Ketuanan Melayu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Hanamanteo (bicara | kontrib)
+
Hanamanteo (bicara | kontrib)
+
Baris 189:
Kebijakan-kebijakan afirmatif Kebijakan Ekonomi Baru dilanjutkan di bawah pemerintahan Mahathir. Para ahli politik menganggap pemerintahannya sebagai kelanjutan "kontrol hegemoni" politik Malaysia oleh kaum Melayu dan UMNO secara khususnya.<ref name="hwang_10"/> Pada masa ini, Mahathir berfokus pada konsolidasi kekuasaanya dalam UMNO dan pemerintahan.<ref>Hwang, hal. 134–135.</ref> Akibatnya, hanya ada sedikit konfrontasi langsung antara kaum Melayu dengan non-Melayu mengenai Ketuanan Melayu.
 
Pada tahun 1981, MCA melakukan evaluasi terhadap Kebijakan Ekonomi Baru dan kebijakan-kebijakan pemerintah lainnya melalui sudut pandang kaum Tionghoa. Hasil evaluasi ini menunjukkan beberapa masalah, yaitu kecurigaan bahwa status kewarganegaraan kaum Tionghoa Malaysia tidak dihargai, dan mengklaim bahwa tujuan Kebijakan Ekonomi Baru untuk menghapuskan identifikasi ras berdasarkan fungsi ekonomi telah dihapuskan.<ref>Tan, Koon Swan (1982). Introduction. In Federal Territory MCA Liaison Committee (Ed.), ''Malaysian Chinese'', pp. vii–xi. Eastern Universities Press. No ISBN available.</ref> Selain itu, diargumenkan bahwa kaum non-Melayu tidak diwakili secara proporsional dalam Parlemen dan kabinet karena manipulasi wilayah[[pembatasan distrikdaerah pemilihan]] umum (''[[(gerrymandering]])''). Kebanyakan wilayah pemilihan pedesaan yang didominasi Melayu melebihi wilayah pemilihan perkotaan yang heterogen, walaupun jumlah populasi wilayah pemilihan perkotaan melebihi populasi wilayah pemilihan pedesaan.<ref>Yeoh, Michael Oon Kheng (1982). The Politics of Under-Representation. In Federal Territory MCA Liaison Committee (Ed.), ''Malaysian Chinese'', pp. 61–71. Eastern Universities Press. No ISBN available.</ref> Walaupun MCA mengeluarkan laporan ini, UMNO menghindari kontroversi langsung dengan MCA mengenai masalah ini.
 
Ketegangan mulai muncul setelah Pemilihan Umum Malaysia tahun 1986, ketika UMNO berhasil mendapatkan mayoritas kursi Parlemen, mengizinkan UMNO membentuk pemerintahan sendiri tanpa berkoalisi dengan partai-partai lain. Beberapa pemimpin UMNO dengan serius mendiskusikan kemungkinan pemerintahan tanpa koalisi ini. Salah satu pemimpin tersebut, [[Abdullah Ahmad Badawi]], secara publik mendukung supremasi Melayu secara permanen dan menurunkan status kaum non-Melayu sebagai warga negara kelas dua. Seruan ini pada akhirnya tidak dihiraukan dan pemerintahan koalisi Barisan Nasional tetap berlanjut. Walau demikian, beberapa pejabat UMNO memperingati partai-partai non-Melayu untuk tidak "bermain api" dengan mempertanyakan isu-isu seperti hak khusus orang Melayu (''Hak Keistimewaan Orang Melayu''). Dalam Majelis Umum UMNO tahun itu, Mahathir menyatakan: "Kita tidak berharap mencuri hak-hak orang lain. Namun janganlah biarkan orang lain mencuri hak-hak kita." Ketika parlemen bersidang, DAP mulai menyerukan keberatannya mengenai pembagian warga Malaysia menjadi "warga negara kelas satu dan kelas dua". Sebagai balasannya, beberapa anggota parlemen UMNO mulai menyebut-nyebut kaum non-Melayu sebagai pendatang asing dalam parlemen. Ketika DAP mencoba untuk melakukan penelusuran distribusi ekonomi antar kaum untuk mengevaluasi progres Kebijakan Ekonomi Baru, peraturan parlemen (''Peraturan-peraturan Majlis Mesyuarat'') diamendemen sehingganya melarang penelusuran tersebut. Hal ini membuat DAP menuduh bahwa sasaran Kebijakan Ekonomi Baru telah tercapai agar dapat dibuat kadaluwarsa pada tahun 1990.<ref>Means, hal. 187–189.</ref>
Baris 198:
Sebelum berakhirnya DEB pada tahun 1990, terdapat banyak perdebatan mengenai kepastian kebijakan tersebut harus diperbarui, diganti, atau dibatalkan sama sekali. Pemerintah mengadakan tinjauan resmi terhadap NEP pada tahun-tahun menjelang berakhirnya DEB. DEB telah dihadapkan pada sejumlah kritik sepanjang hidup kebijakan itu, kebanyakan di antaranya terkait dengan [[korupsi politik]] dan ketakefisienan lainnya. Salah satu poin perselisihan adalah perhitungan ekuitas Melayu. Meskipun secara resmi orang Melayu menguasai 18% dari pangsa ekonomi pada tahun 1992, beberapa orang menganggap angka ini menyesatkan. Dikatakan bahwa dalam kenyataannya, sebagian besar dari jumlah ini merupakan ekuitas yang dipegang oleh badan-badan pemerintah, oleh karena itu menjadi milik Malaysia secara keseluruhan.<ref>Musa, pp. 217–218.</ref> Praktik pemberian kontrak pekerjaan umum terutama kepada Bumiputra dianggap menghambat kompetensi Melayu dengan memberikan sedikit insentif untuk meningkatkan. Banyak kontraktor Bumiputra yang kemudian mensubkontrakkan pekerjaan mereka kepada orang lain, yang dalam beberapa kasus adalah orang Tionghoa; Perjanjian "[[Ali Baba (Malaysia)|Ali Baba]]" dengan "orang Melayu [Ali] menggunakan hak istimewanya untuk memperoleh lisensi dan izin ditolak orang non-Melayu, kemudian menerima bayaran untuk menjadi pemimpin sementara [Baba] non-Melayu menjalankan bisnis," adalah lazim. Beberapa orang berpendapat bahwa NEP "mungkin berhasil, jika orang Melayu benar-benar ingin mempelajari seluk-beluknya. Tetapi lebih sering daripada tidak, dia hanya ingin menjadi kaya."<ref>Rashid, pp. 134–135.</ref>
 
Beberapa orang mengatakan pencairan saham menguntungkan pihak yang memiliki hubungan politik, ketika kebanyakan dari mereka langsung menjual sahamnya dengan harga pasar sehingga menuai [[arbitrase]] alih-alih menahan dan meningkatkan saham Melayu sebagaimana yang dimaksudkan kebijakan itu. Meskipun NEPDEB berhasil menciptakan kelas jutawan Melayu, tetapi dituduh bahwa ini terutama karena kronisme, karena hanya menguntungkan mereka yang memiliki hubungan politik.<ref>Musa, pp. 178, 180, 181–182, 187, 259, 261.</ref> Beberapa orang di antaranya setuju, tetapi membantah mengambil tindakan;. seorangSeorang politisipolitikus PAS menyatakan: "Orang Melayu tidak ingin keadilan memengaruhi kepentingan mereka."<ref>b. Maaruf, p. 58.</ref> Para komentator lain telah menyarankan bahwa meskipun sebagian besar manfaat di bawah NEPDEB diperoleh kepada mereka yang memiliki hubungan politik, pemerintah bermaksud agar mereka "menetes ke bawah massarakyat Melayu", dan juga bagi [[orang kaya baru]] Melayu untuk memberikan" teladan kewirausahaan "bagi orang Melayu lainnya.<ref name="pedersen_53"/>
 
DuringSelama thetahun 1980s1980-an, concernperhatian continuedtentang todiskriminasi growdi aboutpendidikan discriminationtinggi interus higher educationbertumbuh. AtPada thistitik pointini, theMenteri EducationPendidikan Ministermengatakan toldkepada Parliamentparlemen oftentang "dissatisfaction"ketidakpuasan anddan "disappointment"kekecewaan amongdi antara orang non-MalaysMelayu concerningtentang "lesseningberkurangnya opportunities"kesempatan bagi melanjutkan forjenjang higherpendidikan educationtinggi.<ref name="trindade_lee_50">Trinidade &Kemudian Lee, p. 50.</ref> Laterpada intahun 1997, thenMenteri EducationPendidikan Minister [[Najib Tun Razak]] defendedmempertahankan thekuota quotassebagaimana asdiperlukan necessary,dengan claimingmengklaim thatbahwa onlyhanya 5% ofdari allsemua localsarjana undergraduateslokal wouldakan bemenjadi Malaysorang ifMelayu quotasjika werekuota abolisheddihapuskan.<ref>Musa, p. 182.</ref>
 
Another criticism was that the NEP and other affirmative action had actually reduced the Malays' self-confidence, despite Mahathir's intention of building a Malay business class to serve as [[role model]]s for impoverished Malays. One Malay journalist opined: "[U]nder this New Economic Policy, no Bumiputra could ever be sure that such 'victories' as came his way were fully deserved."<ref>Rashid, p. 99.</ref> The NEP was also criticised for seeking to improve the Malays' overall share of the economy, even if this share were to be held by a small number of Malays.<ref>Bennet, Abang (2005). [http://aliran.com/archives/monthly/2005b/7d.html "UMNO: A threat to national prosperity"]. Retrieved 11 November 2005.</ref> Some quarters accused the NEP of being too heavy-handed in its approach towards affirmative action, maintaining it had "deprived qualified non-Malays of opportunities for higher education and job promotions" and forcing many non-Malays to emigrate instead.<ref>Abdullah & Pedersen, p. 56.</ref> This, combined with the impressions of the NEP as corrupt and associated with ''ketuanan Melayu'', led to "deep resentment", particularly among the Chinese.<ref>Branegan, Jay (20 August 1990). [http://www.time.com/time/asia/2003/mahathir/mahathir900820.html A Working Racial Bias]. ''[[TIME]]''.</ref> The NEP was criticised as "set[ting] those Malaysians so honoured with it above the rest, granting them the preferential treatment of the NEP," while "divid[ing] Malaysians into first- and second-class citizens".<ref>Rashid, pp. 98, 135.</ref>
Baris 214:
== Pemerintahan Mahathir kedua ==
[[Berkas:Pakatan Harapan Logo.svg|ka|jmpl|200px|Logo Pakatan Harapan]]
Walau Mahathir kembali menjadi perdana menteri untuk kedua kalinya, tetapi kali ini ia mewakili koalisi [[Pakatan Harapan]] yang beranggotakan partai-partai yang belum pernah memegang tampuk kekuasaan federal. Beberapa bulan sejak Pakatan Harapan memerintah, Mahathir menyebut bahwa pemerintah akan meratifikasi ICERD di Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
 
Pengamat sosial politik Mohd. Ayop Abd. Razid yang menulis untuk ''[[Berita Harian]]'' menyebut ketuanan Melayu tidak hilang di bawah pemerintah Pakatan Harapan, tidak seperti yang dikhawatirkan banyak orang. Ia menyebutkan ketuanan Melayu tidak hilang di Kelantan, Terengganu, Selangor, Kedah, dan Perak hanya gara-gara mayoritas orang Melayu yang tinggal di sana tidak memilih UMNO.<ref>{{cite newspaper|last=Abd. Razid|first=Mohd. Ayop|url=https://www.pressreader.com/malaysia/berita-harian-malaysia/20181119/281616716406840|title=Sejarah buktikan kebenaran konsep ketuanan Melayu|newspaper=Berita Harian|date=19 November 2018|via=Pressreader}}</ref>