Totaliterisme: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k typo di caption gambar
Pravito (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 4:
'''Totaliterisme''' atau '''totalitarianisme''' adalah sebuah konsep<ref>Rejai, Mostafa (1994). ''Political Ideologies: A Comparative Approach''. Armonk: M.E. Sharpe. p. 74. {{ISBN|9780765633781}}.</ref><ref>Schäfer, Michael (2004). ''Totalitarianism and Political Religions''. Oxford: Psychology Press. p. 78. {{ISBN|9780714685298}}.</ref> untuk suatu [[bentuk pemerintahan]] atau [[sistem politik]] yang menghalangi adanya pihak oposisi, membatasi oposisi seorang individu terhadap suatu negara beserta segala tuduhannya, dan melaksanakan kendali terhadap kehidupan publik dan pribadi warga negaranya dengan tingkat sangat tinggi. Totaliterisme sering dianggap sebagai bentuk [[otoritarianisme]] yang paling ekstrim dan paling paripurna. Di negara yang totaliter, [[kekuasaan|kekuasaan secara politik]] seringkali dipegang oleh seorang [[autokrasi|autokrat]] yang menjalankan kampanye di semua lini, di mana [[propaganda]] disiarkan oleh [[media massa]] yang dikendalikan negara.<ref name="reflections2">{{cite book|first=Robert|last=Conquest|title=Reflections on a Ravaged Century|year=1999|isbn=0-393-04818-7|page=74}}</ref>
 
Rezim yang totaliter seringkali ditandai dengan [[represi politik]] yang kuat, tiadanya [[demokrasi]], [[kultus individu|pengagungan terhadap suatu individu]] secara meluas dan mengakar, [[Intervensionisme ekonomi|kendali absolut atas ekonomi]] negara, [[penyensoran]] yang masif, [[pengintaian massal]] terhadap kehidupan pribadi dan publik warganya, terbatasnya [[kebebasan bergerak]] (termasuk hak untuk meninggalkan negara), dan penggunaan metode [[terorisme negara|terorisme]] sebagai alat negara untuk mengendalikan warganya. Aspek lainnya meliputi penggunaan [[kamp konsentrasi]], [[polisi rahasia]] yang represif, persekusi atau larangan terhadap kebebasan beragama atau berlakunya [[ateisme negara]], pemberlakuan [[hukuman mati]], [[kecurangan pemilu|proses pemilu yang curang atau disandiwaradisabotase untuk mendukung rezim penguasa]] (jika pemilu di negara tersebut adadiadakan), potensi kepemilikan [[senjata pemusnah massal|senjata pemusnah]], dan potensi adanya [[pembunuhan massal]] atau [[genosida]] yang dilakukan pemerintah, dan kemungkinan terjadinya [[perang]], [[Aneksasi|pencaplokan]] atau [[penjajahan]] terhadap negara lain. Sejarawan [[Robert Conquest]] menjabarkan negara totaliter sebagai suatu negara yang mengakui kekuasaan yang tidak terbatas dalam setiap lingkup publik maupun pribadi dan memperlebar kuasa tersebut selebar mungkin selama dapat dilakukan.<ref name="reflections2"/>
 
Totalitarianisme pertama kali dikembangkan pada era 1920an oleh ahli hukum [[Republik Weimar]] dan kemudian cendekia [[Partai Nazi]] [[Carl Schmitt]] dan secara bersamaan oleh kelompok [[fasis]] di Italia. Seorang fasis Italia, [[Benito Mussolini]] menyatakan: "Segalanya di dalam negara, tiada yang keluar dari negara, tiada yang melawan negara." Schmitt menggunakan istilah ''Totalstaat'' dalam karyanya ''[[The Concept of the Political]]'' di tahun 1927, yang membahas dasar hukum dari suatu negara adikuasa.<ref>{{cite book|first=Carl|last=Schmitt|date=1927|title=The Concept of the Political (German: Der Begriff des Politischen)|isbn=0-226-73886-8|edition=1996 University of Chicago Press|publisher=Rutgers University Press|page=22}}</ref> Istilah ini menjadi sering digunakan dalam diskursus politik antikomunis [[Dunia Barat|Barat]] sepanjang era [[Perang Dingin]] sebagai alat untuk mengubah arah gerakan [[antifasisme]] yang muncul sebelum [[Perang Dunia II]] menjadi gerakan [[antikomunisme]] pascaperang.<ref name="defty">{{cite book|first=Brook|last=Defty|year=2007|title=Britain, America and Anti-Communist Propaganda 1945–1953|others=Chapters 2–5|publisher=The Information Research Department}}</ref><ref name="siegel">Siegel, Achim (1998). ''The Totalitarian Paradigm after the End of Communism: Towards a Theoretical Reassessment''. Rodopi. p. 200. {{ISBN|9789042005525}}. "Konsep totalitarianisme menjadi begitu meluas pada masa puncak-puncaknya Perang Dingin. Sejak akhir 1940an, khususnya sejak Perang Korea, konsep ini dipersempit menjadi suatu ideologi yang meresap, bahkan hegemonis, di mana para elite politik dari negara-negara Barat mencoba untuk menjelaskan atau bahkan mencari pembenaran atas konstelasi Perang Dingin."</ref><ref name="guilhot">Guilhot, Nicholas (2005). ''The Democracy Makers: Human Rights and International Order''. Columbia University Press. p. 33. {{ISBN|9780231131247}}. "Perlawanan antara totalitarianisme [antara] Barat dan Soviet seringkali disajikan sebagai dua hal yang saling bertolak belakang secara moral maupun epistemiologis antara benar dan salah. Mandat demokrasi, sosial, dan ekonomi dari Uni Soviet seringkali dilihat sebagai 'kebohongan' dan sebagai hasil dari propaganda yang disengaja dan multibentuk. [...] Dalam konteks ini, konsep totalitarianisme itu sendiri adalah sebuah aset. Sebisa mungkin untuk mengonversi antifasisme sebelum perang menjadi antikomunisme pascaperang."</ref><ref name="caute">{{cite book|last=Caute|first=David|year=2010|url=https://books.google.com/books?id=ttmCWwuxX8cC&pg=PA95|title=Politics and the Novel during the Cold War|publisher=Transaction Publishers|pages=95–99|isbn=9781412831369}}</ref><ref name="reisch">Reisch, George A. (2005). ''How the Cold War Transformed Philosophy of Science: To the Icy Slopes of Logic''. Cambridge University Press. pp. 153–154. {{ISBN|9780521546898}}.</ref>