepas kaitannya dengan perjanjian antara empat kesultanan di Maluku pada 1322 di Pulau Moti. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Ternate menekankan pada pengurusan syariat, Tidore pada pengurusan tarekat, Bacan pada pengurusan hakikat, dan Jailolo serta Halmahera pada pengurusan makrifat. Tarekat-tarekat seperti Alawiyah, Qadiriyah, dan Naqsabandiyah dapat hidup berdampingan meski mempunyai masjid sendiri sendiri. Kunci dari perdamaian antartarekat itu adalah saling menghormati."}}
== Perdagangan ==
Kesultanan Jailolo merupakan salah satu pusat perdagangan cengkih di Pulau Halmahera pada abad ke-15.{{Sfn|Amir dan Utomo|(2016)|p=106.|ps="Pada abad ke-15, Maluku merupakan pusat perdagangan cengkih di bagian timur Nusantara, khususnya di Maluku Utara sebelah barat Pulau Halmahera. Beberapa kerajaan lain yang juga merupakan pusat perdagangan cengkih adalah Tidore, Bacan, dan Jailolo di Halmahera."}} Wilayahnya merupakan penghasil [[rempah-rempah]] sehingga menjadi tempat persinggahan para pedagang asing. Para pedagang asing ini berasal dari
== Keruntuhan ==
Sejak tahun 1284, Kesultanan Jailolo mulai diserang oleh Kesultanan Ternate. Pada tahun 1551, Kesultanan Ternate melakukan serangan dengan bantuan dari [[Kolonialisme Portugis di Indonesia|Portugis]]. Serangan ini membuat sebagian wilayah kekuasaan Kesultanan Jailolo menjadi milik Kesultanan Ternate. Wilayah yang dikuasai kemudian diisi oleh [[Suku Ternate]], sehingga masyarakat Jailolo khususnya [[Suku Wayoli]] pindah ke wilayah Kesultanan Jailolo yang lainnya.{{Sfn|Mansyur, Syahruddin|(2016)|p=142.|ps=" Serangan Ternate terhadap Jailolo pada masa prakolonial telah terjadi sebanyak enam kali yang dimulai sejak tahun 1284. Konflik ini terjadi dalam rentang waktu ± 300 tahun dan serangan terakhir pada tahun 1551, berkat bantuan Portugis, Ternate berhasil menganeksasi dan menjadikan wilayah Jailolo sebagai bagian dari kekuasaan Ternate. Pascakekalahan ini, masyarakat Jailolo terutama suku Wayoli banyak yang keluar dari wilayah Jailolo. Daerah-daerah yang ditinggalkan kemudian diisi
oleh eksodus besar-besaran masyarakat Ternate."}} Pada tahun 1620, Kesultanan Ternate kembali melakukan serangan dan dibantu oleh [[Belanda]]. Kedua serangan ini akhirnya mengakhiri kekuasaan dari Kesultanan Jailolo.{{Sfn|Mansyur, Syahruddin|(2016)|p=134.|ps="Setidaknya terdapat dua serangan besar yang dilancarkan oleh pihak Ternate (dibantu oleh sekutu bangsa Eropa), yaitu tahun 1551 (bersama Portugis),dan tahun 1620 (bersama Belanda). Para ahli sejarah berpandangan bahwa dua serangan ini bahkan telah merusak struktur kekuasaan internal Kesultanan Jailolo."}} Pada tahun yang sama, Kesultanan Ternate menggabungkan bekas wilayah Kesultanan Jailolo menjadi bagian dari wilayah kekuasaannya.{{Sfn|Mansur dan Said|(2018)|p=137.|ps="Adapun Kesultanan Jailolo telah dianeksasi oleh Kesultanan Ternate sejak 1620."}} Kaicil Alam menjadi sultan terakhir dari Kesultanan Jailolo. Ia dinikahkan dengan saudari [[Sultan Sibori Amsterdam|Sultan Sibori]] dan jabatannya diubah menjadi s''angaji'' atau perwakilan Kesultanan Ternate''.'' Kesultanan Jailolo sepenuhnya menjadi wilayah kekuasaan dari Kesultanan Ternate setelah Kaicil Alam wafat.{{Sfn|Junaidi, Muhammad|(2009)|p=238.|ps="Raja Jailolo yang terakhir Kaicil Alam dikawinkan dengan saudara Sultan Sibori dan ditempatkan di Ternate. Sejak itu Jailolo secara de facto berada di bawah kekuasaan Ternate. Setelah Sultan Jailolo meninggal, Jailolo menjadi distrik yang dikepalai seorang Sangaji."}}
== Pendirian Kembali ==▼
▲Kesultanan Jailolo mulai didirikan kembali secara adat setelah [[Sejarah Indonesia (1998–sekarang)|era reformasi]] dimulai pada tahun 1998. Komunitas adat mulai terbentuk dan Kesultanan Jailolo kembali diteruskan dengan Moloku Kie Raha sebagai komunitas adat. Selama periode 2002—2017, telah terangkat empat sultan yang berkuasa secara berturut-turut, yaitu Abdullah Sjah, Ilham Dano Toka, Muhammad Siddik Kautjil Sjah, dan Ahmad Abdullah Sjah.{{Sfn|Mansur dan Said|(2018)|p=137—138.|ps="Setelah gerakan reformasi 1998, Kesultanan Tidore dan Kesultanan Bacan pun dihidupkan kembali, seolah memberi kesan bahwa reformasi telah memberikan ruang untuk tumbuh dan berkembangnya institusi-institusi adat termasuk institusi kesultanan. Ruang reformasi itu rupanya memungkinkan untuk menghidupkan kembali Kesultanan Jailolo yang menjadi bagian dari pilar Moloku Kie Raha. Dengan semangat “Marimoi Ngone Futuru”, Jailolo sebagai bagian dari pilar Moloku Kie Raha akhirnya dihidupkan kembali pada 2002. Dengan hadirnya Kesultanan Jailolo, maka lengkaplah konfigurasi Moloku Kie Raha yang terdiri dari Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Akan tetapi, eksisnya kembali Kesultanan Jailolo melahirkan dinamika tersendiri terhadap perkembangan institusi dan masyarakatnya. Kondisi ini dapat diamati dari adanya kontroversi mengenai hubungan geneologis sultan, pengangkan dan pemberhentian sultan, dan perangkat kesultanan dari 2002 sampai 2017. Pada periode yang disebutkan di atas, setidaknya terdapat empat sultan di Jailolo dengan pendukungnya masing-masing. Keempat sultan itu adalah Abdullah Sjah, Ilham Dano Toka, Muhammad Siddik Kautjil Sjah, dan Ahmad Abdullah Sjah."}}
== Silsilah ==
Kesultanan Jailolo termasuk dalam salah satu dari ''Moloku Kie Raha'' atau empat penguasa wilayah Kepulauan Maluku. Kesultanan ini menjadi salah satu penguasa atau ''
== Peninggalan ==
=== Benteng Gamlamo ===
[[Benteng Gamlamo]] dibangun untuk menghadapi serangan Kesultanan Ternate dan Portugis. Pembangunan benteng dipimpin oleh [[Sultan Katarabumi]]. Pondasi benteng dibuat dari bahan tanah dan batu. Sekelilingnya dibanguni tembok dengan dua kubu pertahanan. Benteng ini memiliki persenjataan berupa 100 pucuk senjata laras panjang,18 pucuk meriam, satu [[mortir]], dan beragam senjata untuk mencegah pengepungan. Senjata-senjata ini berasal dari Pulau Jawa.{{Sfn|Mansyur, Syahruddin|(2016)|p=143.|ps="Selain pemimpin yang kuat, Kesultanan Jailolo pada saat itu juga memiliki benteng yang sulit ditembus hingga pada akhirnya pasukan gabungan Ternate-Portugis berhasil menaklukkan benteng ini. Menghadapi serangan besar ini, Katarabumi memperkuat benteng tersebut dengan membuat dinding luar yang terbuat dari tanah dan batu yang di atasnya berdiri tembok dengan dua kubu pertahanan
Baris 31 ⟶ 34:
=== Nisan-nisan Kuno ===
[[Nisan]]-nisan kuno merupakan salah satu peninggalan Islam di Kesultanan Jailolo. Nisan-nisan ini ditemukan di [[Galala, Jailolo|Desa Galala]], [[Gam Ici, Jailolo|Desa Gam Ici]], dan [[Gam Lamo, Jailolo|Desa Gam Lamo]]. Ketiga desa ini berada di dalam wilayah [[Jailolo, Halmahera Barat|Kecamatan Jailolo]]. Nisan-nisan kuno ini berbentuk pipih dan balok serta memiliki [[Ornamen (arsitektur)|ornamen]] dengan ukiran [[kaligrafi]] dan bunga yang bersulur.{{Sfn|Jalil, Laila Abdul|(2017)|p=199—200.|ps="Masuknya pengaruh Islam ke Kepulauan Maluku menyisakan data-data arkeologis berupa nisan-nisan kuno terutama di Jailolo yang tersebar di enam titik yang tersebar di Desa Galala, Desa Gam Ici, dan Desa Gam Lamo, Jailolo. Berdasarkan tipologi, nisan kuno di Jailolo berbentuk pipih dan balok. Ornamen pada nisan berupa kaligrafi dan flora berbentuk bunga serta suluran."}}
▲== Pendirian Kembali ==
Kesultanan Jailolo mulai didirikan kembali secara adat setelah [[Sejarah Indonesia (1998–sekarang)|era reformasi]] dimulai pada tahun 1998. Komunitas adat ''Moloku Kie Raha'' mulai dibentuk kembali. Selama periode 2002—2017, telah terangkat empat sultan yang berkuasa secara berturut-turut, yaitu Abdullah Sjah, Ilham Dano Toka, Muhammad Siddik Kautjil Sjah, dan Ahmad Abdullah Sjah.{{Sfn|Mansur dan Said|(2018)|p=137—138.|ps="Setelah gerakan reformasi 1998, Kesultanan Tidore dan Kesultanan Bacan pun dihidupkan kembali, seolah memberi kesan bahwa reformasi telah memberikan ruang untuk tumbuh dan berkembangnya institusi-institusi adat termasuk institusi kesultanan. Ruang reformasi itu rupanya memungkinkan untuk menghidupkan kembali Kesultanan Jailolo yang menjadi bagian dari pilar Moloku Kie Raha. Dengan semangat “Marimoi Ngone Futuru”, Jailolo sebagai bagian dari pilar Moloku Kie Raha akhirnya dihidupkan kembali pada 2002. Dengan hadirnya Kesultanan Jailolo, maka lengkaplah konfigurasi Moloku Kie Raha yang terdiri dari Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Akan tetapi, eksisnya kembali Kesultanan Jailolo melahirkan dinamika tersendiri terhadap perkembangan institusi dan masyarakatnya. Kondisi ini dapat diamati dari adanya kontroversi mengenai hubungan geneologis sultan, pengangkan dan pemberhentian sultan, dan perangkat kesultanan dari 2002 sampai 2017. Pada periode yang disebutkan di atas, setidaknya terdapat empat sultan di Jailolo dengan pendukungnya masing-masing. Keempat sultan itu adalah Abdullah Sjah, Ilham Dano Toka, Muhammad Siddik Kautjil Sjah, dan Ahmad Abdullah Sjah."}}
== Rujukan ==
|