Keroncong: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 196:
 
Di sisi lain nama [[Andjar Any]] (Solo, pencipta Langgam Jawa lebih dari 2000 lagu yang meninggal tahun 2008) juga mempunyai andil dalam keroncong untuk Langgam Jawa beserta [[Waldjinah99 (Solo), sedangkan ''R. Pirngadie'' (Jakarta) untuk Keroncong Beat, ''Manthous'' (Gunung Kidul, Yogyakarta) untuk Campursari dan ''Koes Plus'' (Solo/Jakarta) untuk Keroncong Rock, serta ''Didi Kempot'' (Solo) untuk Congdut.
 
== Publikasi Tentang Musik Keroncong ==
Publikasi tentang musik Indonesia banyak dipublikasikan sejak awal abad ke-20.<ref name="DMIDKR1">{{Cite book|last=Suadi|first=Haryadi|date=November 2017|title=Djiwa Manis Indoeng Disajang|location=Bandung|publisher=Kiblat Buku Utama|isbn=978-979-8004-06-3|pages=13|url-status=live}}</ref> Diantaranya ada yang berbentuk tesis, disertasi, artikel, atau buku.<ref name="DMIDKR1"/> Terbitan-terbitan ini biasanya dibuat oleh para musikolog asal Belanda.<ref name="DMIDKR1"/> Antara tahun 1900-1930 tercatat ada beberapa artikel di majalah ilmu pengetahuan atau majalah umum yang memuat pembahasan tentang musik tradisional Indonesia.<ref name="DMIDKR1"/> Misalnya "''Muziekale bechouwingen over's Poetra's Javaansch muziekskschrift''" (1917), "''De Soendanesche Angkloeng''" (Biangca, 1938), "''Javaansche gending 's bij land en bij seeling''" (J.S. Brandt Buys, 1936), "''Omtrent de Rebab''" (1939), "De Toonkunst bij de Madoera''" (1928), "''Over Balische houten tromen, op wielen (koel-koel)''" (L.C. Heyting, 1926), "''Si Datas, de Bataksche Beethoven''" (J. Koning, 1920), dan "''Het Eiland Nias en zijne Bewoners: muziek instrumenttendans''" (1909).<ref name="DMIDKR1"/> Majalah-majalah yang memuat artikel-artikel tersebut antara lain seperti ''Bijdragen tot de Taal Land en Volkekunde'', ''Cultureel Nieuws'', ''Indie'', ''Indische Gids'', ''De Taak Nederlandsch Indie Oud en Niew'', ''d'Orient'', ''Djawa'', ''Tijdschrift van Bataviaasch Genootschappe'', dan ''Indisch Comite voor Wetenschappelijk onder zoekingen Batavia: publicatie''.<ref name="DMIDKR1"/>
 
Namun, paling tidak sampai pecahnya Perang Dunia II, baru ada musikolog-musikolog yang membahas musik Keroncong.<ref name="DMIDKR2">{{Cite book|last=Suadi|first=Haryadi|date=November 2017|title=Djiwa Manis Indoeng Disajang|location=Bandung|publisher=Kiblat Buku Utama|isbn=978-979-8004-06-3|pages=13|url-status=live}}</ref> Alasannya antara lain adalah karena musik keroncong, sebelumnya, tidak dianggap sebagai musik asli Indonesia, tidak seperti musik-musik tradisional asli daerah Sunda, Jawa, Bali, Sumatera, dan Kepulauan Maluku.<ref name="DMIDKR1"/><ref name="DMIDKR2"/> Jenis musik ini dianggap sebagai musik bangsa peranakan Indo-Eropa yang tinggal di Indonesia.<ref name="DMIDKR2"/> Dalam kata lain musik ini disebut sebagai musik bastaard.<ref name="DMIDKR2"/> Musik yang diciptakan dengan perpaduan corak musik Eropa, Melayu, dan Polinesia.<ref name="DMIDKR2"/> Selain itu juga terdapat sentimen tersendiri terhadap masyarakat peranakan Indo-Eropa yang dianggap rendah derajatnya karena mewarisi perilaku buruk dari para pendahulunya.<ref name="DMIDKR2"/> Alasan kedua ialah karena keroncong dinilai sebagai musik hiburan yang memiliki citra tidak terhormat.<ref name="DMIDKR2"/> Bersama dengan musik stambul, musik ini pernah dianggap sebagai seni murahan, vulgar, dan erat hubungannya dengan kemaksiaatan.<ref name="DMIDKR2"/> Seorang penulis dan sejarawan, Lumbang Tobing, mengutip salah satu pendapat musikolog Belanda yang menyatakan bahwa musik keroncong penuh dengan sentimen tidak sehat dan melankolis yang bisa mengakibatkan kemalasan.<ref name="DMIDKR2"/>
 
 
== Referensi ==