Cornelis Poortman: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Surijeal (bicara | kontrib)
Tambah informasi
Surijeal (bicara | kontrib)
Kronik Tionghoa Cirebon: Pranala, gambar
Baris 26:
Banyak masalah seputar Kronik Tionghoa Semarang yang sangat tinggi tingkat permasalahannya. Misalnya, bagian teks yang berpusat di sekitar kebangkitan Demak sangat mirip dengan narasi yang ditemukan dalam [[Babad Tanah Jawi]]. Kedua sumber, untuk Misalnya, beri nama penguasa pertama Demak "Jinbun" dan gambarkan dia sebagai putra daripenguasa terakhir Majapahit, yang diidentifikasi sebagai Kerta Bumi di Kronik Tionghoa Semarang dan Prabu Brawijaya di Babad Tanah Jawi. Seperti dalam Babad Tanah Jawi, Kronik Tionghoa Semarang juga mengklaim bahwa Jinbun awalnya tinggal di Palembang di mana, bersama dengan adik laki-lakinya, dia dibesarkan oleh gubernur kota. Di Kronik Tionghoa Semarang, yang terakhir diidentikkan dengan seorang Muslim Tionghoa bernama Swan Liong, sedangkan Babad Tanah Jawi mengklaim dirinya adalah seorang pangeran Hindu Jawa disebut Arya Damar. Meski demikian, kedua sumber mengklaim itu, setelah tinggal di Palembang untuk beberapa waktu, Jinbun dan adiknya kembali ke Jawa. Jinbun lalu bertahta di Demak (Kronik Tionghoa Semarang mengklaim dia memerintah dari tahun 1475 sampai 1518, sedangkan Babad Tanah Jawi tidak memuat tanggal) dan saudaranya pergi ke Majapahit. Menurut kedua sumber tersebut, Jinbun kemudian menyebarkan pengaruhnya di seluruh Jawa. Kronik Tionghoa Semarang mengklaim dia melanjutkan untuk menenangkan Majapahit dua kali, sekali pada 1478 dan sekali lagi pada 1517, sebelum akhirnya menghancurkannya pada tahun 1527.<ref name=":0">{{Cite journal|last=Wain|first=Alexander|date=Juni 2017|title=The two Kronik Tionghua of Semarang and Cirebon: A note on provenance and reliability|url=https://archive.org/details/two_kronik_tionghua_of_semarang_and_cirebon/page/186/mode/2up|journal=Journal of Southeast Asian Studies|volume=48|issue=2|pages=179-195|doi=}}</ref>{{Rp|page=188-189}}
 
Penggunaan nama Cina oleh Kronik Tionghoa Semarang juga membingungkan aspek narasinya. Tidak hanya sebagian besar dari nama-nama ini absen dari sumber yang lain, mereka juga tidak diterjemahkan dari [[bahasa Mandarin]]. Sebaliknya, dan seperti yang dikemukakan oleh Russell Jones, transkripsi mereka tampaknya menggunakan dialek Hokkien, sehingga mengubah "Sam Boa" menjadi "San Po Bo", "Ma Huan" menjadi "Mah Hwang" dan "Fei Xin" menjadi "Fen Tsin". Seperti yang ditunjukkan Jones, Kronik Tionghoa Semarang memberikan definisi untuk tiga nama Cina: Jin Bun diterjemahkan sebagai "orang kuat". Swan Liong sebagai "naga berlian" dan Kin San sebagai "Gunung Emas". Menurut Jones, dalam [[bahasa Hokkien]] dua definisi terakhir ini benar. "Jin Bun", meskipun ''jin'' berarti "orang", ia tidak memiliki arti baik dalam Bahasabahasa Hokkien atau dialek Cina lainnya. Ketidakkonsistenannya mungkin mencerminkan fakta bahwa itu adalah nama Cina yang seiring berjalannya waktu telah diadaptasi ke dalam [[bahasa Jawa]]. Jika demikian, kehadirannya di antara nama-nama Cina yang dapat dimengerti (yaitu yang tidak mengalami adaptasi) menunjukkan bahwa tidak semua nama ini mengalami riwayat perubahan yang sama. Ini mungkin menunjukkan bahwa, awalnya, mereka tidak datang dari sumber yang sama dan baru saja ditempatkan bersama-sama.<ref name=":0" />{{Rp|page=191}}
 
Penggambaran Kronik Tionghoa Semarang tentang proses komunitas Cina di Jawa kehilangan identitas Muslim mereka yaitu akibat isolasi mereka dari Cina adalah hal aneh lainnya. Setelah pengunduran diri Zheng He dari wilayah tersebut di awal 1430-an, yang diikuti oleh larangan Cina atas semua perdagangan internasional yang berlangsung sampai tahun 1567, komunitas Muslim Cina yang tersisa di Jawa akan mengalami masa pemisahan dari tanah air mereka. Dalam keadaan ini, mungkin terjadi hilangnya identitas Cina mereka, disertai dengan akulturasi. Tapi sepertinya situasi ini tidak akan mengarah pada penurunan identitas Islam: Selama akhir-akhir ini abad kelima belas dan awal abad keenam belas (saat penurunan ini diduga terjadi), Jawa sedang mengalami Islamisasi yang pesat dan penciptaan budaya Islam Jawa yang tumbuh subur. Peluang yang melimpah karenanya akan ada untuk bertemu dan berinteraksi dengan Muslim. Tidak masuk akal bila menjadi Kronik Tionghoa Semarang mengklaim bahwa hilangnya identitas Muslim oleh komunitas ini telah diberi kompensasi karena adopsi adat istiadat Cina (yaitu masjid menjadi kuil leluhur). Kemunduran ke dalam adat istiadat Cina tradisional - pada dasarnya merupakan bentuk Sinisisasi akan menyiratkan koneksi yang lebih dekat ke China.<ref name=":0" />{{Rp|page=192}}
Baris 34:
=== Kronik Tionghoa Cirebon ===
Kronik ini ditemukan di kelenteng Talang, Cirebon. Masalah yang dimiliki oleh naskah ini adalah, meskipun masyarakat sekitar kelenteng Talang saat ini mengetahui tentang Kronik Tionghoua Cirebon melalui karya Slamet Muljana, mereka tidak memiliki ingatan dari adanya manuskrip asli. Karena Poortman aktif 90 tahun lalu, ini mungkin tidak mengejutkan atau memberatkan; naskah itu tidak mungkin yang dapat dilihat atau dibaca oleh anggota komunitas kelenteng saat ini. Tapi ini bukan satu-satunya masalah.<ref name=":0" />{{Rp|page=192}}
[[Berkas:Kelenteng_Talang.jpg|jmpl|Kelenteng Talang di Cirebon.]]
Kelenteng talang adalah kelenteng tradisional Cina yang didedikasikan untuk pembangunnya (penyembahan leluhur), Tan Sam Tjai. Menurut kronik Tionghoa Cirebon, Tan Sam Cai teks tersebut menggambarkan dia sebagai seorang pejabat pengadilan Muslim Cina yang mengingkari keyakinannya, beribadah di Pura Talang (menurut naskah itu, kelenteng itu awalnya masjid yang dibangun pada 1415 tetapi kemudian diubah menjadi kelenteng). Catatan mengenai pembangunan kelenteng mengonfirmasi ini, adalah seorang pejabat kerajaan Cina yang pindah agama Islam sebelum kemudian meninggalkannya dan kembali memeluk ajaran Tionghoa aslinya, namun berbeda dengan Kronik Tionghoa Cirebon, catatan tersebut mengklaim bahwa itu adalah Tan Sam Tjai yang awalnya mendirikan kelenteng Talang sebagai masjid, sebelum kemudian kembali meresmikan itu sebagai kelenteng leluhur, di mana komunitas Tionghoa kemudian menghormatinya setelah kematiannya. Selain itu, makam non-Muslim Tan Sam Tjai masih ada di kota, disertai dengan plakat tiga bahasa (Cina-[[Bahasa Melayu|Melayu]]-Jawa) yang mengukuhkan Tan Sam Tjai sebagai pejabat istana, memberinya gelar Raden Aria Wira Tidela. Namun, plakat ini bertanggal tahun 1765. Selisih tahun ini signifikan, struktur kelentengnya juga mirip struktur klenteng akhir abad 18.<ref name=":0" />{{Rp|page=192}}
 
Banyak masalah Kronik Tionghua Semarang diulang dalam kronik ini. Misalnya, meskipun ada kemungkinan klaim orang Jawa bahwa armada Zheng He berkunjung ke Cirebon, tidak ada catatan berbahasa Cina untuk kejadian ini. Begitu pula dengan Kronik Tionghoa Cirebon diakhiri dengan penaklukan Pajang atas Demak, sekali lagi menyiratkan akhir dari satu periode dan awal dari yang lain. Ada juga penggambaran tidak logis yang sama (Sinisisasi - kembalinya orang Cina muslim kepada kepercayaan Cina, sebagai akibat isolasi dari Cina setelah masa Ceng[[Cheng Ho]]). Poin-poin menunjuk ke arah pemalsuan.<ref name=":0" />{{Rp|page=193}}
Kelenteng talang adalah kelenteng tradisional Cina yang didedikasikan untuk pembangunnya (penyembahan leluhur), Tan Sam Tjai. Menurut kronik Tionghoa Cirebon, Tan Sam Cai teks tersebut menggambarkan dia sebagai seorang pejabat pengadilan Muslim Cina yang mengingkari keyakinannya, beribadah di Pura Talang (menurut naskah itu, kelenteng itu awalnya masjid yang dibangun pada 1415 tetapi kemudian diubah menjadi kelenteng). Catatan mengenai pembangunan kelenteng mengonfirmasi ini, adalah seorang pejabat kerajaan Cina yang pindah agama Islam sebelum kemudian meninggalkannya dan kembali memeluk ajaran Tionghoa aslinya, namun berbeda dengan Kronik Tionghoa Cirebon, catatan tersebut mengklaim bahwa itu adalah Tan Sam Tjai yang awalnya mendirikan kelenteng Talang sebagai masjid, sebelum kemudian kembali meresmikan itu sebagai kelenteng leluhur, di mana komunitas Tionghoa kemudian menghormatinya setelah kematiannya. Selain itu, makam non-Muslim Tan Sam Tjai masih ada di kota, disertai dengan plakat tiga bahasa (Cina-Melayu-Jawa) yang mengukuhkan Tan Sam Tjai sebagai pejabat istana, memberinya gelar Raden Aria Wira Tidela. Namun, plakat ini bertanggal tahun 1765. Selisih tahun ini signifikan, struktur kelentengnya juga mirip struktur klenteng akhir abad 18.<ref name=":0" />{{Rp|page=192}}
 
Banyak masalah Kronik Tionghua Semarang diulang dalam kronik ini. Misalnya, meskipun ada kemungkinan klaim orang Jawa bahwa armada Zheng He berkunjung ke Cirebon, tidak ada catatan berbahasa Cina untuk kejadian ini. Begitu pula dengan Kronik Tionghoa Cirebon diakhiri dengan penaklukan Pajang atas Demak, sekali lagi menyiratkan akhir dari satu periode dan awal dari yang lain. Ada juga penggambaran tidak logis yang sama (Sinisisasi - kembalinya orang Cina muslim kepada kepercayaan Cina, sebagai akibat isolasi dari Cina setelah masa Ceng Ho). Poin-poin menunjuk ke arah pemalsuan.<ref name=":0" />{{Rp|page=193}}
 
Pada akhirnya Kronik Tionghua Cirebon hampir pasti bukan berdasar tradisi paralel yang asli: Masyarakat Kelenteng Talang tidak memiliki ingatan independen terhadap Kronik Tionghoa Cirebon, pemberitaan Tan Sam Tjai pada teks memiliki kecacatan, periodisasi sejarahnya menunjukkan seorang penulis modern, dan asal-muasalnya tetap tidak pasti. Poin-poin ini menyarankan Kronik Tionghoa Cirebon adalah hibridisasi dari dua teks sebelumnya (mungkin dilakukan pada masa modern).<ref name=":0" />{{Rp|page=194}}