Sengketa Irian Barat: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 32:
Kaisiepo mengajukan penggantian nama Netherland Nieuw Guinea menjadi Irian (Ikut Republik Indonesia Anti-Nederland). Akibatnya, Frans Kaisiepo menjadi tahanan politik pada tahun 1954 sampai 1961. Tujuan Trikora tidak semata-mata untuk pembebasan teritorial, tetapi juga untuk pembebasan seluruh rakyat Papua dari penjajahan, keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan dan untuk menempatkan diri dalam strata masyarakat sosial yang berkualitas dan bermartabat.
==
Konflik Papua mulai secara signifikan meningkat pada tahun 2018. Saat itu, tragedi mengenaskan terjadi pada 2 Desember 2018 yang menewaskan 19 pekerja proyek jalan raya Trans Papua tewas ditembaki di wilayah Nduga oleh kelompok bersenjata Papua pimpinan Egianus Kogoya.
Menurut sejarah sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, Irian Barat telah menjadi wilayah sengketa politik. Sengketa ini berlangsung sejak Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949 hingga belasan tahun kemudian. Hingga pada sebuah forum internasional yang diprakarsai oleh Amerika Serikat melalui sebuah kesepakatan BUNKER PLAN (Gagasan seorang yang bernama bunker - bekas Dubes AS yang mencontohi cara plebisit Amerika Serikat menguasai Hawaii atas perintah John F. Kennedy-Presiden Amerika Serikat), maka NEW YORK AGREEMENT (1962) ditandatangani Belanda Indonesia untuk mengakhiri sengketa politik atas Irian Barat.
Inti dari New York Agreement adalah Belanda menyerahkan Papua di bawah kendali Otoritas Eksekutif Sementara PBB (UNTEA) pada 1 Oktober 1962. Selanjutnya, Belanda harus menyerahkan Papua bagian barat kepada Indonesia selambat-lambatnya pada 1 Mei 1963. Namun sejak perjanjian itu ditandatangani, sudah muncul suara-suara yang menentang.
Pada 14 Juli hingga 2 Agustus 1969, akhirnya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) atau Act of Free Choice digelar sebagai referendum menentukan apakah penduduk Papua menghendaki tetap bergabung dengan Indonesia atau tidak. Pepera adalah kesepakatan politik antara Indonesia-Belanda, setelah sebelumnya Indonesia mewarisi bekas tanah jajahan Hindia Belanda, dari Sabang sampai Merauke.
Referendum tersebut diikuti oleh 1.026 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) yang mewakili 815.904 penduduk Papua. Anggota DMP terdiri dari 400 orang kepala suku dan adat, 360 orang dari unsur daerah, 266 orang dari unsur organisasi masyarakat. DMP kemudian memilih agar Papua tetap menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, sebagian masyarakat Papua merasa hasil Pepera tidak mewakili keinginan mereka yang seutuhnya.
Menurut Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah, hasil Pepera 1969 sudah sangat kuat. Pepera digelar atas kesepakatan Indonesia-Belanda dan PBB, dengan mekanisme dan aturan-aturan yang sudah disepakati, termasuk sistem perwakilan. Sistem perwakilan tersebut bahkan masih tetap relevan dengan kondisi kontemporer, karena masyarakat Papua hingga kini mengenal sistem “noken” – yang memperbolehkan perwakilan dalam mencoblos surat suara – dalam Pemilu maupun Pilkada. Hasil dari Pepera 1969 sudah dibawa dan diterima oleh Majelis Umum PBB, serta dijadikan Resolusi PBB 2504.
Ketidakpuasan penduduk Papua akan hasil Pepera 1969 telah memicu perlawanan yang lebih serius dengan membentuk gerakan politik militer yang sering disebut sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM). Perlawanan bersenjata OPM pecah untuk pertama kalinya pada 26 Juli 1965 di Manokwari. Kemudian, menurut laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) berjudul “The Current Status of The Papuan Pro-Independence Movement”, kegiatan penambangan Freeport pada 1973 memicu aktivitas militer OPM di wilayah Timika. Kemudian pada Mei 1977, sekitar 200 gerilyawan OPM menyerang Freeport dan direspons dengan operasi militer. Sejak saat itu, kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM terus terjadi di Papua.
Selanjutnya, gelombang kekerasan yang terjadi sekitar akhir tahun 2019 mengakibatkan delapan orang sipil tewas di Deiyai dalam kerusuhan pada 28 Agustus 2019. Kemudian, kerusuhan lain terjadi pada 26 September 2019 mengakibatkan 33 orang tewas di Wamena dan empat orang tewas di Jayapura.
Gerakan yang dilakukan kelompok separatis seringkali merupakan gerakan bersenjata yang sporadis dan tidak terkoordinasi dengan baik. Dalam beberapa tahun terakhir, gerakan kemerdekaan Papua ini juga telah berkembang dan merambah ke kampanye internasional sebagai media melancarkan aksinya. Hal ini karena gerakan bersenjata dianggap tidak efektif lagi dalam mewujudkan visi yang diinginkan. Alhasil, mereka adalah dalang dari semua konflik-konflik yang ada di Papua.
Oleh karena itu, separatis melakukan kampanye internasional yang aktif dan mengangkat isu-isu sensitif tentang Papua kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan juga ke berbagai negara. Sekalipun upaya marak dilakukan, namun tidak ada satupun negara di dunia yang mengakui bahwa Papua adalah sebuah negara.
== Bacaan tambahan ==
|