Lintah: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Suntingan Unknown557 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Symphonium264 Tag: Pengembalian |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Dikembalikan VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 1:
Secara terminologi hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat yang tidak boleh diabaikan, dirampas, atau diganggu- gugat oleh siapapun.
Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia pasal 1 menyebutkan bahwa “HAK ASASI MANUSIA (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Pengaturan HAM dalam ketata- negaraan RI terdapat dalam perundang- undangan yang dijadikan acuan normatif dalam pemajuan dan perlindungan HAM. Minimal terdapat beberapa bentuk hukum tertulis yang memuat aturan tentang HAM: Konstitusi (UUD); Ketetapan MPR; Undang-undang dan Pemerintah serta Keputusan Presiden. Meskipun telah terdapat aturan dasar yang memberikan perlindungan terhadap HAM, akan tetapi dalam sejarah perlindungan HAM di Indonesia masih terjadi berbagai pelanggaran HAM.
Pihak yang bertanggung jawab dalam penegakan, pemajuan, perlindungan dan pemenuhan HAM sampai saat ini masih menjadi perbincangan yang tidak berke- sudahan. Namun dalam kaitan ini minimal ada dua pandangan Pertama menyatakan bahwa yang harus bertanggung jawab memajukan HAM adalah Negara: Pandang kedua, menyatakan bahwa tanggung jawab perlindungan, penghormatan dan pemajuan HAM tidak saja dibeban kepada Negara, melainkan juga kepada individu warga Negara.
Hak atas rasa aman adalah hak konstitusional setiap warga negara yang harus dipenuhi oleh negara. Hak atas kebebasan berkeyakinan dan beragama dijamin di dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Hilangnya rasa keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan menjadi penyebab semakin banyaknya tindakan intoleransi dan ekstremisme yang mengatasnamakan agama. Hal ini disampaikan tiga lembaga negara yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
"Persoalan intoleransi bahkan hingga ekstremisme dengan kekerasan, perlahan mengancam hak asasi manusia, kewajiban negaralah yang harusnya mempromosikan hal ini," ujar Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM Beka Bulung Hapsara dalam konferensi pers Sidang HAM keempat yang baru saja dilakukan oleh tiga lembaga tersebut.
Ketiga lembaga sepakat bahwa perempuan dan anak menjadi dua kelompok yang paling rentan menjadi korban dari tindakan intoleransi dan ekstremisme. Anak-anak dan perempuan bahkan bisa dijadikan pelaku dan terdampak dalam pusaran intoleransi dan ekstremisme.
"Demikian juga anak, rentan terpapar infiltrasi intoleransi, radikalisme dan ekstremisme. Bukan hanya sebagai korban namun seringkali dilibatkan sebagai pelaku,
ada beberapa faktor kunci yang memperkuat kekerasan mengatasnamakan agama antara lain:
intoleransi politik, kurangnya kesadaran akan pentingnya pemerintahan yang baik, rasa diasingkan serta keinginan untuk diakui, dan minimnya pemahaman keagamaan yang damai dan toleran.
"Salah satu contoh kebijakan diskriminatif dan banyak melahirkan berbagai pelanggaran HAM serta sikap intoleransi adalah kebijakan rumah ibadah,"
Kebijakan semacam ini dianggap menggerus kebebasan beragama. Persoalan rumah ibadah menjadi salah satu masalah yang banyak diadukan, selain diskriminasi dan persekusi yang dialami kelompok minoritas, baik etnis, seksual, agama, dan kepercayaan.
== Ragam dan asal usul ==
|