Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Perbaiki salah ketik |
|||
Baris 4:
Perancang dan pengusung RUU ini adalah [[Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan]] (Komnas Perempuan) dan [[Forum Pengada Layanan]] (FPL).<ref name="Gatra"/> Ketua Komnas Perempuan, [[Azriana]], menyampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pada tanggal 7 September 2015 bahwa setidaknya ada 15 macam kekerasan seksual yang dialami perempuan di Indonesia, yaitu tindak [[perkosaan]], intimidasi bernuansa seksual (termasuk ancaman atau percobaan perkosaan), [[pelecehan seksual]], eksploitasi seksual, [[Pernikahan paksa|pemaksaan perkawinan]], [[pemaksaan kehamilan]], pemaksaan [[aborsi]], [[kontrasepsi]]/[[Sterilisasi (kedokteran)|sterilisasi]] paksa, penyiksaan seksual, penghukuman bernuansa seksual, dan kontrol seksual termasuk aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama. 13 di antaranya belum diatur dalam undang-undang.<ref>{{cite news|url=https://nasional.kompas.com/read/2015/09/07/19520201/Komnas.Perempuan.13.Kekerasan.Seksual.Belum.Diatur.dalam.UU|title=Komnas Perempuan: 13 Kekerasan Seksual Belum Diatur dalam UU|first=Nabilla|last=Tashandra|work=Kompas|date=7 September 2015|accessdate=22 Agustus 2020}}</ref> Menurut Komnas Perempuan, hukum pidana Indonesia mengenai pemerkosaan terbatas pada [[penetrasi]] penis ke vagina, prosedur pembuktiannya dalam [[Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana]] terkesan masih membebani korban, pelecehan seksual hanya diatur dalam pasal tentang perlakuan tidak menyenangkan, dan UU Hukum Pidana maupun UU Kesehatan menekankan pada larangan aborsi tanpa melihat konteks pemaksaan aborsi sehingga perempuan dipidanakan dalam tindak aborsi. Komnas Perempuan menilai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus masuk dalam daftar program legislasi nasional (Prolegnas) Tambahan 2015-2019.<ref>{{cite news|url=https://www.cnnindonesia.com/nasional/20151108105400-12-90170/komnas-perempuan-dorong-ruu-penghapusan-kekerasan-seksual|title=Komnas Perempuan Dorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual|first=Yohannie|last=Linggasari|work=CNN Indonesia|date=8 November 2015|accessdate=22 Agustus 2020}}</ref> Gisella Tani Pratiwi dari Yayasan Pulih dalam FPL mengatakan bahwa kasus kekerasan seksual terjadi di ranah privat, sementara menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, harus ada saksi mata dan bukti sehingga banyak proses hukum kasus kekerasan seksual yang tidak bisa dilanjutkan. Selain itu, masyarakat masih menyalahkan korban ataupun membenarkan perilaku kejahatan seksual. Venny Siregar dari LBH APIK mengatakan bahwa "ketika proses hukum berjalan ya proses hukum saja yang dilihat. Tapi bagaimana korban mendapatkan trauma seumur hidup itu tidak mendapatkan jaminan, restitusi (ganti rugi) tidak ada kompensasi tidak ada, ini yang diperjuangkan dalam RUU Penghapusan Kekerasan seksual." FPL mendorong agar RUU Penghapusan kekerasan Seksual masuk dalam Prolegnas DPR 2016.<ref>{{cite news|url=https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/11/151126_indonesia_kekerasan_seksual|title="Jangan salahkan perempuan korban kekerasan seksual"|first=Sri|last=Lestari|date=26 November 2015|work=BBC Indonesia|accessdate=22 Agustus 2020}}</ref>
RUU ini diusulkan pada tanggal 26 Januari 2016.<ref name="Primastika"/> Komnas Perempuan menyerahkan naskah akademik RUU PKS ke [[Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia]] (DPR) pada 13 Mei 2016.<ref>{{cite news|url=https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-01255811/komnas-perempuan-serahkan-naskah-akademik-ruu-penghapusan-kekerasan-seksual|title=Komnas Perempuan Serahkan Naskah Akademik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual|first=Satrio|last=Widianto|date=13 Mei 2016|work=Pikiran Rakyat|accessdate=22 Agustus 2020}}</ref> RUU PKS dimasukkan ke dalam
== Isi ==
|