Gereja Kristen Jawa Salib Putih: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 18:
== Dinamika ==
Berdasarkan data arsip Yayasan Sosial Kristen Salib Putih (YSKSP) mengenai pendirian yayasan, keberadaan GKJ Salib Putih maupun panti wreda, panti asuhan, dan perkebunan di kawasan Salib Putih bermula dari komite pelayanan sosial yang dipimpin oleh pasangan suami-istri penginjil berbeda kebangsaan dari ''Leger des Heils'' ([[Bala Keselamatan]]), yaitu Adolph Theodoor Jocobus van Emmerick ([[Belanda]]) dan Alice Cornelia Cleverly ([[Inggris]]). Pada awal pelayanannya, Brouwer memperjelas bahwa Bala Keselamatan di wilayah Salatiga dan Semarang dikenal dengan Bala Kěslamětan (bahasa Jawa).''{{sfnp|Brouwer|1950|p=78-79|ps=}}'' Komite
Mereka berdua datang ke [[Hindia Belanda]] tahun [[1882]] sebagai amtenar.<ref name=":0" />''{{sfnp|Rahardjo, dkk|2013|p=72|ps=}}'' Peran mereka diawali ketika [[Gunung Kelud]] meletus tahun [[1901]]. Wolterbeek dalam ''Babad Zending in Java'' menengarai bahwa letusan tersebut tidak hanya menimbulkan masalah sosial dan ekonomi saja, tetapi juga epidemi penyakit [[kolera]] yang menimpa penduduk.''{{sfnp|Mulyati|2020|p=304|ps=|}}'' Chao turut menambahkan bahwa sekitar <u>+</u> 300 orang penduduk yang berada di sekitar gunung itu lantas mengungsi hingga ke wilayah Kota Salatiga.''{{sfnp|Chao|2017|p=62|ps=}}'' Untuk sementara waktu, mereka ditampung di Alun-Alun Salatiga (saat ini bernama [[Alun-Alun Pancasila Salatiga]]) dalam barak-barak darurat serta mendapatkan penanganan dari tenaga medis ''Militair Hospital'' (saat ini bernama [[Rumah Sakit Dinas Kesehatan Tentara Dokter Asmir]] – disingkat RS DKT dr. Asmir).''{{sfnp|Rahardjo, dkk|2013|p=72|ps=}}''
[[Berkas:SMK Kristen Salatiga (1).jpg|jmpl|280x280px|Rumah keluarga van Emmerick di Kota Salatiga yang saat ini menjadi SMK Kristen Salatiga ({{harvnb|Mulyati|2020||p=304}}).]]
Komite pelayanan sosial{{efn|GKJ memakai dua term dalam Pekabaran Injil, yaitu ''hoofddienst'' (pekabaran yang dilakukan langsung oleh pendeta konsul pemerintah Belanda) dan ''nevendienst'' (pekabaran tidak langsung melalui berbagai yayasan Kristen, yaitu klinik, rumah sakit, panti asuhan, panti jompo, sekolah, dan sebagainya). Kedua term ini diperoleh dari Laporan Komisi Lima mengenai “Pengintegrasian Badan-Badan dan Yayasan-Yayasan Pelayanan Kristen”, dengan lokasi di Salatiga dan tanggal 1 November 1966. Namun, terkadang term ''nevendienst'' disebut juga dengan ''hulpdienst'' atau pekabaran sampingan. Term ini diperoleh dari ''Notulen Rapat Majelis GKJ Gondokusuman dengan Deputat-Deputat Pekabaran Injil dan Deputat-Deputat Gereja Miskin'', tertanggal 29 Desember 1950. Sebelum meletus Perang Dunia Kedua (PD II), ''hoofddienst'' dan ''nevendienst'' merupakan tanggung jawab dari gereja. Hampir semua gereja mempunyai komisi pekabaran yang dipilih oleh majelis gereja. Para komisi itu diperintahkan untuk menggerakkan pekabaran di lingkungan gerejanya masing-masing. Ketika menjalankan kewajibannya, para komisi itu terbagi lagi menjadi beberapa seksi, yaitu seksi wanita, seksi sekolah, seksi klinik, seksi panti jompo, seksi hari besar Kristen, dan sebagainya. Pada 1942, tugas dan kewajiban ''nevendienst'' dipisahkan dari gereja. Hal tersebut disebabkan karena ''nevendienst'' yang menjadi pelayanan sosial zending diambil alih fungsinya oleh Jepang untuk kepentingan perang. Selain itu, pemisahan ini juga dikarenakan para zending tidak memberikan tanggung jawab pengelolaan pelayanan sosial kepada GKJ agar pemerintah Belanda dapat menjalankannya lagi jika kembali ke Indonesia ({{harvnb|Raharjo|2019|pp=117-118}}). Adapun pelaksanaan pelayanan sosial yang dilakukan oleh Adolph dan Alice di Kota Salatiga itu termasuk ke dalam ''nevendienst'' atau ''hulpdienst'' karena dilakukan melalui perantara lembaga-lembaga Kristen ({{harvnb|Mulyati|2020|pp=305}}).
Selain mendapatkan bantuan dari komite sosial, para pengungsi juga dilatih dengan berbagai keterampilan untuk menggarap kawasan ini, yaitu bertani, beternak, dan membuka areal perkebunan ([[kopi]], [[vanili]], [[karet]], [[lengkeng]], dan [[Rumput gajah|rumput gajah)]]. Selanjutnya, bagi para pengungsi yang telah sembuh diberi kesempatan untuk bertransmigrasi ke [[Sumatra]] maupun [[Sulawesi]], sedangkan bagi yang tidak bersedia diberi tanah dan tempat tinggal hampir seluas 12 hektar di wilayah tersebut.''{{sfnp|Rahardjo, dkk|2013|p=72-73|ps=: "Bagi orang rawatan yang telah sembuh diberi kesempatan untuk bertransmigrasi ke Sumatra maupun Sulawesi, sedangkan bagi yang tidak bersedia dan mampu berdiri sendiri diberi tanah garapan maupun tempat tinggal hampir seluas 12 hekar di wilayah tersebut (...)"}}'' Dalam perkembangannya, areal ini bertambah luas karena mendapatkan hibah dari wedana serta tambahan hasil pembelian tanah yang dilakukan oleh keluarga Emmerick.''{{sfnp|Platzdasch|2014|p=72|ps=: "''In the late nineteenth century, White Cross was used by the Salvation Army and a huge part of the land is currently used by the Javanese Christian Church (GKJ)'' (...)"}}''
Berhubung sebagian besar pengungsi yang tidak ingin bertransmigrasi bersedia memeluk agama Kristen, dibangunlah sebuah gereja di wilayah itu pada 1902. Bangunan gereja ini terbuat dari kayu jati dengan menara di puncaknya sebagai tempat lonceng gereja. Lonceng itu merupakan hadiah dari pemerintah Belanda yang berangka tahun [[1682]].''{{sfnp|Rahardjo, dkk|2013|p=74|ps=}}'' Pada tahun itu pula komite
[[Berkas:Yayasan Sosial Kristen Salib Putih (1).jpg|jmpl|280x280px|Yayasan Sosial Kristen Salib Putih (YSKSP) adalah komite sosial yang mengelola kawasan Salib Putih ({{harvnb|Mulyati|2020||p=306}}).]]
|